Kota Surabaya telah berubah. Itu yang terbersit di pikiran saya saat menyusuri sepanjang jalan Darmo. Perubahan itu pun kian jelas ketika saya mengunjungi beberapa destinasi di Kota Pahlawan ini.

Ingatan saya tentang Surabaya memang tak sempurna, meskipun saya lahir di kota yang terkenal dengan suporter sepakbola “Bondo Nekat” atau “Bondo Duek” ini. Rekam jejak ingatan saya yang melekat tentang Surabaya paling banyak tentang landmark kota di antaranya, Tunjungan Plaza, Delta Mall, Taman Hiburan Rakyat (THR), Monumen Kapal Selam Pasopati dan Siola Mall yang pada waktu itu adalah tempat ibu saya bekerja.

Tak lebih dari 5 tahun masa kecil saya habiskan di Surabaya. Selanjutnya, saya harus pindah ke Magelang karena mengikuti orangtua yang pindah tugas. Meski demikian, memori tentang Surabaya tak pernah hilang. Apalagi, hampir setiap Hari Raya Idul Fitri, kami sekeluarga juga ikut dalam tradisi mudik.

Saat lepas SMA, saya yang ingin ‘kembali’ ke Surabaya, melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, justru berbelok ke Malang. Namun, saya merasa tetap berada di Surabaya karena saat itu jarak tempuh Malang-Surabaya hanya sekitar 2 jam dengan kendaraan pribadi atau bus kota. Waktu itu, belum ada jalur tol yang memintas jarak dan waktu.

Jarak tempuh yang tidak terlalu panjang tersebut membuat saya sering mengunjungi Surabaya, waktunya pun tak menentu, bisa kapan saja. Saya sering mengunjungi sanak saudara dan teman sepermainan masa kecil, atau sekadar mencari suasana yang berbeda dari Malang.

Histori perjalanan itulah yang membuat saya merasakan adanya denyut perubahan demi perubahan yang terjadi di Surabaya. Semua itu membuat saya terkesima. Surabaya sudah tumbuh menjadi kota yang lebih teratur, bersih dan rapi. Taman-taman asri di tengah kota menambah cantik kota ini. Memang, tidak semua sudut kota di Surabaya menampakkan sempurnanya keteraturan tersebut. (Bagaimanapun, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan Rizky Febian semata he-he-he).

Sepanjang perempatan dan lampu merah di Surabaya, beberapa titik sudah dilengkapi dengan kamera pengawas (CCTV). Hal ini membuat para pengendara lebih disiplin dalam mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Keberadaan kamera tersebut diklaim telah mengurangi jumlah pelanggaran khususnya pelanggaran menerobos lampu merah.

Jalan-jalan protokol pun menjadi bersih dan rapi. Sulit menemui pedagang kaki lima menguasai petak-petak lahan di taman dan trotoar, seakan semua sadar bahwa fungsi trotoar adalah untuk para pejalan kaki. Termasuk di Jalan Darmo yang sering saya lalui.

Sungai-sungai di Surabaya sekarang terlihat lebih bersih dari sampah, ada pula sungai yang jadi tempat wisata dimana para wisatawan dapat menikmati panorama kota dengan menyusuri bantaran sungai menggunakan perahu kecil. Hebat Surabaya sekarang, gumam saya ketika menyaksikan semua itu.

Moleknya Surabaya, menurut hemat saya tak lepas dari sosok Tri Risma Harini, Wali Kota Surabaya. Perempuan yang akrab disapa Bu Risma itu memang sudah sangat dikenal di seantero Indonesia. Karakternya yang berani, tegas, tanpa tedeng aling-aling terhadap segala jenis pelanggaran membuatnya sering dijadikan sebagai kepala daerah panutan. Bahkan ada yang mengatakan jika Surabaya adalah Bu Risma, dan Bu Risma adalah Surabaya. Begitu kuatnya pengaruh Risma di Surabaya, sampai-sampai ia juga dijuluki sebagai ibunya Bonek.

Mungkin kalau ada pertanyaan di kuis Family 100, “Sebutkan 5 hal tentang Surabaya?”, bisa jadi survei membuktikan Bu Risma menduduki nomor satu hasil survei. Duh, jadi ketahuan deh kalau saya sudah berumur lantaran bahas kuis Family 100 ha-ha-ha.

