pelantar.id – Kalangan buruh di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau berencana melakukan aksi mogok kerja pada Senin-Selasa (7-8/5). Mereka kecewa tuntutan pada Hari Buruh Sedunia (May Day), 1 Mei lalu tak dipenuhi pemerintah.
Kekecewaan buruh bertambah saat Gubernur Kepri Nurdin Basirun tak hadir pada pertemuan di Kantor Wali Kota Batam, Kamis (3/5).
“Kami sangat kecewa, pemerintah hanya janji-janji saja” kata Muhammad Mustofa, Pimpinan Cabang Forum Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam.
Menurut Mustofa, Gubernur Nurdin tidak punya itikad baik untuk menemui buruh dan menjelaskan belum ditandatanganinya Upah Minimum Sektoral Khusus (UMSK) Kota Batam 2018. Ia menegaskan, anggota lintas organisasi serikat buruh di Batam sudah berkoordinasi untuk rencana mogok pada 7 dan 8 Mei nanti.
“Ada ribuan massa anggota yang sudah siap untuk aksi (mogok kerja). Kami juga akan aksi demo di Batam dan Kantor Gubernur di Tanjungpinang,” ujarnya.
Aksi tersebut sebagai upaya mendesak Gubernur Nurdin segera meneken UMSK Batam 2018. Pada peringatan May Day lalu, buruh Batam mengajukan empat tuntutan.
Pertama, menolak atau mendesak pemerintah pusat mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Kedua, turunkan harga sembilan bahan pokok (sembako), listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Ketiga, tolak tenaga kerja asing (TKA) unsklill (tanpa keahlian) dan terakhir mendesak pemerintah segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) Upah Minimum Sektoral Khusus (UMSK) Kota Batam 2018.
Buruh-Pengusaha Duduk Bersama
Dihubungi terpisah, Nurdin mengajak kalangan buruh agar kembali duduk bersama pengusaha untuk mencari kesepakatan terbaik.
“Saya mengimbau, mengajak kalangan buruh untuk memahami, bahwa saat ini, kondisi investasi kita masih sulit. Banyak pengusaha yang menutup perusahaannya di Batam. Salah satunya karena kurangnya kenyamanan daalam menjalankan usaha mereka,” katanya.
Menurut Nurdin, aksi demo apalagi mogok kerja bukan jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan masalah pengupahan. Pemerintah juga tak bisa begitu saja memenuhi tuntutan buruh. Bagi pemerintah, buruh dan pengusaha sama-sama unsur penting, sehingga tak bisa dipilih salah satunya.
“Buruh dan pengusaha itu bagai dua sisi mata uang, saling terkait dan tak terpisahkan,” katanya.
Ketua Asosiasi Pegusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Kepri Cahya mengaku khawatir dunia usaha di Batam tergangu dengan banyaknya aksi buruh. Menurut dia, saat ini iklim usaha sedang mendapat beban berat. Ditambah lagi dengan UMSK, beban tersebut dipastikan bakal membuat para pengusaha terpukul.
“Kami khawatir akan semakin banyak perusahaan di Batam yang tutup,” katanya.
Menurut Cahya, UMSK di dalam PP 78 Tahun 2015, tidak menjadikeharusan untuk dilaksanakan. PP tersebut hanya menganjurkan UMSK bisa ditetapkan untuk sektor-sektor unggulan apabila memungkinkan, dan karenanya tidak wajib ditetapkan.
Ia berharap pemerintah lebih bijak mengambil keputusan terkait UMSK Batam ini. Menurutnya, iklim investasi dan kenyamanan berusaha harus dijaga agar perekonomian stabil, dan lapangan pekerjaan tetap tersedia.
Editor: Yuri B Trisna