Bagi yang pernah menginjakkan kaki ke Bali, tentu sudah familiar dengan nama Desa Jimbaran. Bagi saya, yang terbayang pertama kali, adalah makan malam romantis di pantai yang indah. Bersama debur ombak dan keredap sinar bulan yang menjilati jajaran perahu nelayan yang terayun-ayun di tepian pantai.
Begitulah, saat saya dam sejumlah teman berkesempatan mengunjungi dan menikmati indahnya malam di pantai Jimbaran, bulan lalu. Tentu saja, tujuan kami yang pertama, adalah ingin menikmati wisata kuliner. Ya, Jimbaran memang sangat terkenal sebagai seafood centre di Bali.
Pasir putih yang lembut, dan gemuruh ombak yang pecah di pantai, menambah nikmatnya ikan bakar khas jimbaran dan plecing kangkung khas Bali. Untuk mencapai Pantai Jimbaran, kita cuma butuh perjalanan mobil sekitar 10 menit dari Bandara Ngurah Rai Bali.
Jimbaran adalah desa nelayan, di mana di bagian ujung pantai dekat dengan bandara terdapat tempat pelelangan ikan. Karena berada dekat dengan bandara, maka sesekali kita juga bisa melihat pesawat yang landing atau take off. Suasana malam di Jimbaran, benar-benar terasa damai.
Sambil menikmati menu santap malam dan harmoni alam, pengunjung juga dihibur dengan live music dari lima pemusik lokal berbusana khas Bali. Tinggal request lagu, maka dengan piawai kelima orang itu akan mewujudkan permintaan kita. Lagunya terserah, yang penting jangan melankolis karena dikhawatirkan bisa merusak suasana malam yang meski romantis tapi serasa penuh gelora.
Maka, mengalirlah lagu-lagu daerah Bali. Walau kami tak memahami artinya, tapi rentak irama musik yang dimainkan sudah mampu mengajak kami bergoyang. Minimal, mengangguk-angukkan kepala dan memutar-mutar jempol tangan.
Sementara hidangan terus disajikan secara acak di atas meja yang berada persis di bibir pantai itu, alunan gitar, harpa serta perkusi tak henti menghibur. Ikan bakar, cumi goreng dengan sambal mentah Bali, sedikit demi sedikit meluncur ke dalam mulut, sejalan dengan bait-bait syair “Aku Bukan Bang Toyib” milik grup band Wali yang dinyanyikan salah seorang lima seniman tersebut.
“Sabar sayang, sabarlah sebentar. Aku pasti pulang, karna aku bukan, aku bukan Bang Toyib. Sudah tunggu saja diriku di rumah, jangan marah-marah, duduk yang manis ya. Aku lagi sibuk sayang, aku lagi kerja sayang, untuk membeli beras dan sebongkah berlian…” lantang suara penyanyi itu mengiringi sebagian dari kami yang ikut berjoget ria.
Niko, teman seperjalanan yang duduk di samping saya pun tak mau ketinggalan. Tubuhnya menyerong ke kanan dan ke kiri.
“Harusnya di Batam juga buat seperti ini, ya,” katanya. “Batam punya banyak pantai yang tak kalah bagus. Tapi kenapa kok seperti kurang dimaksimalkan,” sambungnya sambil meng-on-kan perekam di kameranya.
Apa yang dikatakan Niko mungkin benar. Sepanjang mata memandang di pantai Jimbaran, saya melihat deretan cafe-cafe atau pondok-pondok rumah makan yang menawarkan makanan sari laut. Dipadu dengan suasana pantai, yang jika langit cerah bisa bermandikan bintang-gumintang, tak heran jika wisata kuliner di Jimbaran menjadi tempat favorit wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara.
“Tapi kok banyak betul sampahnya, ya,” timpal Riswono, teman lain yang duduk di depan saya. Suaranya sayup-sayup karena kebetulan ombak besar sedang pecah di pantai, sehingga membuat suara gemuruh.
