pelantar.id – Di tengah keterbatasan, film pendek asal Kota Batam keluar sebagai juara 1 film terbaik di ajang Anti Corruption Film Festival (ACFFest) Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) 2020. Film berbahasa melayu dengan judul “Ketue” itu mengalahkan ratusan film lainnya.
Sutradara film “Ketue” Pajri Andika (38 tahun) menceritakan proses pembuatan film fiksi komedi tersebut. Diproduksi dalam waktu satu bulan penuh, berbagai kendala ditemukan, mulai dari minimnya alat hingga kekurangan biaya produksi.
Pajri bercerita, awalnya dia sudah mempunyai ide tema film pendek “Ketue” sejak dua tahun lalu. Namun, belum terealisasikan. “Saya dan kawan akhirnya diskusi, meskipun tidak ada budget kita yakin bisa produksi film ini dan ikuti lomba itu,” katanya.
Melalui Komunitas Nifikiwa Production, Pajri dan kawan-kawannya mulai membuat naskah dan memproduksi film tersebut. “Kebetulan aku suka komedi, sesuai dengan salah satu kategori lomba yaitu film fiksi komedi,” kata Pajri.
Pajri mengatakan, cukup sulit memproduksi film di tengah pandemi saat ini. Apalagi susahnya mencari sponsor swasta yang ingin membantu. “Tetapi kami tetap yakin, Alhamdulillah ada yang bantu,” katanya.
Meskipun hanya satu sponsor yaitu dari Bank Riau Kepri, Pajri mengatakan, tidak mencukupi untuk biaya produksi film “Ketue”. Tetapi ia bersama anggota komunitasnya tetap yakin bisa produksi film tersebut meskipun akhirnya menggunakan biaya sendiri.
Keterbatasan alat, membuat film ini hampir batal dikirim. “Ketika itu kita kirim last minute, kita sempat down dan pasrah,” katanya.
Tidak hanya itu, beberapa kendala teknis juga dihadapi. Seperti rusaknya lampu syuting ketika pengambilan gambar. “Jadi agak kurang sedikit maksimal, itu dari segi teknis, kalau kendala non teknis sebenarnya dari budget produksi,” katanya.
Sedangkan untuk pemeran, menurut Pajri di Batam tidaklah kekurangan. Bahkan, akting aktor-aktor muda di Batam tidak kalah dengan nasional. “Hanya kurang jam terbang saja,” katanya.
Tetapi perjuangan Pajri dan kawan-kawan membuahkan hasil. Mereka diberitahu mendapatkan juara 1 kategori film fiksi komedi di ajang nasional tersebut. “Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut mensukseskan film ini, kita akan terus buat film-film terbaik,” katanya.
Perfilman Batam Butuh Dukungan
Perfilman Batam sudah semakin menunjukan hal bagus di kancah nasional, bahkan di tengah pandemi sekalipun. Menjadi terbaik nasional, film “Ketue” menjadi gambaran film-film dari melayu ini bisa bertarung skala nasional.
Tema film “Ketue” tidak hanya sekedar film cerita biasa. Pajri dan kawan-kawan mengangkat kisah kebiasaan buruk pejabat. Dialog film tersebut menggunakan bahasa melayu, termasuk dijudulnya yaitu “Ketue” atau dalam bahasa Indonesia kutua. “Ini juga menjadi alasan saya ikut yaitu memperkenalkan budaya Melayu melalui film secara nasional,” kata Pajri saat dihubungi, Rabu, 9 Desember 2020.
Film “Ketue” menceritakan suap proyek yang terjadi di suatu daerah. Selain itu ada kebiasaan buruk yang terjadi di lingkungan pejabat, yaitu ketika memberi salam tempel saat ada rakyat memanggil dirinya “ketue”. Tidak hanya mengangkat bahasa melayu, film ini juga menggunakan instrumen musik Melayu, yang dibuat oleh salah satu anggota komunitas Nifikiwa Production.
Pajri melanjutkan, Kepulauan Riau atau Batam tidak boleh kalah dengan daerah lain, bahasa-bahasa daerah lain banyak terkenal melalui sebuah film. “Daerah lain kenalkan bahasa daerah melalui film, kenapa kita tidak, padahal cikal bakal Bahasa Indonesia berasal dari Melayu,” katanya.
Sutradara Film Ramli ini juga melihat dunia perfilman di Batam tidaklah kekurangan anak-anak kreatif. Tetapi kekurangan kepercayaan baik dari swasta maupun pemerintah. Kepercayaan maksud Pajri adalah dukungan dari swasta maupun pemerintah, terutama dalam bentuk modal.
Pajri melanjutkan, di daerah lain film didukung penuh oleh swasta maupun pemerintah. “Seperti film Tilik yang viral beberapa waktu lalu, 100 persen dibiayai pemerintah mereka,” katanya.
Meskipun tidak bisa membiayai, Pajri berharap pemerintah bisa menjadi jembatan komunitas film dengan swasta. “Misalnya pemerintah meminta 10 persen dana CSR pihak swasta untuk kami,” katanya.
Pajri mengatakan, beberapa waktu lalu komunitas film sudah bertemu dengan Infinite Studio Batam yang ada di Nongsa. Infinite ini merupakan salah satu studio lokasi syuting film hollywood. Hasilnya, infinite bersedia membuka diri untuk perfilman Batam. “Itu masih sebatas wacana, kami berharap semoga terealisasi,” kata Pajri.
Di Batam terdapat setidaknya delapan komunitas film, dengan total anggota sekitar 200 orang. Pajri juga berharap selain pemerintah, masyarakat juga diharapkan dapat mendukung perfilman di Batam dengan cara menonton karya mereka. Film ini diperankan oleh Babe Asmawi, Munawir Sani, Harun L Tuang. Serta beberapa kru lainnya Pajri Andika, Eva Sri Rahmadani, Tutus Supriadi, Andi Putra, Odi, Wirman, Roy, Pito, Vantry, Erna maliza, Ujok Amar, Rafiyadi, Feri Irawan.
Sebenarnya menurut Pajri, perfilman di Batam sudah cukup hidup tetapi sedikit kurang mendapat dukungan. “Ibaratnya kalau daerah lain mereka sudah berlari, kita masih merangkak,” katanya.**