“Jika kamu dilahirkan tanpa sayap, maka berdiam diri hanya akan mencegah sayap-sayap itu tumbuh.”
– Coco Chanel (1883-1971)
Bagi masyarakat pecinta mode, aneh rasanya jika tak mengenal Coco Chanel. Ia adalah legenda dalam industri fashion. Karya-karyanya fenomenal, dan menginspirasi banyak orang sejak awal abad 20 sampai sekarang.
Kita mengenal Chanel sebagai merek barang dagang yang mewah, berkelas dan selangit harganya. Tentu saja, tak semua orang mampu membelinya. Bagi sebagian orang, busana, tas, dan parfum merek Chanel sudah menjadi identitas keglamoran.
Namun di balik itu, apakah kita tahu bahwa ada gadis kecil yang menjalani hari-harinya dalam kesulitan hidup? Mungkin iya, mungkin tidak. Dari kemiskinan, Coco Chanel -gadis kecil itu- tumbuh menjadi perempuan tangguh yang mendunia. Ia termasuk salah satu tokoh berpengaruh di dunia versi majalah Time.
Muncul dengan busana dan gaun hitamnya yang khas, rancangan-rancangan Coco Chanel abadi dan populer hingga detik ini. Pengaruh gaya busana Chanel menyentuh semua wanita di dunia, dari segala macam strata sosial.
Hidup dalam Kemiskinan
Coco Chanel dilahirkan 19 Agustus 1883 di Saumur, Perancis dengan nama Gabrielle Bonheur Chanel. Chanel kecil besar dalam buaian orang tuanya, Albert Chanel dan Eugénie Jeanne Devolle, yang masa itu hidup dalam kesulitan ekonomi.
Ibunya hanyalah buruh cuci di sebuah rumah sakit milik paguyuban perempuan setempat, sedangkan sang ayah bekerja sebagai penjual barang campuran di pinggiran jalan besar. Mereka tinggal di gubuk tua yang ditinggalkan pemiliknya di lahan satu peternakan.
Dalam buku biografinya, ia sempat malu dengan kisah hidupnya di masa kecil yang penuh air mata. Saat berumur 12 tahun, Chanel dititipkan ayahnya ke panti asuhan Aubazine. Ketika itu, sang ibu baru meninggal dunia akibat penyakit bronchitis di usia 31 tahun.
“Jika kamu dilahirkan tanpa sayap, maka berdiam diri akan mencegah sayap-sayap itu tumbuh,” kata Chanel dalam buku tersebut.
Chanel bertahan hingga 6 tahun di panti asuhan itu. Di sana, ia mendapat pelajaran menjahit. Karena keterampilan dan bakatnya, ia pun ditawari pekerjaan tukang jahit. Di penampungan tersebut, Chanel juga dikenal sebagai gadis bersuara merdu.
Saat tak ada orderan menjahit, ia sering bernyanyi di pertunjukan kabaret La Rotonde, yang penontonnya kebanyakan para tentara perang. Banyak sumber menyebutkan, di pertunjukan-pertunjukan itulah ia mendapat panggilan Coco.
Konon, panggilan Coco diambil dari syair salah satu lagu yang biasa disenandungkannya, Qui Qu’a Vu Coco. Namun, dalam artikel yang dimuat The Atlantic, nama Coco berasal dari kependekan kata cocotte yang pernah diucapkan oleh Chanel. Cocotte merupakan kata dalam bahasa Perancis yang berarti wanita simpanan.
Terus menerus digempur dalam kesulitan ekonomi, Chanel sempat membuat kesimpulan bahwa dalam hidup ini yang paling penting adalah uang. Itulah yang membuatnya dengan senang hati menerima kehadiran seorang pemuda kaya raya bernama Etienne Balsan, pada tahun 1905.
Chanel berpikiran, Balsan adalah sosok pria sejati, senang menghabiskan uang untuk kesenangan hidupnya. Chanel sangat gembira waktu diajak tinggal di kastil milik Balsan. Namun hubungan mereka tak panjang, itu karena Balsan menganggap Chanel tak layak menerima uang banyak darinya.
Balsan bahkan terus mencari cara agar Chanel keluar dari kastilnya. Hingga di satu waktu, ia membawa Chanel ke apartemennya di Malesherbes Boulevard, Paris. Di apartemen ini, Chanel kerap bertemu dan bahkan berteman dengan para perempuan yang menjadi kekasih Balsan.
