Penulis: F. Ilham Satrio

“What came first, the music or the misery? People worry about kids playing with guns, or wathcing violent videos, that some sort of culture of violence will take them over. Nobody worries about kids listening to thousands, literally thousands of songs about heartbreak, rejection, pain, misery and loss. Did I listen to pop music because I was miserable? Or was I miserable because I listened to pop music?” –Nick Hornby, High Fidelity.

Pelantar.id – Apapun definisi ‘pop’ hari ini, ia akan bercerita soal cinta; yang definisinya pun terserah si penyair atau si vokalis.

Terima kasih Joy Division untuk “Love Will Tear Us Apart” serta mas Ahmad Dhani dengan “Munajat Cinta”-nya. Keduanya sama-sama pop.

Bicara, walau kadang tak begitu eksplisit soal gejala, laku, beserta efek yang dihasilkan dari seseorang yang mengidap cinta.

Si cinta sendiri menerima dirinya untuk dipersepsikan oleh arus budaya yang demikian, oleh musik, oleh pangsa pasar.

Seperti urusan cemburu, putus asa, kasmaran, bubaran, prosesi pendekatan, selingkuh, dan segudang tema lain dinyanyikan dengan tulus lagi saksama, melodius lagi sublim.

Tapi Rob terdengar jengah. Pemeran utama High Fidelity (novel karya Nick Hornby) itu, terlepas ia termasuk elitis atau tidak, telah melemparkan pertanyaan-pertanyaan krusial seperti di atas.

Mirip dengan ‘ayam dahulu atau telur dahulu’. Pendengar setia The Smiths mungkin mampu menjawab hal ini dengan fasih: “Heaven Knows I’m Miserable Now”. Beres. Tapi, apakah dengan mendengarkannya kita akan menjadi kaum ‘miserable’, atau mungkin justru karena kita miserable-lah maka kita mendengarkan The Smiths?
Lalu soal cinta.

Ia tema yang ultra universal. Siapa saja boleh membahas dan menyanyikannya. Dari tokoh seperti St. Paul, filsuf radikal layaknya Alain Badiou, atau para penulis lagu anonimus yang mengeruk rupiah dengan membikinkan lagu buat artis-artis karbitan.

Karenanya, kali ini saya mau bertaruh. Cinta sedang berada di posisi yang salah. Ia menjadi barang dagangan yang akhirnya merubah dirinya picisan di tangan Wali atau beberapa band dengan vokalis sengau itu.

Kita tak bisa berbuat satu apa pun selain menerima, belajar tak peduli, atau sesekali menghardiknya seperti apa yang, misalnya oleh Efek Rumah Kaca juduli: “Cinta Melulu”.

Segala kelumrahan musik pop ini pada akhirnya mempengaruhi kita buat mempertimbangkan ragam hal. Sebaliknya, musik itu sendiri tak pernah muncul dari ruang hampa kedap budaya, atau jika kita mau, tidak apolitis pula tak melulu resmi personal.

Kesalingterhubungan ini adalah komunikasi. Bagaimana dunia eksternal bertemu interior jiwa sang seniman; lantas karya mereka ikut memengaruhi ragam corak budaya di mana karya ditempatkan; di dalam realitas, di ranah aktual-material.

Tujuan, alih-alih tak mesti ‘memengaruhi’, ia bisa saja cuma sekedar mengomunikasikan, mengetengahkan, ikut meramaikan, dll. Namun toh, yang datang padanya pun bukan seonggok batu yang nir-historis. Yang datang pada budaya adalah manusia dengan segala macam sejarahnya.

Medan interpretasi terbentuk. Segalanya sudah subyektif. Sedang obyektif kadang paralel dengan mayoritas. Perlahan-lahan, intimitas laku manusia menyerahkan sekaligus terenggut sepenuhnya oleh industri musik arus utama, yang sayangnya melulu berkiblat pada pasar.

Kita menyerahkan jiwa pada Rock ‘n Roll, dan sayangnya ia pun tak mampu berlaku banyak sehingga pasarlah yang mengambil jiwa-jiwa kita itu untuk didendangkan dengan sangat jelek, jika bukan merendahkan kekayaan jiwa dan nalar. Saya hanya ogah mengulang masa kecil nan suram; dilecehkan lagu-lagu depresif Nia Daniati. Hanya memang kini tak jauh beda, kita ada di era ketika musik tentang sembahyang nan khyusuk silih susup dalam playlist bus AKAP dengan band maskulin berlirik misoginis.

Lantas, apa yang telah dan mau dikatakan musik tentang cinta? Apa yang dikatakan cinta tentang musik? Apa yang bisa kita dapatkan dari keduanya?

