#FiksiPelantar
Pelantar.id – Edisi kedua kolom fiksi minggu ini. Pelantar.id memilih untuk menapilkan fiksi mini karya Kasiyanto bin Iskandar, salah seorang penggiat literasi di kota Batam.
Empat fiksi mini pilihan Pelantar.id kali ini akan mengajak pembaca menelusuri kisah tentang mitos Hutan Larangan dan persoalan cinta yang kadang tak masuk di akal.
Jadi, selamat menikmati.
*****
Hutan Larangan
“Kau boleh bermain di manapun, asal jangan ke Hutan Larangan”. Begitu kata Bapak ketika umurku menginjak usia bisa bermain jauh dari rumah.
Aku sebenarnya sudah beberapa kali menyusuri sungai kecil di dekat bukit belakang kampung. Dengan sepupu-sepupuku, kami kadang pergi menjerat burung ayam-ayam dekat rawa. Semuanya tanpa izin Bapakku. Tapi ke Hutan Larangan, bahkan Samsul yang sudah SMP pun tak berani.
Orang bilang, kalau kau masuk Hutan Larangan, kau tak akan bisa kembali. Banyak sekali cerita seram soal hutan itu. Ada yang bilang hutan itu rumah bagi suku Bunian. Sekali kau bertemu mereka, kau tak mungkin lagi hidup di dunia nyata. Pernah juga kudengar orang bilang hutan itu adalah gerbang ke dunia jin.
Ketika aku sudah agak besar, baru aku mengerti, cerita seram itu tak benar. Hutan Larangan itu milik seorang anak mantan presiden.
*****
Hanya Doa
Burhan akan menikah dan harus mengurus berkas-berkas yang dibutuhkannya. Karena tinggal berbeda kota, pengurusan berkas jadi lebih rumit. Dari berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat calon, didapatilah sebuah informasi mengenai semacam jalan pintas.
Kesana-kemari, akhirnya bertemulah Burhan dengan orang yang akan memberinya jalan pintas itu.
“Pak, kami tinggal di kota B dan mesti berangkat ke bandara jam 3 nanti. Kalau boleh, kami memohon bantuan supaya dimudahkan urusan berkas-berkas ini”
“Hmmm. Saya tak bisa membantu apa-apa, cuma doa yang bisa saya berikan.”
Segalanya tampak buruk bagi Burhan, sampai kemudian,
“Tapi…”
“Tapi apa Pak?”
“Biasanya untuk urusan begini, satu pasangan dipungut Rp 300.000”
“Baik, Pak.”
*****
Kau Sudah Salat?
Seperti kebanyakan lelaki biasa saja –bahkan yang bajingan sekalipun– memiliki pasangan yang agak relijius adalah sebuah pencapaian yang baik. Rustam pun begitu. Ia tengah menjalin sebuah hubungan asmara dengan seorang perempuan yang agak alim. Tentu kau tak bisa tanyakan kenapa perempuan alim mau menjalin hubungan sebelum menikah dengan seorang lelaki seperti Rustam.
Suatu subuh Rustam masih terjaga. Alasannya, kau tahu, bukan karena ia ingin melaksanakan ibadah. Ia hanya begadang seperti biasanya.
Iseng karena tak ada yang dikerjakan, ia mengirim pesan singkat kepada pacarnya.
“Kau sudah bangun?”
“Sudah. Kau sudah salat?”
…
Kalau ia mengatakan belum, kesan perempuan ini terhadapnya akan berubah. Kalau ia mengatakan sudah, ia merasa bersalah pada Tuhan. Didorong perasaan cintanya pada perempuan itu, ia paksakan dirinya mengambil wudhu dan melaksanakan salat, dengan cepat.
Setelah salat, ia mengirim pesan balasan.
“Sudah. Aku sudah salat.”
*****
Salah Nama
Aku punya seorang kawan tampan. Suatu hari, ia jatuh cinta. Di dunia ini, cinta berpihak pada orang-orang rupawan seperti kawanku. Seperti anak-anak muda dengan hasrat yang bergejolak, ia pun begitu. Cinta, telah berhasil membuatnya mabuk.
“Inilah cinta sejatiku,”
“Kau masih terlalu muda, tahu apa kau soal hal-hal begitu?”
“Terserah kau mau bilang apa.”
Aku lupa, dalam keadaan begini, menasehatinya sama sia-sianya seperti mengajar beruk membuat puisi.
Suatu malam ia pergi ke tukang tato dan menulis nama perempuan itu di tangan kiri. Ia pulang dan menangis hingga pagi. Ketika kutanyakan sebabnya ia memandangku tepat di bola mata.
“Salah nama”.
*****
Penulis: Kasiyanto bin Iskandar
Twitter: @pamannyabilqis
Credit Foto: Autumn in the Catskills by Thomas Cole (via Pinterest)