pelantar.id – Nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah terus mengamuk, dan kian mendekati ulangan krisis moneter 1998. Level penguatan dolar AS sudah mencapai posisi tertingginya sejak 20 tahun terakhir, membuat Indonesia waspada dan lebih serius menangani rupiah.

Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah pun menyiapkan strategi untuk bersinergi menahan gempuran dari sentimen menguatnya dolar AS. Nilai tukar dolar AS pada awal pekan ini menunjukkan volatilitas yang cukup agresif. Meski sempat menjinak pada awal pembukaan perdagangan, namun menuju sore hari dolar AS terus agresif hingga kembali mencapai level tertingginya di angka Rp14.849 (pukul 10.30).

Pada perdagangan Reuters, Senin (3/9) siang, dolar AS terhadap rupiah menguat ke angka Rp14.825. Angka tersebut naik dari posisi Rp 14.760 pada pagi hari. Sepanjang hari ini, dolar AS bergerak di level Rp14.735 hingga Rp14.825.

Pagi kemarin, pergerakan nilai tukar dolar AS berada di level Rp14.735-Rp14.760. Angka tersebut turun dari posisi akhir pekan lalu yang sempat menyentuh Rp14.884. Dolar AS tercatat telah menekan rupiah setidaknya 11,7 persen sepanjang tahun ini (year to date).

Menurut Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, penyebab pelemahan nilai tukar rupiah ini adalah faktor eksternal yakni normalisasi kebijakan Bank Sentral AS. Pelemahan rupiah diproyeksi baru berakhir jika normalisasi kebijakan suku bunga The Fed berakhir dan kinerja ekonomi domestik khususnya neraca perdagangan membaik.

“Ada potensi pelemahan nilai rupiah bahkan menembus level psikologis Rp15.000,” ujarnya, Selasa (4/8) dikutip dari Detik.com.

Mata uang rupiah sudah tertekan sebanyak 1.563 poin (11,6 persen) terhadap dolar AS terhitung sejak awal tahun hingga saat ini (year to date). Fakta tersebut membuat rupiah pada tahun ini menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di Asia. Hal itu didorong dengan defisit transaksi berjalan hingga krisis lira Turki yang mengakibatkan kekacauan di pasar negara berkembang seperti Indonesia.

Mengutip CNBC, Senin (3/9), nilai tukar rupiah yang menyentuh Rp14.777 per dolar AS saja telah menyentuh level terlemahnya sejak tahun 1998. Jatuhnya rupiah ke level terlemahnya terhadap dolar dalam lebih dari 20 tahun terakhir, mendorong Bank Indonesia (BI) untuk turun langsung mengintervensi ke pasar keuangan.

“Kepemilikan asing yang tinggi pada obligasi, ditambah dengan utang perusahaan Indonesia dalam dolar yang meningkat juga membuat rupiah cenderung lebih lemah,” kata Kepala Ekonomi dan Strategi di Mizuho Bank Vishnu Varathan.

Ilustrasi penukaran dolar ke rupiah di tempat penukaran uang. Foto: net

Menurut data Moody’s, pemerintah Indonesia tercatat memiliki sekitar 41 persen utang dalam mata uang asing. Jika rupiah terdepresiasi lebih lanjut, maka utang itu akan lebih mahal untuk dibayar kembali.

“Jika kenaikan kredit meningkat lebih lanjut (risiko pasar berkembang) dan harga minyak tetap tinggi menjelang sanksi Iran, risiko nilai tukar rupiah Rp15.000 adalah bahaya yang jelas,” kata Varathan.

Dolar AS diprediksi masih akan melanjutkan tren penguatan seiring dengan rencana Federal Reserve menaikkan dua kali lagi bunga acuannya hingga akhir tahun. BI telah melakukan beberapa intervensi sejauh ini seperti menaikkan suku bunga acuan hingga empat kali sejak Mei sampai Agustus. BI juga telah menekan cadangan devisa untuk membeli rupiah di pasar valas.

Dengan cadangan devisanya berkurang, pemerintah juga memberlakukan pembatasan impor karena akan menahan defisit neraca berjalannya, yang mengukur arus barang, jasa, dan investasi masuk dan keluar dari Indonesia. Impor yang lebih sedikit juga mengurangi kebutuhan untuk menjual rupiah untuk membeli lebih banyak mata uang asing untuk memenuhi kebutuhannya.

Namun Chief investment officer Deutsche Bank Wealth Management untuk Asia Pasifik, Tuan Huynh dalam laporannya menulis, defisit transaksi berjalan Indonesia membuat rentan terhadap krisis pendanaan. Ia mencatat defisit transaksi berjalan melebar menjadi US$ 2 miliar pada bulan Juli, atau defisit bulanan terbesar sejak Juli 2013.

“Pemicu utama untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut akan menjadi penguatan lebih lanjut dari USD. Untuk saat ini, pasar melihat Indonesia bekerja keras untuk menjaga stabilitas makroekonomi, misalnya menaikkan suku bunga lebih untuk menangkis volatilitas nilai tukar dan mempertahankan konsolidasi fiskal,” katanya.

Meski berada di level mengkhawatirkan, menurut Ketua OJK, Wimboh Santoso, gejolak nilai tukar yang terjadi hanya sentimen sementara. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Indonesia tetap perlu waspada karena lingkungan yang dihadapi sangat berbeda dengan 2015.

“2015 waktu itu quantitative easing masih terjadi dan kenaikan suku bunga belum dilakukan baru diungkapkan, kalau sekarang suku bunga sudah naik secara global dan quantitative easing sudah mulai dikurangi, dan inilah yang menyebabkan tekanan lebih kuat terhadap berbagai mata uang di dunia,” katanya beberapa waktu lalu.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menegaskan, pihaknya akan fokus agar defisit transaksi berjalan dan inflasi tetap terjaga. Dua hal ini diyakini jadi sentimen yang tengah diperhatikan investor di tengah kondisi global yang sedang bergejolak.

“Kita tentu tetap memonitor, kita tetap harus waspada juga karena memang ya apa yang terjadi dengan kebijakan pemerintah Amerika ini berdampak ke negara emerging market,” katanya.

 

 

Editor : Yuri B Trisna
Sumber : Detik.com