Penulis: H.M Chaniago

Pelantar.ID – Udara Batam masih terlihat berkabut hingga Sabtu, 14 September 2019. Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Hang Nadim Batam, Suratman mengatakan, bahwa beberapa hari ini langit Batam diselimuti jerabu, dan kembali sedikit menebal.

Persoalan asap ini merupakan problematika lama dalam kasus lingkungan hidup di Indonesia. Bahkan sumber dari World Resources Institute (WRI) Indonesia menyatakan selama beberapa dekade ini kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menjadi krisis lingkungan tahunan.

Kondisi terparah adalah tahun 2015 silam, ketika kekeringan akibat El Nino panjang menggelorakan api di atas sekitar 2,6 juta hektar lahan yang terbakar kurun waktu bulan Juni dan Oktober 2015.

Kebakaran lahan gambut yang kaya karbon ini, saat itu membucah cemas jutaan orang di Asia Tenggara yang terpapar kabut beracun, yang setara dengan tiga kali lipat emisi gas rumah kaca tahunan di Indonesia.

Hasil olah data Walhi sendiri, yang dikutip langsung oleh penulis dari lama Tirto.Id, kurun waktu Januari hingga awal minggu September 2019 ini tercatat 19.000 titik panas, 3500 lebih berada di kawasan konsesi, dan 8000 lebih di kawasan gambut.

Dalam hal ini investasi perusahaan ikut andil, sementara Presiden kita sedang sibuk update status di Twitter dan Facebook membentang karpet merah agar semua kementerian dan lembaga negara fokus pada penerimaan dan tidak menghambat investasi.

Bahkan Suratman mengabarkan, ketika update status hotspot Sabtu (14/9) petang ini, yang dia update di group pewarta BMKG, “Ada kemungkinan asap dari Sumatera sebagian sudah menyeberang ke Batam dan sekitarnya,” terangnya.

Ia pun memberi imbauan agar masyarakat turut peduli lingkungan, dan menegaskan untuk menjaga diri agar jangan sampai terjadi peristiwa kebakaran/pembakaran hutan/lahan yg merugikan kita semua, baik segi kesehatan maupun aktifitas transpotasi darat, laut, dan udara.

Meski begitu, Suratman masih sempat mengatakan, bahwa jarak pandang saat ini di Bandara Hang Nadim Batam berada dikisaran sekitar 4000 meter, yang ia sebut masih aman untuk transportasi darat dan udara. Sedangkan untuk transportasi laut agak mengkhawatirkan meski index pencemaran udara ia sebutkan masih masuk kategori ‘sedang’.

“Kondisi ini akan berkurang apabila turun hujan, hujan di Kepri diperkirakan mulai turun akhir September 2019 tetapi sifatnya lokal/tidak merata,” jelasnya.

Lain hal, Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Batam untuk menanyakan dampak dari kabut asap, Didi mengatakan bahwa dia telah sempat juga menghubungi Kementrian Agama (Kemenag) Batam, bahwa mereka akan menggelar shalat minta hujan atau Istisqa bersama.

“Persoalan ini merupakan berdampak nasional, tak ada salahnya kita membantu juga dengan berdoa,” katanya siang ini.

Didi juga memfokuskan akan gejala Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang akan dihadapi masyrakat, jika Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) meningkat, maka kecendrungan masus ISPA juga akan mengalami kenaikan.

“Namun Kasus ISPA ini nanti awal bulan datanya baru masuk dari setiap Puskesmas se-kota Batam. Kalau dampak asap ini terhadap itu pasti ada. Karena pollutan materialnya merangsang saluran pernafasan,” ujar Didi, Sabtu (14/9) siang ini.

“Kita saat ini lebih memberi imbauan dulu agar menimalisir dampaknya. Seperti; Mengurangi aktifitas di luar rumah, jika memungkinkan. Kalau keluar rumah pakai masker. Konsumsi air putih minimal 2 liter. Konsumsi buah dan sayuran agar gizi berimbang. Periksa segera kesehatan jika ada keluhan pernafas,” pungkasnya.

Sementara itu, Herman selaku Humas Manggala Agni Daops Batam mengatakan, perihal hotspot atau titik panas secara nasional untuk Jumat (13/9) kemarin disebutkan terdapat sebanyak 147 di wilayah Sumatera semata, dengan hotspot terbanyak ada di Provinsi Jambi, sebanyak 74 titik, menyusul Sumatera Selatan 46 titik, Riau 22 titik, Bengkulu 3 titik, dan Bangka 2 titik.