Oleh:Uki Lestari

Guru

 

Langit tampak gelap di sekeliling taman. Di bangku besi bercat coklat tua itu, aku tetap bertahan menanti kehadiran sosok yang kurindu beberapa bulan ini. Reyhan.

pelantar.id – Kedatangannya sangat kutunggu. Berharap rindu ini mencair dengan pertemuan yang kuagungkan ini.

Rintik gerimis mulai menyalami tiap sudut taman. Hujan kecil itu tak membuatku berpindah tempat. Kekhawatiranku lebih kupertahankan dibandingkan bekunya dingin yang mulai menyergap tubuh.

Khawatir bila Reyhan datang, tak menemuiku karena aku telah tak di sini. Dua jam lebih aku duduk tak berpindah tempat. Setia menunggu kedatangan yang mulai pudar kuharap.

Langit mendung bertambah gelap. Mentari sepertinya juga penat menemani penantianku. Dari ujung taman, tampak laki-laki berjaket biru tua, setengah berlari ke arahku.

Di tangannya ada payung lipat. Ia buka dengan tergesa dan segera memberikan perlindungan untukku. Payung tersebut tepat di atasku.

“Si, kamu ngapain di sini? Tak sengaja tadi aku lewat dan melihat kamu.” Zaki membuka percakapan sambil membuka jaketnya lalu menyodorkannya padaku. Tampak kekhawatiran yang teramat dari tingkahnya.

“Aku menunggu Reyhan. Kami berjanji akan bertemu di sini. Tempat terakhir kami bertemu, tiga bulan lalu,” jawabku lirih.

“Dia gak akan datang, Si. Ayo pulang. Percuma menunggunya di sini sendirian. Lagi pula ini sudah mau magrib. Yuk!” Ajak Zaki sambil membuka tangannya mempersilakanku berjalan terlebih dahulu. Aku pun bangkit menuruti ajakan Zaki yang ada benarnya juga.

Kami masuk ke mobilnya. Di perjalanan, azan magrib berkumandang. Kami memutuskan untuk salat terlebih dahulu di Masjid Ar Rahman, yang tepat berada di tepi jalan sebelah kiri.

Selepas salat, kami tak langsung pulang. Zaki terlebih dahulu mengajakku mampir di sebuah butik. Memintaku menukar pakaian yang sedari tadi basah. Aku tak dapat menolak. Hijab dan baju ini memang membuatku kedinginan.

**

Saat Yesi telah berganti pakaian, Zaki yang menunggu di luar tampak terpesona dengan keanggunannya. “Pakaian ini sangat cocok untukmu,” ucap Zaki, yang tak beralih pandangannya dari Yesi.

Yesi hanya tersenyum kecil. Tidak merasa tersanjung atas pujian yang dilontarkan laki-laki super baik di depannya. Dia hanya berharap, pujian itu keluar dari Reyhan, laki-laki yang berhasil membuatnya hanyut tak berdaya.

Mereka lanjut dengan makan malam tak jauh dari butik tersebut. Yesi yang masih tak fokus, tak banyak bicara. Zaki yang bersemangat mengajaknya ngobrol. Pikiran perempuan cantik itu masih pada Reyhan. Laki-laki yang mengingkari janjinya. Yang membuatnya menunggu dalam waktu begitu lama.

“Ayo dimakan makanannya. Ntar keburu dingin lho,” ajak Zaki. Yesi pun mulai menyantap makanan yang ada di hadapannya. Selera makannya tak tampak, hanya saja karena kehujanan dan menunggu di bawah hujan tadi, membuat perutnya keroncongan.

Di tengah menikmati makanannya, Zaki memulai percakapan, “Setelah ini baru aku antar kamu pulang ya. Sampai di rumah nanti, istirahat segera. Jangan terlalu memikirkan yang tak perlu dipikirkan.

Belum tentu juga dia memikirkan kamu, kan?” terang Zaki ragu-ragu. Takut Yesi akan marah atau tersinggung. Yesi mengangguk pelan, sebagai tanda ia mendengarkan nasihat laki-laki di depannya. Sahabat dari SMP hingga sekarang.

Alhamdulillah, makanan habis oleh mereka berdua tanpa sisa. Cuaca dingin dan hujan mendukung membuat perut lapar dan keroncongan. Mereka beranjak dari restoran tersebut menuju parkiran untuk segera pulang.