Ketika saya mengatakan bahwa Morrissey dan Camera Obscura telah melakukannya dengan baik, artinya saya kembali mempertaruhkan hidup untuk yang kesekian kalinya; tak ada yang kita dapatkan selain kesaksian; dan kesaksian terbaik soal cinta yang datang dari –untuk sekedar menyebut—“Now My Heart is Full” dan “William’s Heart”.

Dua nomor itu tampak lihai mengutarakan sisi paling sentimentil, menggerakkan sembarang hati buat ikut merasakan atau paling tidak menerka mengapa lirik ini begitu getir nan menonjok ulu hati. Beberapa di antaranya pernah meninggalkan pendengar dengan mulut ternganga, lamunan panjang, atau bahkan linang air mata. Daftar itu masih mungkin diperpanjang ke hal-hal absurd lainnya.

Lewat cara apa pun mereka menulis perasaan, pengalaman, imajinasi, dan hidupnya, dua unit yang bagi saya paling piawai itu, sayangnya, tetaplah soalan pop. Cinta adalah pop. Yang menjadikannya begitu berarti adalah cara kita datang kepadanya; cara ia datang pada kita. Interior jiwa kita, cinta, akan lebih kaya seandainya hal-ihwal yang menyangkut dirinya tak membicarakan selain dirinya. Saya masih berbesar hati. Setidaknya hal itulah yang membuat pertaruhan dimungkinkan.

Bahwa uang dan ketenaran nampaknya lebih meyakinkan berada di balik manajemen Republik Cinta. Sekalipun hendak membuang Pancasila dengan landasan cinta sekalipun. Ketimbang, misalkan, uang dan hanya uang semata lah yang membuat Laura Marling atau The Milo berkarya.

Are We There dari Sharon Van Etten sungguh artefak terbaik tentang peperangan antara kegilaan dan kewarasan. SVE perlu membongkar kepahitan-kepahitan romansa itu guna melantunkannya, dan ia mengeksekusinya tak kalah prosaik seandainya kompilasi SVE pernah dibuat, yang mana hal tersebut sahih menjadi magnum opus beliau. Album yang juga disinyalir sebagai autobiografis romansa pun kita temui pada First Days of Spring milik Noah And The Whale. Muatannya sungguh mencengangkan. Tak bisa kita temui hentakan ceria na-na-na pentatonis di situ. Semuanya kelam. Cinta memang tak melulu bicara “Kiss Me” Sixpence-esque. Lagi pula legasi 90-an memang sudah harus dikubur, walau hanya sekedar mengiringi roman kaula digital kekinian dengan sangat minimalis di kafetaria.
Sekarang pertanyaan Rob mungkin bisa dijawab.

Miserable bisa datang dari cinta, cinta sendiri bisa saja datang dari kenestapaan. Tapi kini, yang hadir terlebih dahulu ternyata sebuah perasaan. Tak heran Tracyanne Campbell, dengan intimitas liriknya, hanya ingin mengomunikasikan perasaannya semata ke dalam sebuah struktur lagu. Dan perasaan yang diejawantahkan itu, daya estetisnya sudahlah jauh melampaui untuk sekedar menjudulinya sebagai lagu galau atau bahkan dongengan belaka. Bisa dibayangkan hal apa yang sedang berkecamuk di kepala lirikus (dan tak terbatas pada penulis lagu), soal pertaruhannya dengan realitas.

Butuh keberanian, dan tak cuma keberanian, tetapi juga kegilaan-kegilaan narkotis yang membuatnya yakin bahwa baris lirik atau rima ini layak atau tidak; ketukan dan melodi itu klop atau tidak.
Jika mesti mengulang apa yang Rob lakukan dengan kisah percintaannya, membuat daftar lima teratas, sungguh saya telah memasukkan Morrissey, Camera Obscura, Sharon Van Etten, dan dua berikutnya tinggal menunggu waktu yang tepat saja, jika bukan waktu yang buruk, yang biasanya membuat seseorang menuliskan betapa kacau-balau hidupnya setelah bubar jalan dengan seseorang yang dicintainya. Kemudian kita tinggal menanti, seperti apa refrain yang akan dinyanyikan hidup ini. Kita menunggu, sehingga cinta kembali melahirkan dirinya bergenerasi.

Dan dari sekian baik-buruk pelajaran soal cinta yang kita dapat dari musik, pelajaran penting yang akan saya ingat-ingat adalah anjuran The Milo untuk “mematikan lampu” hanya berlaku untuk The Milo saja. Jangan pernah lakukan hal tersebut untuk Under Achievers Please Try Harder dan Diamond Mine.

Lagi pula, butuh daya dan upaya untuk tetap waras ketika sebuah lagu yang biasanya diperdengarkan bersama orang terkasih, kini harus didengarkan tanpa kehadirannya sama sekali. But fuck it. Thanks to you, Rob. We need tons of love songs; because indeed, heaven knows we’re miserable now.