Ya, sejak beberapa bulan belakangan, Bali memang sedang dilanda badai sampah. Nyaris, di semua pantai di Bali, terdapat sampah-sampah -didominasi plastik, ranting kayu dan kelapa- yang konon katanya dibawa oleh ombak laut.
Menurut pegawai Pondok Furuma, tempat kami makan malam itu, sampah-sampah ini memang dibawa laut ke pantai. Hampir setiap hari mereka berusaha membersihkan, tapi setiap hari pula sampah-sampah itu datang. Bahkan, tatkala banyak wisatawan datang menikmati makan malam, para pegawai rumah makan di Jimbaran masih saja sibuk membersihkan sampah-sampah yang memang cukup menggunung itu.
Berbagai cara dilakukan mereka untuk menyingkirkan sampah tersebut. Mulai dari mengangkut-pindahkan, menimbun sampai membakar. Tapi, mungkin karena masyarakat Bali pada dasarnya kreatif, maka sampah-sampah yang menumpuk itu bisa mereka jadikan tontonan yang cukup menghibur bagi pengunjung cafe di Jimbaran. Caranya, sampah-sampah itu dikumpulkan dan dibakar, membentuk semacam api unggun.
Api unggun dari sampah itu, harus saya akui, cukup berhasil menciptakan suasana yang dramatik. Percikan bara dan jilatan api yang menyambar-nyambar dimainkan angin laut, tampak mempesona. Buktinya, tidak sedikit dari para pengunjung pantai Jimbaran yang malah ikut bermain-main dengan api. Mereka pun ikut mengumpulkan sampah dan melemparkannya ke dalam kobaran api. Sedangkan irama musik dari empat seniman itu seakan tiada henti-hentinya menghibur pengunjung.
Ah, jika Jimbaran dan Bali umumnya direpotkan oleh sampah, lain halnya dengan Batam. Di Batam, terlebih di saat musim Utara, pantai-pantai di sini bukan hanya mendapat oleh-oleh sampah, tapi juga diserbu oleh limbah hitam yang bersumber dari pembuangan minyak atau oli bekas. Informasinya, limbah tersebut berasal dari kapal-kapal di perairan internasional. Karena itu, sangat susah diantisipasi karena urusannya sudah lintas negara.
“Kami di sini benar-benar mengandalkan pariwisata. Kalau kami tidak bisa menjaga alam kami, lalu kami mau hidup dengan apa. Kami tidak mau saling menyalahkan. Kami sama-sama berusaha menjaga apa yang kami punya. Karena (alam) itulah yang kami jual dan kemudian bisa menghidupi keluarga kami,” kata I Wayan, guide yang menjemput dan mengantar kami berwisata kuliner ke pantai Jimbaran, di malam yang cukup kering itu.
Wisata Pesisir Batam
Seperti sudah saya tulis di awal, Batam memiliki banyak sekali pantai. Secara karakteristik, Batam dan Bali memang tak jauh berbeda, sama-sama daerah kepulauan yang dikelilingi perairan. Masyarakat Batam sudah sangat mengenal dengan pantai-pantai di sini.
Sebut saja misalnya pantai Tanjungpinggir, pantai Melur, Kampung Melayu Nongsa, pantai Vio-Vio, Pulau Anak Karas, Pulau Abang dan masih banyak lagi. Ingin pantai yang berada di pusat kota? Ada pantai di kawasan Ocarina.
Di akhir pekan, atau saat musim liburan, pantai-pantai di Batam selalu ramai di kunjungi turis. Namun kebanyakan masih warga tempatan. Wisatawan mancanegara yang datang ke Batam, sejauh ini masih lebih banyak mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan dan kuliner.
Wajar saja, kunjungan turis asing ke Batam masih didominasi oleh negara Singapura dan Malaysia. Biasanya, mereka datang hanya untuk berbelanja dan makan. Bisa dimaklumi karena kurs rupiah dibanding mata uang dua negara itu bisa membuat mereka leluasa dan enteng saja menghabiskan uangnya.
