pelantar.id – Pedagang seluler yang tergabung dalam asosiasi Kesatuan Niaga Celluler Indonesia (KNCI) mengeluhkan penerapan registrasi kartu perdana. Aturan itu membuat jutaan nomor hangus karena tidak bisa diregistrasi, sehingga menimbulkan kerugian sedikitnya Rp500 miliar.
KNCI merasa dirugikan dengan aturan yang dibuat oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Ketetapan BRTI salah satunya melarang registrasi prabayar dengan jumlah tidak terbatas dan tanpa hak serta melawan hukum.
Menurut Ketua Umum KNCI, Azni Tubas, akibat dari aturan itu, ada penghangusan nomor pada 21-23 Februari 2019 yang dimiliki outlet seluler di seluruh Indonesia. Kartu yang hangus itu masih dalam masa aktif.
Namun tidak bisa teregistrasi memakai NIK dan juga KK. KNCI memperkirakan dalam periode tersebut ada satu juta nomor perdana yang hangus, belum ditambah dengan jumlah nomor hangus akibat dari pembatasan tiga nomor saat registrasi.
Nilai kerugian itu, lanjut Azni, adalah kerugian yang minimal. Ia merinci jumlah outlet seluler di bawah KNCI seluruh Indonesia mencapai sekitar 300 ribu unit.
“Jika hitungan kasar, saat ini rata-rata outlet hanya menjual 50 keping kartu perdana saja dalam setahun, maka kerugian per outlet bisa mencapai Rp1,5 juta,” kata Azni dalam keterangan resminya, Senin (25/2/19).
Dari skema itu, menurut Azni, kerugian setengah triliun rupiah dalam periode pendek yang diderita outlet seluler seluruh Indonesia, adalah angka yang wajar.
Kirim Surat kepada BRTI
Mengingat kekecewaan tersebut, KNCI mengirim surat kepada BRTI untuk mengeluhkan kondisi dan nasib bisnis mereka.
Surat bernomor 09B/DPP/KNCI/II/2019 yang ditujukan kepada komisioner BRTI itu dibuka dengan sindiran yakni kebijakan lembaga tersebut menyengsarakan outlet seluler di Indonesia.
‘Kepada Komisioner BRTI di Jakarta. Semoga aktivitas dan kebijakan BRTI yang telah menyengsarakan kami mendapat ampunan dari Tuhan yang Maha Esa,” demikian pembuka surat tersebut
Azni mengaku bingung dengan nasib pedagang dan outlet seluler ke depan. Sudah beragam upaya dilakukan namun nasib mereka makin tercekik dengan pengetatan registrasi.
“Kami bingung soal harapan ya. Pemerintah dan Kominfo bergeming. Langkah lain tetap kami lakukan. Surat ke BRTI ini menunjukkan bahwa kami tetap melawan. Surat ini sebagai bentuk sikap saja,” ujar Azni.

Hendra Nurdiyansyah/Antara Foto
Berikut sebagian kutipan dari surat KNCI yang ditujukan ke BRTI:
Kerugian dan kehancuran usaha kami sebagai akibat dari peraturan yang bapak-bapak komisioner BRTI bersama dengan Kominfo, sepertinya tidak menjadi perhatian. Bahkan seolah-olah kami bukan lagi rakyat Indonesia yang menjadi tanggung jawab pekerjaan BRTI dan Kominfo.
Mengapa Anda semua bekerja justru untuk kehancuran jutaan kami yang merupakan rakyat Indonesia? kalaulah Anda semua tidak mampu membuat kebijakan dan peraturan yang menguntungkan semua pihak, maka seharusnya Anda jangan membuat peraturan yang menghancurkan (walaupun hanya satu pihak).
Tanggapan BRTI
Menanggapi keluhan KNCI tersebut, Wakil Ketua BRTI, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, perlu dilakukan pengecekan model bisnis antara pedagang dengan operator seluler.
Menurutnya, hangusnya kartu SIM dari pedagang seluler periode 21-23 Februari 2019 itu bisa saja berhubungan dengan kontrak kerja antara kedua belah pihak.
“Tanyain itu, dia menjualnya menjual SIM card-nya siapa, kontrak kerjanya gimana, itu ngomongnya kontrak kerja,” kata Semuel, di Jakarta, Selasa (26/2/19).
Menurutnya, BRTI hanya berurusan dengan operator, sedangkan pedagang berhubungan dengan perusahaan telekomunikasi. Aturan pada operator dibuat karena ada izin yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah
Semuel mengakui, setiap aturannya pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan. Namun ia meyakinkan aturan yang dibuat untuk kepentingan masyarakat.
“Kami hanya membuat satu aturan bagaimana yang namanya aturan ini bisa melindungi seluruh bangsa Indonesia,” ujarnya.
*****
Sumber : Viva.co.id