Menurut saya, Bu Risma punya andil besar mengubah Surabaya menjadi kota Megapolitan. Saya, biasa melihat Bu Risma melalui siaran televisi atau video-video viral yang disebarluaskan dari grup-grup Whatsapp, mulai dari grup alumni SD, SMP, SMA hingga kuliah. Pun demikian di media sosial Facebok, Twitter, Instagram dan lainnya.

Rekaman Bu Risma marah saat upacara, ngamuk lantaran menemukan ketidakberesan di kantor kecamatan dan instansi lain, marah ketika mengatur lalu lintas yang semrawut dan sebagainya. Saya sempat berpikir, “Ibu ini kok kerjanya marah-marah terus. Apa bawahannya betah bekerja dengannya?”

Tapi di sisi lain, saya melihat dammpak dari marah-maah itu. Surabaya menjadi kota yang positif, kinerja aparat pemerintahan membaik. Warga Surabaya pun semakin cinta dengan Risma. Mengetahui bahwa warga Surabaya bahagia di bawah kepemimpinannya selama dua periode menjabat wali kota, saya merasa Bu Risma memang bertekad ingin menaikkan martabat arek Suroboyo ke pucuk tertinggi. Yang saya tangkap, Bu Risma ingin memacu warganya untuk menonjol di berbagai bidang dan membangun kotanya sendiri, bukan dibangun oleh orang lain.

Saat saya berkesempatan berkeliling di Mall Pelayanan Publik atau Pelayanan Satu Pintu di Gedung Siola bersama jajaran Humas Pemerintah Kota Surabaya, saya menemukan banyak hal yang mengagumkan, yang belum saya temui di Batam, kota tempat saa tinggal sekarang. Pertama masuk di lantai satu gedung tersebut, semua tampak biasa saja, counter-counter pelayanan publik dijejali masyarakat yang sedang mengurus berbagai hal perizinan. Pemandangan seperti ini juga lazim saya lihat di Mall Pelayanan Publik di Kota Batam.

Kemudian ketika saya naik ke lantai 2 gedung tersebut, barulah saya dibuat terpesona. Di lantai ini, terpampang banyak layar televisi, yang informasinya ada 33 layar tersambung dengan kamera CCTV yang terpasang di berbagai titik di Surabaya. Ruangan tersebut adalah Command Centre yang menjadi mata dan telinganya Bu Risma. Command Centre dibangun untuk mendapatkan informasi yang akurat dan cepat, sehingga informasi atau masalah yang masuk dapat dicarikan solusinya. Tentu saja, program ini melibatkan banyak instansi, semuanya saling terkait.

“Misalnya ada banjir, lalu Bu Risma memerintahkan pintu air ditutup, ternyata di layar pintu palang airnya belum tertutup, wah kepala dinas atau petugas di lapangan pasti kena marah sama Bu Risma,” ujar salah seorang pegawai bagian Humas Pemko Surabaya. Oke, dia marah lagi…dalam hati saya.

Lanjut ke lantai 3, yang semakin membuat saya melongo ada ruangan yang dikhususkan bagi warga Surabaya untuk bekerja kreatif, namanya Koridor Co-Working Space. Namanya saja sudah keren, fungsinya ternyata lebih keren. Tempat tersebut diperuntukkan bagi para pegiat kreatif (start up, designer atau UMKM) Surabaya untuk berkolaborasi. Pemakaiannya pun digratiskan, namun syarat ketentuan berlaku. Syaratnya entrepreneur, komunitas harus mengajukan proposal terlebih dahulu agar diseleksi oleh pihak Pemko Surabaya kira-kira usaha atau bisnisnya masuk kriteria atau tidak dan dapat berkontibusi untuk Surabaya.

Konsep tersebut sebenarnya untuk menciptakan sinergi antara Pemko Surabaya, si pembuat aplikasi/konsep, si content creator dan UMKM di bawah naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surabaya. (Baca tulisan ini sampai selesai ya, nanti saya jelaskan sinerginya).

