Penulis: H.M Chaniago

Lingkungan terkadang juga faktor utama untuk tumbuh dan semakin berkembangnya penyakit kejiwaan- Didi Kusmarjadi, Kadinkes Batam

Pelantar.Id – Kisah hidup Joker yang sebelumnya hanya kita kenal lewat film superhero Batman telah resmi ditayangkan, 2 Oktober 2019 kemarin di bioskop Indonesia. Beragam pendapat dan bahkan stigma mengemukan tentang sosok protagonis villain legendaris ini.

Banyak yang beranggapan bahwa adanya dia adalah karena bencana yang diciptakan oleh lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya, dan sebagian yang kontra mengatakan kegilaannya sangat tidak layak dipertontonkan atau terlalu dibesar-besarkan.

Setiap orang memang berhak mengemukan pendapat mereka tentang film ini. Hanya saja yang lebih penting bagi penulis adalah memahami kegilaan tersebut dan asal muasal mental illness, hingga bisa terus semakin berkembang dalam sosok Joker, bernama Arthur Fleck (Joaquin Pheonix).

Pada dasarnya film selain sebagai karya seni, ia juga berperan memberi nilai edukasi atau penggambaran kenyataan yang sedang berkembang di masyarakat. Dengan adanya film Joker, harusnya bisa menumbuhkan kesadaran kita terhadap problem kejiwaan yang selama ini kerap terabaikan.

Sebelum lebih lanjut, kita runut terlebih dahulu fase-fase kegilaan dalam kehidupan sosok Joker, berikut; Arthur Fleck jauh sebelum menemukan sosok Joker di dalam dirinya adalah seseorang yang mencari nafkah sebagai badut, dan berlanjut menjadi komedian tunggal. Sementara itu hidupnya adalah perihal keterasingan dan perundungan (ekuivalensi kata Bullying) yang ia dapatkan dari lingkungan sekitar.

Hal ini bisa dilihat tatkala ia menjadi badut dan memagang papan promo sembari beratraksi di jalanan, beberapa orang remaja datang merebut papat tersebut dan membawa lari, hingga di suatu gang Arthur dipukul dengan papan tersebut bahkan dikoroyok.

Sementara itu dalam film memang tidak dijelaskan penyakit kejiwaan yang diderita Arthur secara detail. Hanya saja yang lebih dalam adalah adanya selembar kartu yang menjelaskan penyakit Pseudobulbar Affect (PBA) yang dideritanya, yakni tertawa dan menangis terpaksa yang tidak pantas karena gangguan sistem saraf.

Kondisi ini ditandai dengan reaksi tawa atau tangis terpaksa dan tak terkendali yang tidak proporsional pada satu peristiwa. Di dalam film memang ditampilkan adegan kala Arthur berobat ke psikiater dan ia juga diberi sejenis obat untuk penyakit yang ia alami dari dinas setempat, namun itu tidak bertahan lama karena kebijakan pemerintah yang menutup layanan konseling yang biasa dijalani Arthur.

Sementara di masa kecilnya Arthur pernah mengalami cidera saraf otak yang membuat dia terjangkit PBA. Sementara itu beriring berjalannya waktu, perlahan fragmen film turut menampilkan gambaran Arthur yang mulai mengalami delusi atau waham tertentu. Ia berhalusinasi menjadi sosok terkenal, atau delusi tentang menjalin hubungan dengan tetangga satu apartment, seorang ibu beranak satu.

Semua hal di atas semakin mengalami peningkatan ke arah yang lebih buruk, karena lingkungan sosialnya yang juga tidak mendukung. Selain berasal dari masyarakat kelas bawah yang hidup di apartment kumuh, perundungan sosial juga memperparah kejiwaannya.

Rangkaian demi rangkaian itu tergambar jelas dalam setiap adegan film hingga beberapa peristiwa tragis seperti beberapa pembunuhan pun ia lakukan. Semua itu di dasarkan pada amarah-amarah terpendam yang ia lakukan hanya pada orang-orang yang memperlakukannya dengan cara yang tidak baik.

Tanpa bermaksud meligitimasi, semua hal ini terjadi bukan karena sepihak, ada penyebab dan hal lain yang menjadi trigger rentetan kejadian sadis berupa pembunuhan yang dilakukan Arthur.

Manic Depressive dan Skizofrenia

Merunut kasus dalam film Joker (2019) karya sineas Todd Phillips. Didi Kusmarjadi, Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) kota Batam mengatakan, pada dasarnya ada beberapa penyakit kejiwaan yang layak dipahami oleh masyarakat secara umum.