Namun, tiba-tiba di parkiran Zaki melihat Reyhan. Ia tak sendiri, melainkan dengan seorang perempuan cantik bergaun merah. Zaki secepat kilat melihat Yesi yang ternyata tidak melihat Reyhan. Ia alihkan perhatian Yesi ke objek lain, agar Yesi tidak melihat Reyhan yang sedang bergandengan dengan perempuan di sampingnya.

Segera ia buka pintu mobil dan mempersilakan Yesi masuk. Yesi heran dengan gelagat Zaki. “Kok buru-buru sih? Ada yang darurat?” tanyanya penasaran. “Gak kok, takut nanti hujan lagi. Ntar kamu basah lagi,” jawab Zaki sekenanya.

Dalam perjalanan Zaki masih memikirkan apa yang ia lihat di parkiran tadi. “Siapa perempuan bersama Reyhan tersebut. Kenapa tangan mereka bergandengan. Malah janji dengan Yesi tidak ia tepati. Apa karena pertemuan dengan perempuan tersebut?” pikiran Zaki menerawang tak fokus.

Ia tak tega bila Yesi melihat Reyhan jalan dengan perempuan lain. Dia berjanji dalam hati akan menanyakan siapa sebenarnya perempuan bergaun merah itu.

Ia tak ingin perempuan yang sangat ia sayangi yang kini duduk di sampingnya itu tersakiti. Zaki melajukan mobilnya agak cepat. Ia berniat kembali ke resto tadi setelah mengantarkan Yesi pulang.

Akhirnya sampai. Yesi turun dan tak lupa berterima kasih pada Zaki. Ia tahu Zaki menaruh hati padanya. Namun, tak bisa dimungkiri, cinta dan sayangnya hanya untuk Reyhan seorang. Ia membuka jaket yang dipinjamkan Zaki tadi. Zaki menolak. “Pakai saja dulu, ini di luar masih dingin nih!” tolak Zaki sambil tersenyum. Mereka pun berpisah.

Zaki menginjak pedal gasnya sangat kencang. Tak sabar bertemu dengan Reyhan dan menanyakan siapa perempuan bersamanya itu. Di resto, Zaki langsung bisa menemukan Reyhan. Mereka duduk di pojok dekat rumput besar yang merupakan ciri khas resto ternama itu.

Ditunggunya Reyhan keluar dari resto tersebut. Ia menunggu di parkiran tepat di samping mobil Reyhan. Mereka keluar. Zaki mendekat. Reyhan terkejut.

Zaki meminta berbicara empat mata dengannya. Reyhan pun menyanggupi. Reyhan meminta waktu dan menyuruh perempuan tersebut menunggu di dalam mobil. Mereka berbincang beberapa meter dari tempat semula.

“Ada apa, Ki? tanya Reyhan. “Tadi kamu janjian sama Yesi, kan? Kenapa gak ditepati? Dia menunggu kamu lama, lho. Hujan-hujanan lagi. Kalau gak ada aku, entah apa yang terjadi padanya. Ia basah kuyup. Menunggumu.” Zaki menjelaskan dengan amarah yang tertahan.

Reyhan menunduk. Ia tahu ia salah. Perlahan ia mulai bicara, “Sampaikan maafku pada Yesi. Aku tak bisa menemuinya lagi. Aku dijodohkan oleh orang tuaku dengan Muliati. Gadis yang yang bersamaku tadi. Orang tua kami telah kenal begitu lama dan bersahabat karib. Aku gak bisa menolak. Mereka telah mempersiapkan acara pernikahan kami bulan besok. Aku gak bisa berbuat apa-apa. Aku lebih memilih mematuhi orang tua yang telah membuatku seperti sekarang. Aku mencintai Yesi. Namun, aku tak ingin menjadi anak durhaka.”

Reyhan pamit meninggalkan Zaki yang masih bingung sekaligus kaget atas pengakuan Reyhan. Dan yang membuatnya lebih terpana, pesan Reyhan kepadanya. ” Tolong jaga Yesi. Aku tahu kamu menyayanginya.”

Perasaannya campur aduk. Apakah harus sedih, perempuan yang dicintainya dikhianati Reyhan atau malah bahagia kesempatan mendapatkan Yesi terbuka lebar dan menganga. Zaki pulang dengan perasaan nano-nano. Tak tentu rasa. Ia tak sabar untuk segera menemui perempuan yang membuatnya jatuh hati akhir-akhir ini.