pelantar.id – Pemerintah tengah menyiapkan insentif untuk sejumlah sektor usaha penghasil devisa. Dengan insentif ini, pemerintah berharap defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) bisa diperbaiki.
Transaksi berjalan yang terus mengalami defisit sejak tahun 2012 menyebabkan nilai tukar rupiah rentan terhadap pergerakan dollar Amerika Serikat (AS). Bahkan pada tahun ini CAD berpotensi membengkak, hal itu terindikasi dari nilai defisit kuartal I-2018 yang sebesar US$ 5,54 miliar. Jumlah itu dua kali lipat dibandingkan periode sama 2017 yang US$ 2,16 miliar.
CAD membengkak seiring dengan naiknya defisit neraca perdagangan. Neraca dagang hingga Mei 2018 sudah defisit US$ 2,83 miliar, bandingkan dengan periode sama tahun lalu yang surplus US$ 5,99 miliar.
“Defisit transaksi berjalan harus ditangani jika perekonomian ingin maju,” kata Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (26/6), seperti dikutip dari Kontan.co.id.
Untuk itu, pemerintah menempuh strategi berupa penguatan kebijakan yang mendukung industri pengundang devisa, seperti pariwisata dan industri substitusi impor.
Pariwisata bakal jadi motor utama perbaikan devisa. Pasalnya, dengan potensi wisata yang besar, devisa yang dihasilkan sampai saat ini masih kecil. Ini terjadi karena jumlah kunjungan wisatawan asing tumbuh pelan dan hanya mencapai 12 juta orang tahun lalu (lihat tabel). Bandingkan dengan kunjungan wisatawan asing ke Thailand yang di atas 30 juta orang per tahun.
Kemkeu akan memberi insentif kemudahan perpajakan, bea cukai, dan kepabean. “Kalau dari sisi perpajakan seperti insentif penurunan tarif, pemberian insentif tax holiday,” ujar Sri.
Ia mengatakan, pemerintah akan terus mendorong pendapatan devisa negara untuk membantu neraca pembayaran dari sisi transaksi berjalan.
“Tadi bicara juga dengan Bapak Presiden bahwa kalau perekonomian ingin maju terus, tapi transaksi berjalan tetap bisa dijaga dari sisi defisitnya,” kata dia.
Sri mengatakan, dalam rapat tersebut juga turut membahas soal kebijakan ini dengan Menko Darmin terkait respon dari sektor ril. Sementara dari Kemenkeu akan membahas dari sisi intensif dan kemudahan dari sisi perpajakan, bea cukai, kepabean.
“Kalau dari sisi perpajakan seperti tadi insentif penurunan tarif, pemberian insentif, tax holiday. Tax holidaynya pun bermacam-macam, ada tax insentif juga yang bermacam-macam, ada yang berdasarkan skala investasi, jenis kegiatannya,” katanya.
Selain itu, Menkeu juga akan membahas sisi makro prudential bersama Bank Indonesia, serta kebijakan makro prudential di OJK. Untuk keduanya, akan membahas dari sisi belanja APBN.
“Katakanlah dari subsidi suku bunga atau dukungan terhadap sektor tertentu. Jadi bersama dengan BI dan OJK, juga Menko Perekonomian melihat kebijakan apa yang bisa kita kombinasikan,” ujarnya.
Ia menegaskan, koordinasi antara kementerian dan lembaga ini memiliki tujuan yang sama yakni meningkatkan kemampuan untuk mendapatkan devisa, apakah itu dari sisi ekspor, pariwisata, atau sektor jasa lain.
“Intinya, kita akan mengurangi kebutuhan untuk membelanjakan devisa, dan bagaimana kita menekan apa yang disebut defisit itu sehingga kita bisa memperbaiki performance dari pertumbuhan ekonomi tanpa kekhawatiran yang muncul karena adanya neraca pembayaran,” kata dia.
Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Anto Prabowo mengaku, pihaknya memang sudah membahas rencana kebijakan insentif untuk pendorong masuknya devisa. Namun ia masih merahasiakan rencana kebijakan itu.
“Kami sudah mulai bahas, ditunggu saja hasilnya,” ujarnya.
Sumber : Kontan.co.id