“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”Pramoediya Ananta Toer

Pelantar.id – Sekelompok remaja memilih untuk menghabiskan malam minggu mereka berdiskusi di sebuah toko buku bekas di bilangan kota Nagoya, Batam. Tepatnya di penghujung bulan November 2019.

Agenda tukar pikiran ini membahas ulang karya Pramoediya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia yang merupakan satu buku dari quartet Buru yang pernah menjadi ancaman bagi Tuan Utama pada masa orde baru.

Sejauh pandangan pribadi saya, buku ini dilarang karena Pram disebutkan terlibat intim dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang mana pada masa sebelumnya identik dengan Partai Kiri, atau suatu konsep idiologi horor dan sangat ditakuti negeri ini.

Mengkaji lebih jauh lagi, Lekra pada masa lampau memang bisa dikatakan dekat dengan PKI. Sayangnya ragam catatan tidak pernah menyebutkan Lekra menjadi bagian resmi dari partai politik berhaluan kiri tersebut.

Iswara N Raditya & Wisnu Amri Hidayat menuliskan di Tirto.Id (15 Agustus 2019) mengutip laporan Majalah Tempo (30 September 2013) mengenai perselihan antara Ketua Central Comite PKI Dipa Nusantara Aidit dengan wakilnya, Njoto, mengenai posisi tawar Lekra di partai mereka.

Aidit ingin Lekra berfusi secara resmi, sementara Njoto tegas mengatakan tidak dengan alasan–meski Lekra didirikan kaum kiri– tidak semua seniman Lekra berhaluan sama, dan Pram satu di antara yang tidak itu.

Kekhawatiran Njoto adalah jika Lekra dipaksakan bergabung, maka akan membuat seniman non-PKI seketika hengkang dan ini adalah situasi yang buruk bagi PKI dan Lekra. Berkat Njoto, Lekra disebutkan tidak pernah menjadi bagian resmi dari PKI.

Persoalanya, pandangan ini tentu bukan hal yang dapat diterima bendoro penguasa Orba. Meski bukan bagian dari partai terlarang, Lekra tetap harus disamaratakan.

“Tak satu pun yang berhasil mem-PKI-kan Lekra, kecuali Soeharto. Bahkan, Aidit (ketua PKI) tidak bisa,” kata Putu Oka Sukanta, seniman asal Bali, dikutip dari Tempo via Tirto.Id.

Ringkasnya hal ini adalah alasan Pram dan buah karyanya dilarang karena rasa alergi Tuan Utama akan segala sesuatu yang telah terkontaminasi oleh Partai Kiri.

Pramoedya Ananta Toer saat pertama bertemu anak-anaknya setelah keluar dari Pulau Buru. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer) via CNN Indonesia

Karya-karya Pram pada dasarnya hanyalah korban dari ketakutan Tuan Utama, saat berkuasa dia sangat mem-filter apa yang harus dan tidak harus diketahui oleh masyarakatnya.

Persoalan pemberangusan karya pun tidak hanya dialami Pram. Banyak karya lain yang dilarang seperti Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara karya Slamet Murjana terbitan Bharata (1968) yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971.

Max Lane seorang Indonesianis asal Australia dan sosok pertama yang menerjemahkan Tetralogi Pulau Buru ke Bahasa Inggris pernah memaparkan pendapatnya akan ketakutan Tuan Utama.

Ia mengatakan hal itu terjadi karena, atau jika generasi muda mengenal Pram maupun karya-karya sastrawan besar Indonesia lainnya, maka mereka akan memahami sejarah Indonesia yang nyata. Dengan memahami sastra atau literasi, rakyat paham mengenai perlawanan dan sejarah bangsa yang sebenarnya.

Begitulah maksud yang ingin disampaikan oleh mantan mahasiswa Universitas Sidney, yang sempat bekerja di Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia di dekade 80’an. Namun bagian ini cukup sampai di sini saja saya tulisakan.

Suasana diskusi buku Bumi Manusia foto by Fatur

Kembali pada persoalan diskusi remaja. Bisa dikatakan masih belum terlalu menarik dari sisi pembahasan karena keterlibatan antar setiap unsur baik pematari dan yang hadir berdiskusi masih didominasi beberapa orang saja.

Meski begitu, beberapa pendapat yang dikemukakan cukup membuka pintu berpikir untuk menjadi bahan dasar tulisan ini–anggap saja sebuah rangkuman–tentang Bumi Manusia.

Apa itu Bumi Manusia? Kenapa harus Bumi Manusia? Dari judulnya kita sudah memahami terdapat dua kata, Bumi dan Manusia.

Bumi adalah planet yang menjadi tempat atau konstelasi di mana manusia itu tumbuh dan menjadi besar bersama segala persoalan dan konflik merajalela sedemikian rupa.

Manusia, dari beragam pendapat ahli banyak mengacu pada makhluk sebaik-baiknya ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Lalu di dalamnya ada Kemanusiaan yaitu cermin yang memanusiakan manusia itu sendiri.

Kembali ke Bumi Manusia, buku ini pertama kali lahir di rahim Pulau Buru tempat penulisnya ditahan oleh pemeritah Orde Baru. Buku diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tanggal 25 Agustus 1980.

Meski begitu latar buku hadir pada era kolinialisme, masa di mana Belanda sedang berjaya mengeruk keuntungan di Nusantara, atau penjajahan masih begitu sangat merajalela.

Tokoh utama dalam buku adalah Minke dan Nyai Ontosoroh dengan Annelies Mallema dan beberapa tokoh lainnya sebagai supporting characters.

“Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Dimana pun ada yang mulia dan jahat. Dimana pun ada malaikat dan iblis. Dimana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis” – hal 110.

Kutipan ini tegas menggambarkan, dimana adanya penjajahan maka di sanalah nilai kemanusiaan itu hilang oleh sebuah penindasan. Bangsa yang beradab sekalipun akan hilang adabnya ketika keadilan mereka berikan hanya pada kelompok tertentu saja.

Sementara kita memahami manusia pada dasarnya adalah makluk yang sama di mata sang pencipta, jika merunut pada konsep teologisme.

Perbendaan-perbedaan primordial di dalamnya merupakan bentuk dari proses pasca-hadirnya “manusia” itu sendiri. Kau gundik, kau totok, kau barat dan kau timur, itu lebih tepatnya pelabelan tertentu.

Pembedaan seperti inilah yang ingin diangkat dan dihancurkan oleh Pram dalam novel Bumi Manusia. Ia memperjuangkan kaum-kaum minor dan orang-orang yang kalah. Tak peduli kau seorang pribumi, kau perempuan, kau gundik atau jenis pelabelan lainnya.

Pram dalam Bumi Manusia ingin mengajak kita untuk–mengutip Multatuli (Bahwa tugas manusia yang hidup itu adalah untuk memanusiakan manusia!)–Bukankah seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan?

Moralitas ini yang menjadi dasar Pram dan juga kita yang telah membacanya untuk menentang segala bentuk ketidakadilan, kekerasan, dan segala bentuk rasisme, kejahatan kepada manusia dan kemanusiaan.

Karena senyatanya, Bumi Manusia-nya Pram adalah bumi yang menanusiakan manusia itu sendiri.