Di tengah suasana duka atas gugurnya Lima anggota Polri pada insiden di Rutan Mako Brimob, ada seorang yang bergelar ustad membuat statement, yang bagi kami (Keluarga Besar Polri-red) cukup menyakitkan.

Melalui akun facebook Ustad Maheer at-Thuwalibi, ia menuliskan bahwa peristiwa di Rutan Mako Brimob adalah peristiwa yang menggembirakan. Gugurnya Bhayangkara seolah begitu indah seindah pagi hari saat Idul Fitri.

Dalam tulisannya, sang ustad memang banyak menggunakan ungkapan metafor. Ia menulis “gerombolan monyet berseragam bencong”, “pahlawan dari bumi lancang kuning gugur dijemput makhluk surgawi ke alam keabadian abadi”.

Namun, ragam gaya bahasa yang digunakan kiranya sangat cukup bagi publik untuk menerka ke mana arah tulisan sang ustad. Ia membuat dikotomi bengis, yakni “pasukan berjubahkan pahlawan” dan “gerombolan monyet berseragam bencong”.

Beberapa waktu lalu, sang ustad juga pernah memetaforkan polisi dengan sebutan “monyet berseragam cokelat”. Maka, saat ia menyebut “gerombolan monyet”, kiranya tak sulit menebak bahwa yang ia maksud adalah aparat kepolisian.

Tulisan itu jelas adalah bentuk glorifikasi atau pengagungan atas tindakan terorisme. Sikap seperti itulah yang makin merekahkan paham radikal dan gerakan teror di Indonesia.

Dengan congkak ia mengilustrasikan meninggalnya teroris dengan predikat “pahlawan dari bumi lancang kuning gugur dijemput makhluk surgawi ke alam keabadian abadi”. Sedangkan, bagi anggota Polri yang gugur ia menyebut “monyet berseragam bencong dikabarkan tewas mengenaskan”.

Meninggalnya anggota Polri ia sambut dengan ucapan tahmid. Ia mengucap “alhamdulillah” atas gugurnya anggota Polri dalam tugas. Saya bertanya, di mana sisi kemanusiaan sang ustad? Jika pun tak suka dengan polisi, apakah pantas menyebutnya dengan “monyet”? Bukankah seorang ustad harusnya berdakwah dengan penuh hikmah, tutur kata yang santun?

Dan, apakah pantas mengucap “alhamdulillah” untuk kematian orang lain? Andai misalnya, rumah tetangga saya kebakaran dan rumah saya tidak, pantaskah saya mengucap “alhamdulillah”? Apalagi, mengucap “alhamdulillah” untuk merayakan wafatnya sesama manusia yang bekerja untuk negara, menafkahsi anak dan istrinya?

Status yang dibagikan oleh akun Ustad Maaher At Thuwailibi

Bukankah ucapan tahmid itu lebih kepada merendahkan harkat dan martabat manusia sekaligus keagungan Yang Maha Kuasa ketimbang pujian kepada-Nya?

Betapa bahagianya sang ustad atas peristiwa itu. Ia luput memikirkan perasaan keluarga korban, anak korban, istri korban, bahkan salah satu anggota yang gugur, anaknya lahir sehari setelah ia wafat. Bagaimana Islam bisa begitu bengis dan antagonis di pikiran sang ustad itu?

Sang ustad pun melabelkan predikat munafik kepada siapa pun yang tak gembira atas insiden itu. Di tangan dan mulut ustad seperti ini, lihatlah Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi dipersepsikan angkuh, congkak, jemawa, dan tak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin kita harus bergembira atas kematian saudara kita?

Ia menyebut, meninggalnya anggota akan mengurangi jumlah anggota yang, kata si ustad, eksistensi Polri hanya menyebarkan marabahaya bagi kehidupan manusia dan peradaban dunia.

Bagi saya, dan bagi yang berpikiran waras, yang harus berkurang adalah populasi pemikiran dan sikap seperti yang sang ustad pertontonkan. Maka, saya pun heran saat sang ustad justru kabarnya akan diberi panggung oleh salah satu stasiun televisi swasta pada Ramadan nanti.

Bayangkan, di layar kaca ia mendapat kesempatan mengakses untuk menyebarkan pahamnya yang kurang ajar itu ke seluruh penjuru negeri. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, dan siapa saja bisa terkontaminasi pemikiran kotornya.

Jika ia meyakini bahwa gerakan teror adalah gerakan jihad, kenapa tidak ia yang paling pertama menjemput kematian? Bila ia mengamalkan bahwa membunuh jaminannya surga, kenapa bukan ia yang berangkat terlebih dahulu kesana?

Justru, ia malah meracuni orang-orang yang punya niat tulus belajar agama. Ia korban jiwa-jiwa yang sedang mencari Tuhan demi ambisi membunuh sesama manusia.

Padahal, seorang yang berilmu yang fanatik terhadap suatu mazhab (pemahaman/ajaran) maka keadaan orang berilmu itu jauh lebih buruk daripada orang bodoh. Karena, saat ia secara aktif fanatik pada pemahamannya, ia sebenarnya tidak sedang fanatik terhadap Islam melainkan fanatik terhadap pemahamannya.

Maka, menolak pemikiran sang ustad bukan berarti menolak ajaran Islam. Memerangi gerakan radikal dan teroris bukan sedang memerangi Islam. Dan mengutuk aksi teror tidak sedang mengutuk Islam.

Sebab, pemikiran radikal bukan pemikiran Islam. Paham radikal dan gerakan teror sama sekali tidak merepresentasikan Islam. Oleh karena itu, kami berharap agar pihak stasiun Tv meninjau ulang kebijakkannya memberi slot kepada sang ustad.

Masih banyak dai yang dakwahnya sejuk yang dapat mendamaikan sekaligus mempersatukan Indonesia. Salam.

Penulis : Kombes Pol M Sabilul Alif, Kapolresta Tangerang

Editor   : Joko Sulistyo