Oleh: Fathurrohim
Pelantar.id – Campuran gula dan susu pada kopi tentu sudah biasa. Lain cerita dengan kopi tuak yang biasa dinikmati masyarakat Desa Jambi Tulo, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi yang menjadikan nira sebagai pengganti gula.
Meski jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tuak berarti minuman beralkohol yang dibuat dari nira aren, kelapa, atau siwalan yang diragikan. Tapi kopi tuak masyakarat Jambi Tulo tak mengandung alkohol, tak pula memabukkan.
Salah satu warga yang juga pengelola sanggar seni dan budaya Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMB) Desa Muaro Jambi, Adi Ismanto menegaskan bahwa kopi tuak sama sekali tak mengandung alkohol.
“Karena dalam bahasa Melayu tuak itu berarti nira. Terlebih nira yang dicampur di dalam kopi ini diambil langsung dari batang pohon enau,” kata dia.
Adi menjelaskan, air nira yang baru disadap harus segera diolah jika hendak menikmati kopi tuak. Sebab, jika lebih dari satu jam setelah disadap, nira yang semula manis akan berubah rasa menjadi asam.
“Dalam satu hari pun, menyadap nira hanya dilakukan di jam delapan pagi dan empat sore. Ini yang membuat kopi tuak berbeda dan memiliki ciri khasnya sendiri,” ujarnya.
Ia berkisah, kopi tuak merupakan budaya serta mengandung sejarah akan perjuangan masyakarat Desa Jambi Tulo pada masa penjajahan Belanda. Kala kolonialisme melanda, beberapa bahan pokok amat susah dijumpai, tak terkecuali gula. Sehingga masyakarat Desa Jambi Tulo harus mencari alternatif lain pengganti gula sebagai pemanis dalam secangkir kopi.
“Kalau berharap dari tebu tentu sulit karena cukup memakan waktu. Akhirnya, beberapa warga pun mengakali rasa manis dari gula dengan beralih ke tuak,” katanya.

foto: Fatur/pelantar.id
Saat menyerup kopi tuak ini, aroma nira turut serta membaui indra penciuman dan rasa pada lidah. Seteguk kopi tuak pun terasa segar karena rasa manis yang padu dengan pahitnya kopi yang tak saling dominan satu sama lain.
Untuk menambahkan rasa manis pada kopi tuak, yang diperlukan hanyalah memasak nira dengan waktu yang lebih lama. Sehingga nira akan kian mengental hingga berbentuk karamel dan kian terasa manis.
Adi menyarankan, kopi tuak bisa dinikmati dengan cangkir berbahan bambu. Sebab bambu yang memiliki pori-pori kecil akan mengantarkan panas dari dalam menuju bagian luar cangkir. Yang juga tak kalah menarik adalah, cangkir bambu yang disediakan Adi saat itu memiliki gagang yang dianyam oleh serutan bambu dan diberi nama jalinan tulang belut.
“Pada bagian luar cangkir juga, sengaja kami kupas kulitnya. Hal itu bukan tanpa alasan, bagian luar itu merupakan kulit bambu yang licin dan kedap air. Sementara bagian dalam cenderung halus dan memilik pori-pori kecil yang memungkinkannya menampung air,”
“Jadi kenapa kulit luar itu dikupas agar bambu dapat digunakan lebih lama. Karena biasanya air itu masuk dari bagian tengah antara bagian luar dan dalam bambu. Kalau kulit luar tak dikupas, maka air akan tertahan dan menyebabkab bambu mudah berjamur,” terangnya.
Meski begitu, tak menjadi masalah pula menikmati kopi tuak dengan cangkir berbahan kaca atau porselen. Kopi tuak pun biasa bersanding dengan ubi rebus atau goreng sebagai kudapan bagi masyakarat Desa Jambi Tulo saat memulai dan mengakhiri hari.
Hingga kini, kopi tuak hanya bisa dinikmati di desa-desa di Jambi saja. Nira yang mudah berubah rasa menjadi asam sesaat setelah disadap menjadi alasan mengapa kopi tuak tak tersaji di warung-warung kopi di perkotaan.