“Kalau kita tak bisa tidur, itu lebih baik. Kita bisa menikmati lebih banyak (waktu) dari hidup kita”Jose Arcadio Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian (GabrielGarcia Marquez)

Pelantar.id – Beberapa hari lalu aku meminjam sebuah buku yang sudah lama ingin kubaca dari seorang kawan. Seratus Tahun Kesunyian, versi terjemahan Indonesia dari One Hundred Years of Solitude terbitan 2014 dengan total 488 halaman.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca judul buku itu? Apakah kau ketakutan? Perasaan itu yang aku sadari muncul dalam kepalaku.

Bayangkan kau bisa merasakan kesunyian sepanjang seratus tahun. Cuma orang gila yang menulis tentang kesunyian semacam itu. Gabo alias Gabriel Garcia Marquez memang orang gila. Pantas saja kalau Akademi Swedia mengganjarnya dengan sebuah Nobel Sastra pada 1982.

Lewat dari 50 halaman pertama, kengerian itu benar-benar muncul dalam bentuk wabah penyakit mengerikan. Penyakit itu, menyebar dari rumah Jose Arcadio Beundia ke seluruh Macondo.

Awalnya begini, Aureliano, si anak kedua yang kesepian setelah ditingal kakak lelakinya meramalkan kedatangan tamu ke rumahnya. “Bakal ada yang datang”, begitu katanya pada Ursula, ibunya.

Tamu yang diramalkan Aureliano ternyata adalah serombongan pedagang kulit yang membawa seorang anak perempuan, sebatang kara, dan sepucuk surat untuk Jose Arcadio Buendia.

Anak kecil itu bernama Rebeca, yang pada suatu tengah malam duduk sendiri di sudut kamar. Ia ditemukan bergoyang-goyang di atas kursi goyangnya sambil menggigit ibu jari dalam keadaan mata terbelalak.

Aku jadi teringat sebuah reportase dari Vice Indonesia berjudul “Cara Anak Muda Bertahan Hidup dalam Kesibukan Kota Jakarta.” Beberapa anak muda  yang diwawancara mengatakan andai mereka diberi kesempatan dan itu mungkin diwujudkan, mereka meminta waktu ditambah. Ada yang menyebut 35, 48 bahkan 80 jam dalam hitungan sehari-semalam.

Tepat di situlah sebenarnya malapetaka itu muncul dan menampakkan dirinya. Dalam Seratus Tahun Kesunyian penyakit itu digambarkan kurang lebih begini,

“…Semua senang tidak tidur semalaman karena di Macondo pada masa-masa itu begitu banyak yang harus dikerjakan dan begitu sedikit waktunya. Mereka terus bekerja hingga akhirnya tak ada lagi yang harus dikerjakan. Jam tiga pagi mereka semua berdiri menganggur dengan tangan bersilang di dada, menghitung nada lagu waltz yang dimainkan semua jam.”

Kembali ke reportase Vice Indonesia tadi, di sana orang-orang muda yang diwawancarai juga mengatakan, mereka hanya tidur kira-kira 2-5 jam perhari. Walaupun “masih bisa” tidur, meminjam gaya realisme magis Gabo, rasanya inilah bentuk nyata wabah penyakit tak bisa tidur yang merebak setelah kedatangan Rebeca ke Macondo itu.

Entah kau mau menyalahkan kerasnya kehidupan di Jakarta maupun kota besar serupa lainnya, atau inilah itulah karena memilih terjun dalam dunia kerja kapitalistik serta alasan lainnya, namun seperti wabah penyakit itu, sekali kau kena, kau tak bisa lari kemanapun.

Yang tidak kita sadari dari imajinasi bablas soal surplus waktu ini adalah ancaman hilangnya kemampuan manusia untuk menjaga ingatan, itu jika kau dengan sembrono punya pandangan yang sama dengan Jose Arcadio Buendia yang bilang, “Kalau kita tak bisa tidur, itu lebih baik. Kita bisa menikmati lebih banyak (waktu) dari hidup kita”.

Efek puncak dari penyakit tak bisa tidur itu adalah kita awalnya kehilangan kemampuan untuk mengingat kenangan masa kecil, lalu nama dan kegunaan benda-benda. Ketika kehilangan semua itu, isi hidup kita hanya tinggal kengerian bernama kesunyian.

*****

Penulis: Kasiyanto bin Iskandar

Twitter: @pamannyabilqis

Blog: https://abangkas.wordpress.com
——-
Credit: Just Being: Photo via Pinterest