Indonesia memiliki banyak pilot, mulai yang menerbangkan pesawat sayap tetap, helikopter, pesawat ringan, hingga pesawat militer. Namun jumlah perempuan Indonesia yang mengawaki pesawat berbagai jenis boleh dikata masih sangat sedikit, jika dibanding dengan pria. Kementerian Kehutanan memiliki divisi pemetaan udara yang bekerja dengan dukungan belasan pilot trike, dan di dalamnya Enno adalah satu-satunya perempuan pada barisan perempuan di ketinggian.
pelantar.id – Sebagian besar kultur di nusantara dipengaruhi cara pandang budaya maskulin, menempatkan wanita pada porsi yang kurang menonjol dan agak terpinggirkan. Ada perbedaan dan diskriminasi antargender yang mencolok dalah konteks ini, pria diharapkan lebih asertif, kuat, dan berkonsentrasi pada kesuksesan material. Sebaliknya, wanita diharapkan lebih rendah hati, penuh kasih, dan memperhatikan mutu kehidupan.
Pembagian mendasar itu tidak berlaku bagi Enno. Terlahir dengan nama Theresia Irna Susilojati, wanita yang menghabiskan masa kanak-kanak hingga SMA di Jakarta itu membenarkan pandangan sebagian pendapat bahwa maskulinitas tidak pernah berhubungan dengan gender, atau jenis kelamin.
Enno adalah bukti bahwa hormon adrenalin juga kental mengalir dalam tubuh seorang perempuan, bahkan yang berasal dari lingkungan mayoritas perempuan. Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta itu memiliki aneka hobi dan aktifitas yang mungkin lebih ‘macho’ daripada kaum pria kebanyakan.
Segudang aktivitas luar ruang digeluti lajang kelahiran Jakarta, 2 September 1984 ini. Sebut saja, hutan, gunung, sungai, gua hingga bermain mobil gardan ganda adalah hobi yang sempat digelutinya.
Selepas kuliah pada tahun 2008, Enno bekerja sebagai marketing dan public relation pada sejumlah perusahaan selama 2 tahun. Merasa tidak menemukan kecocokan, ia mendaftar saat ada seleksi pegawai di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Kementerian Kehutanan, dan ditempatkan di Tanjungpinang, tahun 2010 silam.
“Bingung pertama kali ke sini, gunung tak ada, sungai tak ada, hutan juga jarang,” ujarnya berkisah.
Menghadapi pilihan adventure yang terbatas saat tiba di Tanjungpinang, untuk menyalurkan minat, Enno bergabung ke dalam klub fotograri dan offroad. Dunia kerja membawa Enno pada hobi baru, terbang.
“Saya tidak punya sayap, bukan pula peri, jadi terbang ya pakai pesawat,” ungkapnya bercanda.
Awal perkenalannya dengan olahraga terbang disebutnya sebagai keterpaksaan. Pada awalnya Enno hanya berminat ingin menjadi operator kamera pada pemetaan udara. Minat pada dunia fotografi yang pernah ditekuninya sedikit banyak mempengaruhi keinginannya itu. “Tapi sama atasan disuruh ikut pelatihan pilot, awalnya sedikit takut juga, tapi penasaran,” katanya.
Rasa ingin tahu yang kuat mengalahkan ketakutan Enno. Dari faktor lingkungan, ia menyebut sempat menjadi olok-olok saat hendak menolak penunjukkan menjadi siswa penerbang. “Masa iya takut, katanya Mapala,?” ujarnya menirukan koleganya saat itu.
Pada tahun 2014, jadilah Enno satu dari 15 siswa penerbang dari Dirjen Planologi Kemenhut yang berlatih di Landasan Udara Wirasaba, Purbalingga, Jawa Barat. Saat itu pengetahuannya tentang dunia penerbangan boleh dikata nol. Enno merasa awam dan keget saat mengetahui ia dilatih untuk menerbangkan trike, bukan pesawat dengan badan berpenutup. “Awalnya masih nol, nggak ngerti terbang. Sempat takut, karena posisi pilotnya nggantung dan bersentuhan langsung dengan udara begitu,” katanya.
Trike adalah jenis pesawat bersayap fleksibel yang ditenagai motor dengan putaran tinggi sebagai pendorong. Bentuknya menyerupai layang-layang dan dapat mengangkut satu orang pilot dan satu orang penumpang di kursi belakang, dengan posisi duduk yang menyerupai orang membonceng sepeda motor.
Bermacam materi harus dilahap pada masa pendidikan di bawah bimbingan instruktur dari klub Gantole Jakarta kala itu. Untuk jam terbang nol hingga beberapa puluh kedepan, Enno masih ditemani instruktur yang duduk di belakangnya. Siswa dilatih materi Medical Exercise, Air Law, serta Radio And Telephony sebelum resmi dapat lepas landas. Setelah 50 jam terbang, ada check ride, atau semacam ujian yang harus dijalani Enno untuk mendapatkan lisensi.
