Debitur atau pengutang di Bank tidak selalu memiliki catatan bersih. Kasus gagal bayar kredit bank lazim terjadi, mulai karena goncangan ekonomi, hingga kenakalan debitur yang sengaja mengemplang utang. Berbagai cara dilakukan oleh industri perbankan untuk mengatasi persoalan utang macet.
Menagih utang menggunakan orang suruhan atau debt collector adalah cara paling lazim ditemui di Indonesia. Pada kasus lain, gagal bayar akan mengakibatkan seseorang masuk ke dalam daftar debitur bermasalah yang biasanya akan mempengaruhi lolos atau tidaknya nasabah saat mengajukan pinjaman. Sebelum disetujui kreditnya, pihak bank atau pembiayaan akan memeriksa riwayat pinjaman seseorang dalam catatan Bank Indonesia, atau dikenal dengan BI Checking. Jika tak lolos, biasanya nasabah tidak akan disetujui untuk mendapatkan kredit kepemilikan misalnya properti atau kendaraan.
Pemerintah China memiliki cara unik untuk menangani pengemplang utang. Baru-baru ini, South China Morning Post menurunkan tulisan dari seorang wartawatinya, Sarah Zheng tentang cara unik yang tergolong baru itu. Alih-alih memperkarakan debitur ke pengadilan, pihak perbankan justru menerapkan sanksi sosial untuk mengatasi persoalan itu.
Di media berbahasa Inggris itu Sarah melaporkan, pihak bank dan pemerintah mempublikasikan data diri dilengkapi foto debitur nakal itu melalui bioskop-bioskop, sebelum film diputar. Strategi yang disebut Sarah sebagai rheel of shame itu adalah cara untuk mempermalukan debitur, di hadapan kolega dan lingkungannya yang mungkin menonton film di bioskop.
Rheel of shame dimulai dengan tampilan animasi berbahasa China yang meminta penonton untuk memperhatikan para “laolai” atau pengutang gagal bayar. Setelah menampilkan data lengkap disertai foto, tayangan tersebut juga mempertontonkan putusan pengadilan yang mengharuskan sang debitur membayar utangnya.
Sarah menuliskan pemunculan rheel of shame itu di sebuah bioskop di Provinsi Sichuan. Pihak bioskop memperoleh 26 salinan nama pengutang nakal yang rata-rata adalah pebisnis kelas atas.
Direktur Penindakan Pengadilan Henjiang, Li Qiang menyatakan, taktik mempermalukan debitur nakal itu adalah hukuman tambahan, yang diterapkan bersama catatan daftar hitam, pencekalan, dan pembatasan bepergian. Penggunaan taktik mempermalukan debitur nakal di ruang publik diakui Li semakin lazim di beberapa wilayah lain.
“Kami sengaja mengekspose data pengutang itu di wilayah di mana sang debitur itu tinggal. Hasilnya cukup efektif,” kata Li Qiang kepada South China Morning Post.
Selain di bioskop, pengadilan juga mempublikasikan jatidiri dan kasus kredit macet itu di papan-papan pengumuman elektronik yang tersebar di seantero kota, serta di bus-bus umum.
Utang Gagal Bayar Adalah Masalah Kronis China
Li Qiang menyebut, sejumlah kota lain juga mempermalukan para debitur nakal dengan berbagai cara. Hal itu menyusul rilis resmi pengadilan China pada bulan April 2018 yang menyatakan ada 10,5 juta pengutang bermasalah di seantero negeri. Data yang sama juga menyatakan, sudah lebih dari 11 kali para pengemplang ditolak saat membeli tiket pesawat karena persoalan utang tak terbayar itu, selain 4 juta lebih lainnya tak dapat membeli tiket kereta api.
Hukum di China memberlakukan publikasi nama, alamat, nomor kartu identitas, foto, tempat tinggal, hingga jumlah utang seseorang sejak tahun 2017 silam. Berbagai cara dilakukan. Penegak hukum menggunakan taktik yang berbeda-beda di setiap wilayahnya.
Menurut catatan Sarah, pengadilan di sejumlah provinsi seperti Jiangsu, Henan dan Shicuan bahkan bekerjasama dengan provider telepon dan seluler untuk mempermalukan pengutang nakal. Jangan heran, bila seseorang menelepon nomor yang pemiliknya adalah pengutang nakal, sebelum tersambung akan diperdengarkan pemberitahuan identitas dan jumlah utang orang yang akan ditelepon tersebut.
Meskipun mendapat berbagai tentangan karena menciderai hak privat, namun pemerintah tak bergeming. Justru taktik mempermalukan itu semakin canggih seperti yang diterapkan di Shenzhen misalnya. Kota digital itu menerapkan teknologi pemindai wajah yang diaplikasikan melalui perangkat Closed Circuit Television (CCTv) kemanan. Ribuan CCTv akan merekam wajah orang di berbagai sudut kota dan otomatis akan menampilkannya di papan reklame elektronik saat seorang pengutang terekam melintas.
Teknologi pemindaian pengenal wajah (face recognition) mengalami kemajuan pesat di China. Kantor berita Xinhua melaporkan, penggunaan teknologi face recognition itu awalnya digunakan untuk menangkap pejalan kaki yang menyeberang sembarangan. Saat berjalan, seseorang akan terekam dalam video pendek berdurasi sekira 15 detik. Kemudian video itu akan dianalisa menggunakan perangkat lunak mutakhir dan hanya mebutuhkan 20 menit saja untuk menperoleh hasil.
Data rekaman CCTv itu melalui sinkronisasi dengan data identitas milik kepolisian dan instansi lain dalam 20 menit proses itu. Hasilnya, nama dan identitas pejalan kaki itu akan ditampilkan di layar besar. Selain dipermalukan, pelanggar juga akan didenda oleh pihak berwajib. Tak hanya itu, petugas juga biasanya akan mempublikasikan profil media sosial si pelanggar sekaligus.
Efektifitas penggunaan CCTv sepertinya cukup tinggi. Misalnya di Jinan, Ibukota Provinsi Shandong, sejak diterapkan pada awal bulan Mei 2018 ini, sebanyak 6 ribu kasus pelanggaran telah diungkap. Dengan akurasi luar biasa, China berharap banyak dapat menekan para pengemplang utang di kemudian hari.
Joko Sulistyo
Dari berbagai sumber