Penulis: H.M Chaniago
Persoalan musik pada dasarnya membawa indentitas pribadi kita masing-masing
Pelantar.id – Setelah internet berkembang pesat pertengahan tahun 2000 dan pola baru arus konsumsi yang mulai merangkak menuju ragam budaya pop alternatif, serta MTv yang semakin digandrungi remaja. Perkembangan musik kami pun semakin melesat merajalela.
Mungkin warsa 90’an kongruen dengan Grunge, Britpop, Classic rock dan Glam Rock. Namun kami yang mencecap musik di 2000’an mulai mendengar Emo, Pop-punk, Pop-rock, Lost-grunge, hingga Alternative dari ragam bentuk.
Aku masih ingat ketika pertama kali mendengarkan The Goo-Goo Doll menyanyikan lagu Broadway di radio lokal, dan selepas itu MTv menampilkan video musiknya. Kaum-kaum kelas pekerja, entah apalah, sementara Broadway adalah panggung mewah. Hingga kini aku masih belum ingin mencari substansi video itu.
Era awal 2000 hingga 2003 adalah sesuatu yang elementer, musik dan kehidupan saat itu selaras, sama-sama membawa kebahagiaan. Umurku saat itu masih 10 tahun, dan mencuri waktu menonton MTv saat orang tua tidak di rumah adalah kemewahan.
Tiga tahun berselang, 2003 kami mulai mendengarkan Blink-182 dan Green Day, serta sesekali Evanescence. Bahkan lagu Bring Me to Life sukses menjadi melodi jalanan selepas pulang sekolah, pun jua dengan Linkin Park dan Matchbox Twenty.
Namun menariknya saat itu, teman jauh dari Jakarta membawa hal yang baru, referensi musik mulai beragam dari The White Stripes, Stereophonics, The Darkness, The Strokes, Muse dan The Rasmuse menambah ragam repertoar.
Serupa potret waktu dalam film Boyhood karya Richard Linklater. Emo mulai menjadi jenis musik yang populer tak hanya di Amerika, namun juga Indonesia hingga pedalam kaveling-kaveling dan perkampungan. Imron Jr. dan Rio teman masa kecilku, setahun berselang di 2004 membawa arah baru dalam dandanan yang disebabkan oleh kultur musik itu sendiri.
Selaras dengan hasrat remaja puber dan emosi yang tumpah-ruah, Emo memberi alternatif musiman yang tak ingin kami lewatkan. Poni lempar jadi andalan, aksesoris dan dadanan serba gelap atau gothic mengudara di tongkrongan, ditambah gajak yang lumayan depresif. Emo kala itu menawarkan sepaket indentitas yang belakang di 2010 sering kami tertawakan.
Aku masih ingat, meski sedikit lupa, apa Emo pertama yang kami dengarkan. Entah Saosin – Seven Years atau The Used – Take It Away, yang jelas kala itu kami terkadang serupa remaja kesurupan ber-screming ria di hadapan orang-orang, meluapkan segala emosi lewat nyanyian.
Alhasil, The Used, Saosin, My Chemical Romance, Hawthorne Heights, Panic! at the Disco, Fall Out Boy, The Red Jumpsuit Apparatus, sesekali AFI menjadi playlist keseharian kala menikmati musik, selepas pulang sekolah, sembari bersanting ria beberapa batang rokok.
Empat tahun berselang, 2008 pasca tamat sekolah menengah. Kenyataan hidup saat itu mulai mendekat, sikap depresif mulai ditinggalkan, sedikit harapan akan masa depan mulai mulai dipikirkan. Kebanyakan dari Emo Kids yang pernah aku kenal mulai hijrah menuju hal-hal yang lain. Tugas kuliah dan perkenalan dengan ragam budaya musik baru mulai menghampiri.
Aku masih ingat, di tahun-tahun itu, saat demam MySpace menjangkiti remaja seperti kami. Arah musik perlahan bergeser, meski Emo masih meraung-raung di beberapa kavling atau pusat kota, Arctic Monkeys mulai perlahan mulai merasuki.
Berawal dari perkenalan dengan teman di jejaringan MySpace. Aku mulai mengenal Arctic Monkeys dengan beat-beat yang cukup gentle. Ravey Ravey Ravey Club dan I Bet You Look Good on the Dancefloor membuat kita ingin turun ke lantai dansa, sembari kesurupan, berdansa kaku serupa Vincent Vega dan Mia Wallace dalam film Pulp Fiction, Quentin Tarantino.
Hal lainnya, ketika hidup merantau ke Batam. Bekerja menjadi buruh di sebuah perusahaan konstruksi galangan kapal di Tanjunguncang membawaku pada perkenalan dengan sahabat baik bernama Wilson. Melaluinya, repertoar musik kembali bertambah.
Saat itu 2010, dua orang teman pekerja lainnya, Roby dan sahabatnya membuat aku terkenang akan The Changcuters, melalui dandanan mereka. Sementara Wilson membawaku lebih jauh mengenal Garage Rock dan Garage Punk. The S.I.G.I.T, The Brandals dari kancah independen Indonesia.
The White Stripes,The Strokes kembali aku dengarkan saat kali terakhir dikenalkan kawan dari Jakarta. Ini adalah masa ketika Rock and Roll, Garage, dan Punk Rock mulai mendekat.