Tidak berbeda pengemudi kendaraan di darat yang harus mengantongi SIM, pilot trike pun harus memiliki surat sejenis yang disebut Sport Pilot License (SPL). Bedanya, lisensi yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan itu berlaku seumur hidup, meskipun ada bagian yang harus diperbaharui tiap tahunnya. “Selain SPL, ada Medex (medical exercise) yang setahun sekali harus ujian ulang,” terangnya.
Biaya yang mencapai minimal Rp2 juta untuk keperluan pembaruan Medex cukup berat. Sebagai penerbang dinas, Enno mendapat dukungan anggaran untuk hal itu.
Saat menjalankan tugas memetakan hutan dan lahan, Enno menerbangkan trike Microlight bermesin Rotax 912 buatan Australia Airborne. Pesawat dengan kode panggilan di udara Papa-Kilo-Sierra 1-7-1 itu memiliki motor pendorong berkekuatan 80 tenaga kuda yang mampu dipacu hingga kecepatan 70 knots (setara dengan 140 kilometer perjam).
Trike adalah pesawat yang diciptakan untuk olahraga. Jangan membayangkan instrumen radar cuaca, avionik maupun alat komunikasi yang rumit tertanam di konsol kokpit trike. Hanya beberapa instrumen sederhana seperti altimeter, penunjuk putaran mesin, dan kecepatan. Penunjuk arah terbang menggunakan perangkat Global Positioning System (GPS) yang ditempelkan pada bagian depan pilot. “Trike itu terbang visual, jadi kebanyakan serba manual. Tapi di situ asyiknya,” ucap Enno.
Karena kecintaannya, Enno yang mengaku tidak pernah punya mimpi jadi penerbang itu merasa nyaman dan biasa saja saat harus melakukan sendiri penyiapan pesawat, perawatan hingga instalasi sebelum terbang. Rutinitasnya sebelum terbang adalah mengangkut mesin dan sayap trike dengan mobil double cabin dari kantornya di Batu 14 Tanjungpinang ke Bandara Raja Haji Fisabilillah.
Setelah melakukan instalasi sayap, Enno harus melakukan beberapa prosedur preflight atau pemeriksaan sebelum terbang. Ia dipaksa mengerti mesin pesawat yang dipilotinya karena tidak didukung oleh teknisi khusus. “Ya belajar dari manual book yang tebal itu,” katanya berseloroh.
Usai semua prosedur, ia masih harus mengisi flight plan dan menyerahkannya kepada menara pengawas lalulintas udara di bandara tersebut. Semuanya dijalaninya sebagai sebuah rutinitas yang tidak pernah membuatnya merasa terbebani.
Untuk keperluan pemetaan, pesawat milik Kemenhut itu akan dipasangi kamera Canon 6D dan lensa primer 35 milimeter fix. Dalam satu hektar lahan, pemetaan udara akan menghasilkan 16 frame foto superdetail dari ketinggian 500 hingga 600 kaki.
Enno yang saat ini telah mencatatkan lebih dari 80 jam terbang itu belakangan justru merasa ketagihan. Resikonya, ia kerap harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk mendatangi berbagai event olahraga kedirgantaraan, demi satu tujuan, mencoba terbang pada lingkungan baru. “Saya jarang absen, kalau ada event pasti datang, terbang. Meskipun harus biaya sendiri,” katanya.
Sejumlah wilayah udara di Indonesia pernah diterbanginya, seperti Sukabumi, Jawa Barat, Medan Sumatera Utara, Kupang Nusa Tenggara Timur dan beberapa tempat lainnya. Olahraga kedirgantaraan yang tidak murah memaksa Enno harus kreatif membiayai hobi barunya itu.
Sebagai anggota Federasi Aero & Sport Indonesia (FASI), Enno beruntung punya banyak kolega yang dapat meminjaminya pesawat. Ia cukup mengeluarkan ongkos untuk bahan bakar dan minyak pelumas mesin, di samping transportasi dan akomodasi untuk dirinya selama berada di lokasi kegiatan. “Maklum, cewek sendiri, pasti ada extra cost karena gak bisa sharing hotel,” tuturnya.
Kecintaan Enno pada olahraga kedirgantaraan membawa pertanyaan besar bagi dirinya sendiri. Sebagai perempuan, ia merasa waktu menggeluti hobi cukup pendek. Pasalnya, saat ini Enno adalah satu-satunya penerbang perempuan yang dimiliki Kemenhut, setelah koleganya vakum karena menikah dan program memiliki anak. “Pinginnya hamil, punya anak sekalipun tetap masih terbang, tapi lihat nanti lah,” ucapnya pendek saat ditanya garis akhir hobinya.