Beberapa ruangan tersebut diberi nama sesuai fungsinya. Contoh ruang Baur, ya tempat untuk saling berbaur antarcreator, komunitas. Ruang sesrawungan yakni ruangan untuk saling menyapa, berdiskusi (srawung dalam Bahasa Indonesia artinya berkumpul, pertemuan). Desain ruangannya pun sangat kreatif dan penuh daya tarik. Maklumnya, penghuninya kan orang-orang yang punya daya kreatifitas tinggi. Dinding-dindingnya dipenuhi gambar dan kutipan kata-kata mutiara dari tokoh nasional termasuk Bu Risma sendiri.

Sepanjang saya menyusuri koridor tersebut saya melihat banyak orang menatap laptopnya, memasang headphone di telinga. Beberapa orang tampak sedang mengerjakan design, membuat program, ada yang hanya membaca buku, atau sekedar chit-chat dengan teman-temannya. Saya bilang ke teman di Humas Pemko Surabaya, “Ini ruang kerja idaman, work environment zaman now,”.

Sebelum diajak mengunjungi Mall Pelayanan Publik atau Pelayanan Satu Atap, saya juga diajak mengunjungi jembatan Surabaya di Kenjeran, daerah pesisir Surabaya. Baru ini saya tahu kalau Surabaya mempunyai jembatan baru nan elok secara arsitektur. Dan Anda tahu siapa yang merancangnya? Ya, benar, Bu Risma sendiri yang mendisain rancang bangun jembatan itu. Tak heran memang kalau kita tahu bahwa Bu Risman ini merupakan jebolan arsitektur dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.

Budayawan Muda Surabaya, Ayos Puwoaji mengatakan, jembatan Surabaya dibangun dengan tujuan salah satunya adalah untuk membuat landmark atau ikon baru di Kota Pahlawan ini, selain fungsinya untuk memotong jalan di lingkar timur Surabaya.

“Di pantai Kenjeran banyak kampung nelayan, sebenarnya pemerintah mau meperlebar jalan di daerah tersebut. Namun karena Bu Risma tidak mau mengorbankan warga kampung nelayan yang sudah lama bermukim di situ, maka dibuatlah jembatan penghubung. Jembatan ini juga untuk meningkatkan daya tarik wisata di daerah pesisir,” Ayos Puwoaji

Apa yang dilakukan Tri Rismaharini, jelas memberi dampak dan pengaruh nyata bagi kehidupan bermasyarakat di Surabaya. Pada tulisan ini, saya baru membicarakan soal infrastruktur, belum lagi tentang brand personality-nya yang sangat kuat. Siapa sih yang gak tahu Bu Risma, saya yang orang luar Surabaya pun sudah terbayang jika nama Risma tersebut. Meskipun image awal yang terbangun di pikiran saya adalah “tukang marah” namun brand personality tersebut diimbangi dengan pencapaian yang tinggi juga untuk ukuran kepala daerah.

Yang mau saya titik beratkan di sini adalah, sosok seorang Risma tentu dapat digantikan oleh siapa saja. Asalkan dia mau dan bisa bekerja. Di benak saya, Bu Risma ini adalah tipe pemimpin yang mau kerja bukan pemimpin yang suka marah, walaupun kerjanya sambil marah-marah.

Pada kunjungan ke Surabaya kali ini, saya juga berbincang-bincang dengan sejumlah warga Surabaya. Hampir semua ingin Bu Risma tetap menjadi pemimpin mereka. Tak sedikit yang menyayangkan dan kecewa bahwa periode kepemimpinan Bu Risma sebagai Wali Kota Surabaya segera habis.

“Coba bisa tiga periode, pasti Bu Risma jadi (terpilih) lagi. Sangat sayang,” ujar Adjie, warga Surabaya yang berprofesi sebagai pelaku usaha kecil.

Menurut Adjie, program-program kerja Bu Risma khususnya dalam upaya peningkatan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) sangat bermanfaat. Ia banyak terbantu dengan program tersebut. Di antaranya, program kolaborasi antara UMKM dan pekerja kreatif (start up, designer).

“Sekarang, saya hanya membuat produk. Untuk pemasaran dan kemasan kreatifnya, diurus sama anak-anak muda pekerja kreatif itu. Ini sangat membantu saya,” katanya.

Penulis : Tama

Editor  : Yuri B Trisna