Oleh: F. Ilham Satrio

pelantar.id – Kita dapat membayangkan ada Boston dan Liverpool di Batam. Dengan basis buruh yang jumlahnya puluhribu, kita pun berkenan membayangkan Portland atau Buenos Aires.

Dua kota yang disebut di awal hadir seketika horison memanjang hanya laut dan lautlah yang terpampang. Sementara dua kota setelahnya, lebih mungkin hadir sebagai godaan utopia tentang dunia lampau yang perlu digugurkan untuk kita bangun kembali dari nol.

Tapi masalahnya kita tak sedang berada di Sarajevo; Boston, atau Buenos Aires. Anomali cuaca di Batam sudah cukup meyakinkamu untuk selalu membawa jas hujan justru di saat kulit terpanggang terik matahari di sekitaran Batuaji. Jas hujan dadakan itu dikenakan tak lama kemudian jika tak mau didamprat hujan di kawasan Botania, dengan jarak tempuh dari terik ke hujan hanya satu EP Midnight Clay saja, Shall We Dance or Lean to Each Other.

Tak ayal yang demikian lebih kerap menyeret bayangan untuk kembali melandai. Tapak tanah merah dari ban truk yang keluar masuk pesisir Kampung Jabi, tebaran pasir dan kerikil di sepanjang jalan Hang Kesturi, aspal dan coran semen los-los di Nagoya, trotoar yang koyak-moyak, serta lempung yang becek dan menggenang. Ibarat Lagu Hujan milik Koil tiba-tiba menyelinap ke daftar putar di ponsel setelah Everytime dari Boy Pablo selesai mengalun.

Di luar perkara cuaca di atas, jika bukan ponsel selundupan, maka kota industrilah yang melekat sebagai trademark Batam. Ada manufaktur dan perakitan komponen elektronik semungil lampu LED, juga pembuatan modul baja skala makro untuk industri migas lepas pantai.

Dari Batam Center, Nongsa Digital Park, sampai kawasan Mukakuning. Hampir di setiap tepian pulau yang resmi menjadi kota berpredikat khusus di bawah mandat B.J Habibie ini dikawal oleh lusinan shipyard. Kapal-kapal peti kemas bersandar siang-malam, untuk sekedar transit bongkar-muat hingga ditanggalkan lambungnya sampai tersisa kerangkanya saja.

Pada jam pergi dan pulang kantor, ribuan kendaraan bermotor yang ditumpaki buruh tumpah ruah ke jalanan. Saat peringatan 1 Mei, mereka seringkali menyemut di sekitar alun-alun Engku Putri. Ribuan buruh ini boleh jadi mampu menggulingkan apapun yang menghalangi cita-cita mereka.

Tentu saja, bila tak disusupi agenda-agenda elektoral yang secara episodik membuat konvoi mereka tak lebih dari pawai pendukung bakal calon walikota dan legislatif usungan partai tertentu.

Selain deretan pabrik dan jajaran pertokoan, diskotek remang ber-playlist koplo yang sahut-menyahut dengan klakson Fuso, Batam pun memiliki ragam hidden gems. Masih ada oase di tengah kepul karbon dan nyalak knalpot matic cacing. Siapa sangka di pojokan ruko-ruko Nagoya terselip Tobukas Bang Anton yang menyimpan tak hanya buku, tetapi juga berton-ton kisah dunia tulis-menulis. Atau yang agak umum, siapa mengira kerja-kerja artistik di bidang animasi justru terdapat di pelosok Nongsa?

Kafe (dan coffee shop) yang notabene jamak di setiap tikungan urban, kini pun berantakan dan dapat dijumpai hampir di setiap sudut Batam. Di kota yang sumber airnya ditopang oleh DAM ini sepertinya hendak menegaskan semacam perubahan. Ada dinamika kultural, multiplisitas ekspresi budayanya yang tampak silang-sengkarut, preferensi konsumsi warganya, serta ewuh-pakewuh dualisme administrasi yang lumayan klasik antara Pemko dan BP Batam.

Akulturasi siang-malam dan upaya kota untuk terus berdenyut itu, memungkinkannya untuk menghasilkan wahana auditif bermatra industrial layaknya Godflesh, Jesu, Nine Inch Nails, atau Cabaret Voltaire. Dalam satu babak memperoleh kemungkinan yang sama untuk berbagi sekam dengan lusinan hardcore kids dan punkrock galangan kapal yang, untuk sekedar menyebut, beriman pada Dropkick Murphys atau Negative FX. Sama-sama mengenyam denting skrup dan obeng, disusupi dengung trafo kiloan volt di malam lindap, yang terpacak pada gardu pabrik di sisi gang-gang pemukiman ruli (rumah liar).
Legasi musikal yang sahih sebagai anak kandung kota ini, untuk menyebut beberapa di antaranya, adalah kontingen sludge punk bertajuk Hope, plus unit power violence rendah hati bernama Blam!. Sementara Sunshypeach dan Hendra Subuh yang tampil di pelataran Legacy pada helatan perilisan perdana Batam Pop Culture (12/12/2020), mampu berbagi hangat kala gerimis saling mengawetkan asap kretek dan rasa lapar. Di ujung tahun, Batam mampu memberi kita kisah sekaligus peristiwa ajaib di luar hal-hal yang biasa kita peroleh secara algoritmik. Atau boleh jadi tak pernah kita antisipasi sebelumnya, selain anomali cuaca itu sendiri.