Mengatur emosi dan mengambil keputusan cepat adalah bagian dari kematangan seorang penerbang. Enno menyebut, saat di udara, ia harus mengandalkan dan menjamin keselamatannya sendiri. Prosedur baku penerbangan harus dilatihkan setiap saat. Pengendalian emosi dan berpikir taktis menjadi kunci selanjutnya untuk kesuksesan misi terbang.
Sebagai pilot, Enno dituntut untuk melaksanakan segalanya dengan tertib dan mendetail. Dalam kondisi darurat, trike hanya dilengkapi dengan ballistic parachute yang akan menahan gaya gravitasi. “Misal kerobekan sayap atau engine trouble, kita masih punya sayap untuk melayang dan mendarat darurat juga,” terangnya.
Enno memiliki sejumlah pengalaman menegangkan saat mengoperasikan pesawat ringan. Pernah suatu ketika, ia harus mendarat di Bandara RHF saat melawan angin kuat. “Sudah final approach, sudah skimming, tinggal touch down, tapi terpaksa batal, angin kuat,” kisahnya.
Pada saat itu, angin mengarah ke badan pesawat atau dikenal dengan istilah crosswind yang menyebabkan pesawat oleng. Enno harus mengambil keputusan cepat untuk menaikkan kembali trike-nya, go arround. Di udara, ia baru bisa kembali berpikir jernih karena kejadian begitu cepat dan membuat syok. “Setelah beberapa saat, mikir kalau tidak landing nanti angin malah makin kuat, jadi dimantapkan, dan syukur berhasil,” sambungnya.
Trike, masih menurut alumnus Mapala Silvagama itu, membutuhkan landasan pacu yang tidak terlalu panjang. Dalam kondisi darurat, pesawat ini dapat mendarat di lapangan sepak bola, tanah lapang, maupun jalan raya dengan panjang setidaknya 200 meter. Namun, tidak semua lapangan yang dapat didarati akan dapat digunakan untuk take off kembali.
Beruntung trike memiliki sayap fleksibel yang dapat dilipat dan dinaikan ke mobil bak terbuka. Dengan menumpang mobil, setidaknya trike akan dapat terbang lagi setelah diangkut ke landasan yang memenuhi syarat.
Sebagai sebuah olahraga, trike boleh dikata mahal, meskipun cukup terjangkau. Jenis trike yang digunakan Enno memiliki endurance hingga 4 jam terbang saat diisi bahan bakar penuh sebanyak 70 liter. “Pakainya juga pertamax, bukan avtur kok,” tutur Enno.
Perempuan dan olahraga ekstrim bukan perpaduan baru. Namun saat ini masih cukup sedikit yang perempuan yang menggeluti olahraga kedirgantaraan dan memegang lisensi pilot. Enno berharap, suatu saat Tanjungpinang akan ramai dengan pilot-pilot olahraga seperti dirinya.
“Kuncinya jangan takut, jangan pesimis, jangan mikir aneh-aneh, latihan yang rajin, pasti bisa,” katanya memberikan tips.
Rasa takut tidak dapat dikalahkan, hanya dapat dialihkan, hanya saja cara masing-masing orang untuk mengalihkan akan berbeda. Saat panik dan takut melanda, Enno berupaya mengenyahkan itu dari pikirannya dengan mengunyah permen karet dan tetap mengingat kembali prosedur baku yang dikenalnya. Sinkronisasi rasa gugup dengan prosedur standar baku bukan hal yang mudah, apalagi bagi seorang perempuan yang cenderung lebih histeris saat tertekan. Namun Enno yakin, semua akan berhasil karena seiring bertambahnya jam terbang, akan semakin sigap reflek yang dimiliki oleh penerbang.
Enno seorang pekerja, penikmat petualangan, pecandu adrenalin dan sekaligus seorang pengusaha. Waktu yang padat betul-betul harus diakalinya dengan ketat agar tetap dapat dinikmati. Dalam sehari, ia dituntut untuk cermat membagi waktu antara pekerjaan, usaha dan hobinya.
Kodrat sebagai perempuan tidak diingkari Enno. Ia tetaplah seorang dengan kepekaan seorang perempuan, dengan kebiasaan perempuan dan pembawaan yang tetap feminin. Hanya saja, dia membatasi betul waktunya untuk melakukan rutinitas perempuannya. “Mandi sama dandan cukup lima menit lah,” celetuknya.
Celetukan itu cukup masuk akal jika melihat padatnya kegiatan yang harus dijalaninya. Sehabis jam kantor, Enno hanya punya waktu 30 menit untuk menyiapkan diri membuka cafe dan toko perlengkapan outdoornya di Komplek Bintan Centre, Tanjungpinang. “Aku biasakan datang sebelum karyawan Barista (nama cafe miliknya) datang,” pungkasnya.
Joko Sulistyo