“Ecoprint selain menciptakan konsep eco fashion juga bisa menjadi terapi alternatif bagi anak-anak autism”
Pelantar.id – “Hidup ini indah. Jangan membuat hidupmu menjadi hitam. Mulailah membuat hidupmu jauh lebih berwarna.”
Bisa jadi kalimat motivasi Krishnamurti di atas dikemudian hari membuka langkah Narsih Setyawan kerab disapa Bunda Awang menuju periode hidupnya yang cukup dikenal banyak orang.
Namun, awal mulanya, kisah itu berakar pada Januari 2015 kala sore yang begitu tenang di Yogyakarta. Saat itu seorang tetangga sedang melatas daun jambu batu agar tak terlalu rimbun di pekarang rumah yang berjarak dua rumah dari kediamannya.
Daun jambu batu itu seketika membuka tabir ingatan masa kecil saat dia terkena diare. Mendiang ibunya sering mengambil beberapa lembar daun dan meminta dia untuk mengunyahnya bersama garam. Kelat memang atau mungkin sedikit pahit terasa. Namun ajaib, diarenya perlahan sembuh ujarnya.
Lepas dari lamunan nun jauh itu, Bunda Awang meminta izin pada tetangganya untuk mengambil dedaunan yang telah dipangkas tersebut. Setibanya di dalam rumah, pikiran-pikiran yang tak disadari mengarahkannya mengambil palu, lalu masuk ke kamar mengambil kaos bekas menempatkan dedaunan di atas pakaian.
“Seketika digetok-getok loh hasilnya kok keren. Motif natural dedaunan muncul di kain, serat-serat warnanya juga menyatu,” ujar Bunda Awang, 14 September lalu saat kami berjumpa di pagelaran Bajafash 2019 Batam.
Malam harinya sekelebat pikiran bermunculan akan warna dan motif dedaunan yang cukup artistik di kaos bekasnya. Pada dasarnya dia bukan seorang designer, juga bukan orang pabrik yang berkecimpung di industri garmen, “Ndak ada hubungannya dengan kain pekerjaan saya selama ini,” terangnya menceritakan.
Sementara, atau sebelumnya bisnis terakhir yang dia geluti adalah bisnis batubara bersama sang suami. Wajar memang tidak ada muncul pikiran atau perspektif ekonomi dari hal tersebut, apalagi persoalan bahwa itu akan bisa menghasilkan uang.
Setelah mengetahui bahwa apa yang dia temukan dalam dunia fashion dikenal dengan teknik ecoprint, Bunda Awang mulai mengembangkan dan menelitnya secara otodidak selama satu setengah tahun.
“Hal yang pertama adalah bagaimana caranya agar warna natural daun ini tidak luntur seketika. Saya kembangkan sendiri secara otodidak,” ungkapnya.
Pun jua setelah berhasil menguasai dan memahami tekni-teknik ecoprint. Pertama yang dia lakukan adalah mulai mengajarkannya secara gratis pada teman-teman dan setiap orang yang berminat akan teknik ini, “Dan respon mereka bagus. Banyak teman-teman pembantik yang juga pindah pada teknik ecoprint,” beber Bunda Awang.
Pada 2016 dia mulai percaya diri dan yakin untuk terjun ke industri eco fashion. Dia mulai berani menjual produknya pertengahan tahun itu juga. Bisa dikatakan Bunda Awang adalah pelopor trend ecoprint di Indonesia.
Hal yang dia suka dari teknik ecoprint adalah persoalan konsep kembali ke produk ramah lingkungan supaya bisa mengurangi pewarna sintetis. Menariknya hal ini menjadi trend dan banyak yang ramai-ramai beralih ke pewarna alami.
Perihal corak produknya yang menarik serta terkesan unik, Bunda Awang mengatakan tidak memiliki nama-nama tertentu pada coraknya. Motif pun menyesuaikan suasana hati. Karena persoalan motif memang pasti akan mendasar pada dedaunan.
“Ndak ada nama-nama motif tertentu. Saya perkoleksi aja, kalau nama – nama tergantung dari design baju,” terangnya.
Bunda Awang juga selalu berusaha menyesuaikan produk yang diproduksi dengan issue yang lagi trend di masyarakat, dan cuting pakaian juga selaras akan konsep menimalisir limbah dari hasil kreasi fashion itu sendiri.
Satu kain idealnya dalam seminggu bisa dihasilkan sebanyak 25 lembar itu pun kalau dia sedang fokus untuk produksi. Selembar kain yang telah melalui proses ecoprint dengan ukuran tiga meter dihargai sekisaran Rp 3,2 juta. Selain kain, teknik ecoprint juga diaplikasikan pada medium tas, tote bag dan pouch.
Pada dasarnya ecoprint ini dia sebutkan merupakan adaptasi dari teknik yang berkembang di luar negeri. Dedaunan ditaruh di atas kain, digetok-getok hingga menyerupai motif daun hingga warna asli daunnya menyatu dengan serat kain.
Ecoprint dan Terapi Anak-anak Autism
Bunda Awang lahir di Surabaya, 25 Agustus 1976. Kini dia menetap di Yogyakarta membuka kelas pelatihan ecoprint. Banyak perajin ecoprint lahir berkat bimbingannya dan juga melalui video-videonya tentang ecoprint yang tersebar luas di YouTube maupun Facebook.
Hasil dedikasinya selama ini membuat dia acap kali diundang sebagai pembicara seminar dan pelatihan sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pun pernah diundang menjadi narasumber talk show Hitam-Putih.
Di Batam, saat kami bertemu, Bunda Awang mengatakan teknik ecoprint juga bisa menjadi terapi bagi anak-anak autism. Anak-anak autism yang rata-rata tidak bisa fokus dan diam, melalui terapi ecoprint perlahan motorik mereka diarahkan agar bisa fokus akan satu kegiatan.
“Kita kasih palu, daun dan kain. Arahkan mereka untuk fokus pada kegiatan ketuk mengetuk. Ritme suara yang dihasilkan dari ketukan itu yang menstimulan motorik mereka untuk menjadi fokus,” jelasnya.
“Berdasarkan informasi dari guru-guru hal ini cukup efektif dalam menerapi anak-anak SLB,” terangnya.
Dia pun pernah diundangan untuk memberi materi ke guru-guru Sekolah Luar Biasa (SLB) di seluruh DIY untuk belajar teknik ecoprint agar bisa diaplikasi pada konsep terapi anak-anak SLB.
“Beberapa karya-karya anak SLB udah pernah diikuti pameran SLB se-Indonesia di Kuningan, Jakarta pada akhir Agustus 2019. Ketika itu anak-anak SLB dari provinsi lain yang ikut festival di Kuningan banyak juga yang langsung ikutan workshop,” pungkasnya.
Kini, selain berkecimpung di dunia fashion, Bunda Awang juga turut mengelola di Rumah Bangkit di Surabaya. Rumah Bangkit merupakan tempat pembelajaran yang mendukung segala bentuk pendidikan, baik formal maupun non formal.
Fokus utamanya adalan pada kampanye budaya belajar dan menciptakan virus belajar. Materi yang diajarkan adalah pelajaran umum, mengaji, bahasa Inggris, menulis kreatif, menari, dan menggambar. Peresmian Rumah Bangkit juga turut dihadiri Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.