Bahkan ada beberapa kasus kejiwaan yang notabenenya terkadang muncul karena faktor perlakuan dalam lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Dalam kasus Arthur Fleck di film Joker, Didi mengatakan hal ini bisa masuk kategori manic-depressive atau Bipolar dan juga kasus kejiwaan lainnya yaitu Skizofrenia.

“Faktor utamanya semakin kuatnya penyakit ini justru juga ada pengaruh dari society atau lingkungan di sekitar,” ujar Didi, Senin (14/10).

Manic-depressive kombinasi Psikosa (Psikosis) disebut juga sengan Bipolar. Penyakit ini tergabungan antara manic dan depresi. Manic bisa membuat si penderita tertawa sendiri dan bahagia tanpa sebab.

Sementara pada fase depresi cenderung si penderita mulai berprilaku murung, sedih dan menarik diri dari kehidupan sosial.

“Jika lingkungan tidak bisa memahami ini. Bagi si penderita hal ini akan menjadi semakin memburuk, dan bahkan cenderung lingkungan yang terkadang abai malah bisa balik mem-bulying prilaku ini,” terang Didi.

Menurut Didi, sebenarnya masing- masing dari manusia bisa memiliki gangguan kejiwaan mereka sendiri-sendiri. Namun pada dasarnya hanya sampai fase neurosis, suatu gejala yang masih ringan dan masih mampu membedakan mana yang nyata dan tidak.

Sementara itu, hal terburuk adalah jika telah sampai pada fase psikosa (psikosis), di tahap ini penderita telah memiliki wahamnya sendiri yang hampir tidak bisa menilai lingkungan itu nyata atau tidak. Hal ini melebihi halusinasi itu sendiri, yang tidak lagi bisa diketahuinya.

Hal lainnya gangguan yang dialami Arthur ialah serupa Skizofrenia. Untuk kasus ini terkadang lebih beragam dari pada apa yang dialami oleh Arthur, jika di dalam film hanya delusi atau halusinasi ia berpacaran dengan sosok ibu satu anak, dalam Skizofrenia hal ini lebih dari hal tersebut.

Bisa memiliki waham untuk menghabisi nyawa seseorang atau bahkan pada beberapa kasus mutilasi di negeri ini. Skizofrenia ini sendiri disebutkan tadanya adalah seperti pemikiran atau pengalaman yang sulit membedakan antara kenyataan dan bukan, ucapan dan perilaku yang tidak teratur dari si penderita, dan terkadang berdampak pada penurunan partisipasi dalam aktivitas keseharian hingga kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengingat banyak hal.

Secara ringkas, Didi mengatakan untuk kasus Skizofrenia membutuhkan pengobatan yang berkepanjangan, karena ini adalah gangguan kejiwaan kronis, yang bagi sebagian mayoritas masyarakat di Indonesia sendiri cenderung menyebutnya lebih kepada “gila”.

Gejala Skizofrenia ini disebutkan dasarnya memiliki beberapa variasi, semua itu didasarkan jenis dan tingkat keparahan yang dialami si penderita. Beberapa gejala yang paling khas di antaranya: Halusinasi; seperti mendengar, melihat, mencium, atau merasakan hal-hal yang tidak nyata. Delusi; fase ini ditandai dengan sikap si penderita yang memiliki keyakinan kuat akan suatu hal dalam konotasi negatif, seperti merasa orang lain ingin meniat buruk atau membunuh dirinya sendiri.

521 Orang Mengalami ODGJ Berat di Batam

Mengenai hal ini, Didi mengatakan memang Batam belum memiliki rumah sakit khusus kejiwaan, bahkan itu juga di Provinsi Kepulauan Riau. ” Total Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat di Batam ada 521 orang. Cuma kesepakatannya kalau ada kelainan jiwa akan dirujuk ke RSUD Tanjung Uban,” terang Didi.

Meski begitu di Batam, Dinas Kesehatan tetap menyediakan dokter spesialis jiwa dan bahkan pelayanan di Puskesmas pun ada dibuka untuk masalah kejiwaan ini. Hanya saja untuk Puskesmas, Didi menyebutkan lebih hanya kepada terapi suportif, biasanya berupa pendampingan pada si penderita.

“Di Puskesmas kita ada obat untuk gangguan jiwa berat, cuma sifatnya hanya pertolongan awal sebelum dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis kejiwaan,” terangnya.

“Dan sekarang penangan kita tentang kasus kejiwaan malah sudah berbasis ke masyarakat. Kita bekerja sama dengan masyarakat berupa konseling. Juga langsung ke rumah penderita dan mengedukasi keluarganya juga. Karena seperti kasus Skizofrenia atau Bipolar selain faktor keturunan, lingkungan juga mendorong ini semakin berkembang,” pungkasnya.