Upaya untuk menerka gerak dan merekamnya dapat ditengarai lewat Batam Pop Culture yang hadir dalam bentuk zine. Pada edisi perdana, Batam Pop Culture mengetengahkan Loka Suara sebagai underground mecca yang menjadi titik temu dan keberangkatan partikelir sidestream. Sebuah situs yang tak hanya eksis sebagai ruang, melainkan turut aktif membangun kesinambungan jabang skena untuk menjadi skena yang solid, intim, dan inklusif. Sampai di sini barangkali tak ada yang menyangka, aktivitas industrial skala masif yang menyangga kotanya masih menyisakan raw energi untuk berdansa liar di lantai dua Loka Suara.

Tak berhenti sebagai perekam, Batam Pop Culture pun mewarta album-album ciamik. Komprador yang mengampu zine ini paham betul seluk-beluk bebunyian yang paling representatif dan jauh dari lampu sorot. Lanskap temaram yang tak mesti berkonotasi bintang satu dalam standar ulas NME; tak juga beroleh angka 3 dalam standar elit macam Pitchfork. Batam Pop Culture punya kekhasannya sendiri untuk memotret peristiwa, menggorengnya, dan menerakan tanda, time signature, pada sela aktivitas yang serba ekspress lagi ingar-bingar.

Di Batam, dan di mana pun lanskap urban digelar, lusinan hal memang acap kali berubah seiring waktu. Yang tersisa untuk tetap sama pun tak kepalang tanggung jumlahnya, meski kalender berganti berkali-kali. Ada yang bergerak dan bergegas pasca MP3EI diprakarsakan. Ada yang gagap bersolek pasca Omnibus Law disahkan. Galangan kapal dibangun dan dikosongkan; buruh-buruh dikontrak dan dirumahkan. Ruko-ruko dibangun dan ditelantarkan; orang-orang datang dan pergi, kawan-kawan datang dan menghilang. Mungkin hanya asa dan kenangan yang tinggal, dan cara kita merekamnya sebagai marka dari koleksi momen-momen sederhana, sebagai peristiwa, sebagai zeitgeist.

Di penghujung tahun absurd 2020 ini akhirnya kita menemukan semangat menangkap dan merekam perubahan itu pada sebuah zine. Bukan usaha yang mudah untuk merekam sesuatu yang tengah bergerak dan terus berubah sekaligus berulah. Butuh daya dan upaya yang senada dengan kekeraskepalaan Morrissey untuk menjadi apa yang kini kita sebut Morrissey. Butuh kalkulasi yang lebih dari sekedar matang untuk menjadi apa yang kita daulat sebagai resistensi kultural.

Ikhtiar dan keberanian untuk memancing keributan medan wacana adalah hal yang patut hadir sebagai dosis yang sama mutual dengan semangat dan ketekunan yang menyertainya. Di senjakala aktivitas cetak-mencetak, saat print media tak lebih berguna dari pamflet apartemen Agung Podomoro dengan pelimbahan akhir bungkus bakwan, di ujung hari kita hanya mesti mengingat (dan menyanyikan lagi) refrain bancakan Sick of it All pada nomor Take the Night Off.

Jika menanam adalah melawan, maka di era doom-scroll ini, saat cita-cita milenial setara ujian kejar paket Tiktok, aktivitas mencetak zine secara otonom dan mendistribusikannya, sembari berjejaring dengan ragam komunitas, ekual dengan sebuah bentuk perlawanan yang paling elementer. Usaha catat-mencatat yang tak sekadar mencatat almanak ini, di tengah kota industrial dengan gelagat yang terus berubah dari hari ke hari, dan hadir dalam bentuk zine, adalah sinyalemen yang menggairahkan dalam suatu tumbuh-kembang gagasan dan aktualitasnya.

Tak bisa tidak untuk menjadi penasaran. Sengkarut peristiwa telah, sedang, dan bakal terjadi di kemudian. Menjadi diorama dan montase yang akan membentuk wajah serta lanskap kultural Batam. Entah itu berkat perang spasial-urban yang tersembunyi di balik gundukan-gundukan pasir; vaksin dan mahar psikologis untuk pandemi berikut kecemasan finansial yang menyertainya, atau sesederhana secret gig Loka Suara di akhir pekan yang menampilkan band-band ajaib. Sedemikian hingga, selain perlawanan elementer, ada sekelumit momen yang juga perlu dirayakan; tentang peristiwa yang layak dicatat, tentang gagasan yang layak diperjuangkan, tentang Batam, lanskap, dan segudang harapannya.