Di apartemen itu pula, Chanel mulai membuat topi. Uniknya, topi-topi karyanya itu diminati oleh para pacar Balsan. Mereka pula yang gencar mempromosikan topi buatan Chanel ke dunia luar, dan sukses.
Pada musim semi tahun 1908, Chanel bertemu dengan Arthur Edward Capel, atlet polo asal Inggris yang juga teman Balsan. Pada pertemuan yang kesekian kali, Arthur menyarankan Chanel agar membuka toko topi, yang didanai olehnya.
Jalinan bisnis keduanya, menumbuhkan benih-benih cinta. Pada tahun 1910, Chanel dan Arthur memproklamirkan hubungan mereka ke teman-teman, termasuk ke Balsan yang sudah diputuskannya.
Ini adalah masa dimana Chanel secara resmi menggaungkan namanya sebagai produsen topi. Ia juga membuka butik dengan nama Chanel Modes di 21 Rue Cambon, Paris. Tak butuh waktu lama bagi Chanel, dalam hitungan hari butiknya semakin dikenal orang.
Pembelinya adalah orang-orang kaya di Paris, salah satunya adalah Gabrielle Dorziat, aktris yang sangat populer pada masa itu. Pada sesi pemotretan di satu majalah mode Paris, aktris tersebut mengenakan topi karya Chanel. Penampakan topi dalam foto itu menarik minat banyak orang. Jalanan tempat butik Chanel pun dibanjiri pembeli, yang membuat nama Chanel terus mekar.
Ingin Membuat Gaun
Setelah sukses dengan butik topinya, Chanel lalu berkeinginan membuat busana gaun. Sebuah sumber menyebutkan, keinginan itu didorong oleh pertanyaan seorang karyawannya di butik topi.
“Mengapa Anda tidak membuat gaun wanita,” kata karyawan tersebut.
Chanel terdiam. Ia tak mau menjawab pertanyaan tersebut. Namun di hari lainnya, ia mendekati karyawannya dan berkata, “membuat busana wanita itu tidak mudah. Rumit dan membingungkan,” kata dia.
Tahun 1913, Chanel mengembangkan sayap bisnisnya dengan membuat butik kedua Deauville. Sementara, itu, pertanyaan karyawannya tentang membuat gaun wanita masih bermain-main di pikirannya.
Chanel bingung. Di satu sisi, ia sangat ingin merancang dan membuat busana wanita, di sisi lain ia belum memiliki kepandaian. Keinginan Chanel itu lalu didiskusikan dengan sang kakak, Antoinette Chanel dan Adrienne Chanel, bibinya. Tanpa pikir panjang lagi, mereka bertiga lalu sepakat bekerja sama, mendesain sekaligus mempromosikan rancangan busana Chanel di bawah bendera The House of Chanel.
Saat membuat rancangan, Chanel tak pernah membuat sketsa atau menjahit. Ia memasangkan kain langsung pada patung manekin, lalu menggunting sesuai seleranya. Karena itu, di awal kemunculan karyanya, banyak yang menganggap busana Chanel sangat sederhana.
Namun itu pula yang menjadi keunggulan Chanel. Apa yang dilakukannya, belum pernah dibuat oleh perancang busana manapun ketika itu. Ia membuat busana pelaut wanita dengan rok ketat yang terlihat praktis tapi elegan.
Ide-ide Chanel dikenal segar. Saat Perang Dunia I pecah pada 1914, di tengah situasi kota Paris yang kacau, ia pun tetap semangat berkarya. Tahun itu, ia menghasilkan busana untuk wanita bertubuh kurus, disusul membuat mantel namun tanpa sabuk dan ornamen. Dengan berani, gadis penyuka rambut pendek ini menghilangkan bagian lekukan tubuh dan payudara sehingga bentuknya menjadi tampak lebih ramping.
“Agar produk kita tetap diminati, tak ada jalan lain selain harus berbeda,” kata Chanel.
Tahun 1919, kekasihnya Arthur Capel meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil. Chanel jelas berduka, namun ia tak larut. Untuk momen itu, Chanel menciptakan gaun berwarna hitam, sebagai tanda dukanya.
Ketika dunia dihebohkan dengan pembahasan tentang kesetaraan gender pada 1920-an, dunia fashion sempat merasa was-was. Pasalnya, kesetaraan gender berarti akan menghilangkan keseksian gaun wanita.