Dari Ramones, The Sex Pistol, Rancid (Punk Rock) dan band underrated bernama Rock and Roll Soldiers. Gairah hidup dalam sebotol beer dan berbatang rokok saat lelah bekerja menjadi teman musik keseharian.
Di tambah lagi kegandrunganku akan Arctic Monkeys, dan mulai terdengarnya The Libertines, Black Lips, The Hives, The Vines, The Black Keys, The Stooges, MC5 hingga Bass Drum of Death.
Aku pun berani berkata, di dunia yang pelik dan fana ini kau tak akan bisa jauh-men-jauh dari hiruk-pikuk permusikan. Meski anda dari kaum tradisional/konservatif atau moderat. Musik serupa film, Ia memberi soundtrack tersendiri dalam kehidupan. Baik Kasidah, Dangdut, Pantura, Remix, DJ, Techno, Synthesizer, atau Noise dan lainnya.
Laman situs How Pop Culture Affects Teens menuliskan, dekade yang berbeda juga mengarah ke gaya musik populer yang berbeda, tetapi efeknya hampir sama. Musik populer dapat digunakan oleh perusahaan sebagai gimmick pemasaran, seperti remaja muda berusaha diakui dengan mulai membuat band Garage atau jenis lainnya, atau hanya untuk tujuan hiburan semata.
Di pertengahan 2011 aku tidak lagi bekerja di konstruksi galangan kapal. Pekerjaan baru menjadi sales ritail di sebuah perusahaan ritail lokal mulai kutekuni. Dalam keseharian bekerja, aku mulai mengenal beberapa teman baru. Meski tidak seprofesi, namun musik memperkenalkan kami.
Namanya Rido, melalui dia, aku mulai mengenal beberapa kugiran lawas. Persoalan musik memang tak bisa kita tebak. Di tengak hiruk-pikuk modernitas ia kembali membawaku bekelana menuju era yang aku sendiri, beberapa mengalaminya, tapi tidak terlibat secara langsung, dan beberapa lainnya sama sekali nihil.
Rido memperkenalkan musik rock klasik dan psychedelic seperti The Beatles, The Rolling Stones, The Doors, Pink Floyd, The Who, Jefferson Airplane hingga The Velvet Underground. Meski beberapa musik itu semasa kecil seringkali pernah aku dengar ketika paman memutarnya di rumah.
Sementara Blur, Oasis, The Verve, Pulp, Suede, The Stone Roses, The Smiths dan The Cure seolah-olah membawaku menuju generasi indies 90’an, notabenenya Rido tumbuh dan besar di era Grunge dan BritPop mengudara. Sementara aku saat itu masih sibuk bermain sepeda roda dua.
Persoalan dengan Rido tuntas, sementara aku terus mengexplore perbendaharaan. Memanfaatkan waktu luang yang banyak dihabiskan dengan sendiri selepas bekerja, kalau tidak membaca buku maka membuka YouTube, SoundCloud, atau BandCamp
Hingga warsa 2015-2019 beberapa fenome musik menghampiriku. Dimulai boomingnya produk musik independen, dan munculnya film Janji Joni karya Joko Anwar yang tak hanya menawarkan kita sebatas film semata, namun turut dihiasi beragam soundtrack dari band-band Indie Indonesia.
Janji Joni memang dirilis 27 April 2005, namun aku kembali menontonnya 10 tahun berselang. Tahun di mana kecenderungan musik Indies sedang meningkat di lingkunganku, bahkan beberapa band dalam film ini sukses menghiasi playlist lagu hingga sekarang.
The Adams, White Shoes & The Couples Company, Zeke and the Popo, Sore, Teenage Death Star, Sajama Cut, The Jonis, Salvadore Mamadou, Goodnight Electric dan Tommorow People Ensembel. Di luar sountrack itu aku mulai mengenal Rumahsakit, Jimi Multazham bersama The Upstairs dan Bequiet, beberapa tahun ke depan Morfem, Harlan Boer dengan C’mon Lennon.
Di sepanjang tahun 2015-2019, demam musik folk senja dan kopi juga turut mewarnai kancah permusikan dalam negeri. Dalam beberapa hal saat sendirian aku pernah mencoba mendengarkan lagu-lagu Payung Teduh di era awal, jauh sebelum mereka dikenal.
Dan ya, aku melihat semakin mewabahnya konsep aesthetic dalam rona senja dan kopi hingga munculnya Fourtwnty lalu Fiersa Besari, namun ketika berbicara folk aku tetap berkiblat pada Jason Ranty, Sisir Tanah, Silampukau atau Oscar Lolang.
Banyak hal sebenarnya fenomena yang bisa dibahas dalam kacah musik folk dan pergeseran maknanya di negeri ini. Hanya saja persoalan musik itu membawa indentitas pribadi kita masing-masing.
2018 ke 2019 hal baru mulai bermunculan dalam khazanah musik yang aku dengar. Musik indies mulai memiliki pakem yang kuat. Sementara Fazerdaze mulai digandrungi. Boy Pablo dan Seaside terus bernyanyi. DreamPop dan IndiePop mengakar. Vira Talisa pun Walking Back Home.