“Di Kopitiam percakapan akan terjalin erat meski kau seorang pengangguran, tukang parkir, mahasiswa, manusia kelas pekerja, atau pun pengusaha dan segala strata sosial yang menciptakan diskursusnya”

Pelantar.idBarnar dalam sebuah laporannya tentang How Building Learn mengemukakan bahwa arsitektur yang baik tidak perlu diproduksi oleh spesialis desain, tetapi oleh aktivitas spontan yang berkesinambungan dari selera budaya, dan tradisi masyarakat.

Mengenai aktivitas spontan tersebut terdapat satu tempat yang membawa selera budaya dan tradisi masyarakat akan terus berjalan berkesinambungan yaitu Kopitiam.

Kopitiam begitu kami menyebutnya di Batam dan Kepri khususnya, atau dalam kalimat lain ia adalah konsep warung kopi yang bukan kekinian. Di Kopitiam kita akan menemukan ruang publik menjadi ruang budaya yang riang tanpa sekat diskriminasi sosial.

Di sini kita bisa menemukan segala kalangan duduk membaur. Terkadang ketika sudah sering bertemu maka lingkar percakapan akan terjalin erat meski kau seorang pengangguran, tukang parkir, mahasiswa, manusia kelas pekerja, atau pun pengusaha dan segala strata sosial yang menciptakan diskursusnya.

Merunut pada pandangan teori modernitas jika dirangkum dari buah pikir Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan Georg Simmel. Maka modernitas merupakan perubahan tatanan sosial yang bertentangan dengan kondisi sebelumnya.

Perubahan itu sendiri ditentukan berdasarkan ekonomi kapitalis seperti yang dikemukan Karl Marx, berdasarkan solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif menurut Durkheim, berdasarkan rasionalitas formal jika merunut Weber, dan terakhir penuhnya iklim eksplorasi potensi, dan besarnya pengaruh uang beserta akibat ikutnya alienasi ujar Simmel.

Modernitas tentunya menciptakan tatanan masyarakat tersendiri yang pada masanya akan terpisahkan oleh bentuk-bentuk tertentu. Dalam dunia perkopian mungkin kita akan bisa melihat dengan jelas perbedaannya.

Oke begini, agar tidak melebar dari benang merah yang hendak dikemukakan. Dua sisi berbeda akan bisa kita temukan di kawasan kota Nagoya, Batam. Perbedaan mencolok itu terlihat jelas di warung kopi kekinian (coffee house) dan Kopitiam.

Strata tampak berbeda secara penampilan dan sejauh pengamatan alienasi terbentuk jelas di ranah kekinian yang turut dipengaruhi persoalan uang (harga yang harus dibayarkan).

Kembali lagi pada teori modernitas, kita akan memahami dampak globalisasi ekonomi telah menjadikan kota sebagai pusat hitung-hitungan atau akumulasi.

Maka persoalan yang tumbuh yakni golongan mahajana perkotaan akan menjadi aktor utama terhadap penyesuaian modernitas itu sendiri.

Modernitas bisa kita lihat pada gaya hidup baru yang dibawa globalisasi ekonomi hingga terciptanya ruang kekinian dengan sekat-sekat khusus, menyurapai anti-thesis dari Kopitiam.

Hal-hal tradisional seketika terbantahkan. Pun jika tradisional diterapkan akan dibungkus wajah ekslusifitas kekinian dan segala benda bisa dikatakan harus memiliki profit bagi setiap individu modernitas.

Jika ruang kerja menjauhkan manusia dari jati dirinya atau justru semakin menghilangkan manusia dari ruang kemanusiaannya (alienasi berdasarkan sabdanya Marx), maka di ruang publik, seperti Kopitiam kita akan melihat kecendrungan manusia yang tidak akan ditakar dari jenis pakaian, pekerjaan, tutur bahasa dan segala hal yang meng-alienasi-kan mereka.

Kopitiam menciptakan eksistensinya sendiri. Keberadaannya bisa jadi melampiaskan persoalan kemanusiaan yang menciptakan alienasi di ruang-ruang lainnya.

Seperti yang aku katakan sebelumnya, saban waktu kami duduk dan berbicara dengan tukang parkir, pengangguran yang tidak akan terlalu memikirkan biaya sebesar Rp 7 ribu hingga Rp 10 ribu rupiah untuk secangkir kopinya.

Di lain waktu juga kau akan bisa berbicara dengan pengusaha dan kaum akademis yang tak perlu kau hormati sedemikian rupa, seperti di ruang kerja dan pemerintahan atau juga dengan orang-orang dari ragam warna kulit dan jenis rambut yang menciptakan diskriminasi di luar ruangan lainnya.

Tokoh utama di Kopitiam adalah komunikasi, obrolan yang bisa menyatu seiring dengan intensitas waktu pertemuan di ruang publik itu sendiri.

Ketika komunikasi tanpa landasan strata terbentuk, maka di ruang publik informal inilah orang-orang tidak akan menyembunyikan indentitasnya. Pun jika disembunyikan itu lebih pada persoalan fundamental dalam ranah privacy.

Mengkutak-katik pernyataan Ahmad Shobrianto di Geotimes, maka di Kopitiam (warung kopi) individu tak payahlah menjadi sosok citra yang “suci” dimata orang lain. Kebebasan berekspresi dididik sedemikian rupa.

Kata-kata bijak serupa motivasi akan menyatu dengan kata seperti kayu, lantaklah, labuh air, kucing kurap, cuk, sue, ndasmu, ntek, goblok dan lainnya. Sudah barang tentu berbeda dengan ruang publik (formal) karena di sana nilai-nilai kesopan yang palsu itu kadang tumbuh dan dilestarikan