Bayangkan, jika satu dolar Singapura saat ini sudah sama dengan Rp10.400 sampai Rp10.500. Dengan modal Rp500 dolar Singapura saja, para pelancong Negeri Singa itu sudah punya modal Rp5 juta lebih. Dengan uang sebanyak itu, warga Singapura sudah bisa hidup mewah, nginap di hotel berbintang, makan super lezat hingga belanja sepuasnya di Batam. Ongkos kapal dari Singapura ke Batam pun relatif murah, tak sampai Rp500 ribu rupiah pergi-pulang.
Kembali ke soal pantai, Pemerintah Kota Batam memang terus berupaya menghidupkan kawasan pesisir. Pemerintah mencoba memperbanyak destinasi wisata pantai. Namun sayangnya, pantai-pantai yang ada hanya sekadar saja. Kecuali pantai yang berada di area hotel dan resort, pantai-pantai di Batam yang dikelola swadaya masyarakat dan swasta dengan modal seadanya, terasa kurang menarik.
Pantai di Batam hanya mengandalkan debur ombak yang tak seberapa, pasir putih kekuningan, kumpulan batu-batu karang, lambaian nyiur dan angin sepoi-sepoi. Kuliner yang ada pun nyaris tak ada bedanya dengan yang dijual warung-warung di pemukiman; air minum kemasan botol, jajanan anak-anak, kelapa muda, jagung bakar dan sejenisnya. Kalau ada seafood, paling banter, ya semacam udang dan kepiting goreng.
Tidak salah memang. Namun potensi-potensi yang sudah tersedia itu terasa kurang dimaksimalkan. Masih banyak lokasi wisata di Batam yang belum terjamin keamanan dan kenyamanannya. Belum lagi soal pelayanan dari pengelola yang masih jauh dari kata ramah.
Apalagi, pantai-pantai di Batam hanya ramai saat terang. Ketika gelap atau malam mulai turun, kawasan pantai di Batam menjadi mati seakan tak berpenghuni. Sangat jauh dengan apa yang ditawarkan di pantai Jimbaran.
Wali Kota Batam Muhammad Rudi di setiap kesempatan menegaskan, pemerintah akan terus mengembangkan wisata bahari, salah satunya dengan mengajak warga pesisir yang tinggal di pulau-pulau penyangga mengembangkan pariwisata. Menurut dia, potensi pariwisata di pulau-pulau penyangga yang besar harus dimanfaatkan warga, supaya peluang itu tidak diambil orang dari luar daerah setempat.
“Bagi orang-orang yang sudah mapan ekonominya, biasanya lebih suka mengisi liburan ke tampat-tempat yang menawarkan panorama alam. Orang luar negeri juga kebanyakan begitu, mereka sebenarnya lebih suka datang berlibur mendekatkan diri ke alam,” katanya.
Banyak yang bisa dilakukan masyarakat di pesisir agar tempat mereka ramai dikunjungi turis. Jaga kebersihan lingkungan, siapkan penginapan yang layak dan bersih serta sediakan kuliner khas penggugah selera.
Menurut Rudi, penginapan di pulau-pulau atau pesisir pantai tak perlu mewah. Rumah tinggal sederhana pun bisa menjadi penginapan yang disukai, asalkan lingkungannya bersih dan aman.
Jika masyarakat sudah siap dan mau melakukan hal tersebut, pemerintah akan melengkapinya dengan pembangunan infrastruktur. Pembangunan fisik seperti akses jalan, penerangan dan air bersih harus dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian setempat. Dan yang paling potensial untuk mendatangkan pendapatan, ya sektor pariwisata.
“Jika banyak wisatawan, masyarakat bisa memperoleh penghasilan dari penginapan, jualan makanan dan minuman, guide, oleh-oleh dan lainnya,” kata dia.
Penulis: Yuri B Trisna