Tapi tidak bagi Chanel. Pelan-pelan, ia melakukan eksperimen dengan mengombinasikan beberapa gaya, hingga lahirlah karyanya yang fenomenal; little black dress. Meski sekilas terlihat sederhana, namun gaun ini langsung diterima dan meledak di pasaran. Gaun itu dianggap mewah dan elegan, yang menjadikan nama Chanel kian melambung di industri mode.
Chanel membuat gaun little black dress dengan cara menghilangkan bahan fluid crepe marocain (serat). Ia memotong bagian lutut ke bawah dan memangkas bagian lengan sampai pergelangan tangan. Menurut Chanel, hal itu akan membuat setiap wanita bebas menunjukkan sisi keindahan dari bagian tubuhnya.
“Seorang wanita harus punya dua hal, glamor dan menakjubkan,” ujarnya.
Dalam kisah biografi Chanel, disebutkan kalau ia banyak bergaul dengan kalangan bangsawan, pejabat dan orang-orang terkenal. Ia aktif di kegiatan sosial, berteman dengan para seniman hebat seperti Pablo Picasso, Sergei Diaghilev, komposer musik Igor Stravinsky, penyair Pierre Reverdy dan aktor teater Jean Cocteau.
Dalam satu kesempatan, Picasso mengatakan bahwa Chanel adalah wanita yang sangat cerdas, jenaka, kritis, dan menggoda sekaligus sulit ditebak. Tanpa ragu, Picasso pernah menggelari Chanel sebagai wanita paling bijaksana di dunia.
Setelah cukup lama sendiri, Chanel kemudian bertemu dan menjalin asmara dengan Hugh Richard Arthur Grosvenor, Duke kedua dari Westminster, seorang tuan tanah asal Inggris yang masa itu termasuk salah satu orang terkaya di dunia. Hubungan ini membawa Chanel dalam lingkungan baru, ia banyak bertemu dengan orang-orang penting di Inggris, salah satunya Winston Churchill dan istri.
Di setiap acara yang digelar Hugh, minimal ada 60 bangsaawan Inggris yang datang. Dari orang-orang itu, nama dan karya Chanel pun semakin mendunia. Sayangnya, hubungan Chanel dengan The Duke kandas. Chanel yang saat itu berusia 46 tahun, divonis dokter sudah tak bisa lagi mendapatkan keturunan. Kenyataan itu membuat Hugh menikahi wanita lain, meski ia sempat ingin menikahi Chanel pada awal 1928.
Sekali lagi, Chanel dihadapkan pada getirnya hidup. Meski demikian ia tetap tegar, dan hingga di usia 50 tahun, namanya tiba di puncak ketenaran. Ide-ide dalam setiap rancangan karyanya, sudah terpatri di dunia fashion. Ia menekankan konsep, gaun harus nyaman dan fungsional.
Chanel meninggal dunia pada 10 Januari 1971 di kamar hotel Ritz. Menurut catatan di biografinya, hingga tahun 2014, revenue yang dihasilkan oleh Chanel sudah mencapai 7,43 miliar dolar Amerika.
Selain topi dan gaun, karya Chanel yang tak kalah terkenal lainnya adalah parfum yang diberi nama Chanel No.5.
“Saya selalu meluncurkan produk pada hari kelima, bulan kelima, Jadi saya rasa nomor 5 memberiku keberuntungan. Karena itu, saya menamakannya No. 5”.
Di awal-awal diluncurkan, pengguna parfum Chanel No.5 bukanlah orang-orang sembarangan. Konsumennya kebanyakan kalangan selebritis, di antaranya Jacqueline Kennedy dan Marilyn Monroe. Chanel No.5 menjadi parfum dengan penjualan terbanyak di dunia.
Kemudian, Chanel juga mengenalkan koleksi tas Chanel 2.55. Karya dengan nomor 255 itu melambangkan bulan dan tahun diluncurkan. Chanel mengaku, desain asli tas tersebut didapatnya saat ia menghabiskan masa kecil di panti asuhan.
Rantai logam pegangan mirip dengan rantai yang menggantung di pinggang para pengasuh di panti, sedangkan ikon logo C terinspirasi dari jendela kaca patri dalam biara di lingkungan panti. Seperti karya-karya Chanel terdahulu, tas ini juga mampu mencuri hati para wanita di seluruh penjuru mata angin.
Editor : Yuri B Trisna
Dikutip dari berbagai sumber