Penulis: H.M Chaniago
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni, dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu– Sapardi Djoko Damono
Pelantar.id – Saban waktu, Joni seorang teman sesama jurnalis di Batam selalu mengirimi link berita yang ditulisnya di sebuah media lokal elite tempat dia bekerja. Media itu bernama Elitnews, dan saya awalnya sering resah karena notifikasinya ketika Bung Joni sering mengirim broadcast link beritanya hingga tengah malam.
Lambat laun karena selalu dikirimi dan saya juga enggan mengomentari ulahnya, saya terima saja setiap pesan WhatsApp berisi link berita dari Joni. Lumayan lah buat menghibur diri sendiri, pikir saya saat itu.
Hingga beberapa hari kemarin, Joni mengirimi saya sebuah link elite berjudul “Batam Bukan Banjir, Amsakar Achmad: Hanya Genangan Air Saat Hujan Mengguyur Kota Batam”.
Sontak muncul niat untuk membaca tulisan Joni, kawan awak ini. Membaca berita Joni, membuat saya salut pada Kanda Amsakar. Bagaimana tidak, untuk persoalan sepenting banjir yang telah turun temurun selalu hadir kala hujan lebat menyiram Batam, beliau masih menyempatkan untuk menjawabnya dengan berpuisi.
Saya anggap pernyataan itu sebagai bentuk dari puisi, kebetulan Kanda juga penikmat, pembaca dan bahkan pejabat pemerintah yang telah menerbitkan buku puisi berjudul Sungsang, Penyair 1/2 Jadi, karena itu, semakin membuat saya yakin Kanda sedang berpuisi.
Dengan lembut, seperti rintik hujan yang turun di pagi hari menyentuh kelompak mata sang bunga mawar. Kanda pun menjawab persoalan banjir yang selalu hadir meski proyek drainase sedang digalakkan Pemerintah Kota Batam, terutama di kawasan Kecamatan Batuaji dan Sagulung atau kawasan lainnya.
Di hadapan wartawan, Kanda Amsakar membacakan puisi terbarunya tentang hujan dan banjir. “Tidak pernah ada banjir, walaupun datang hujan lebat, itu hanyalah genangan air”. Saya terperangah, pemilihan diksinya cukup pas. Jadi karena ini puisi, maka saya juga anggap itu genangan air bukan rupa dari banjir.
Seketika timbul pertanyaan akan puisinya Kanda ini, Kenapa hal tersebut digolongkan bukan banjir melainkan genangan air?.
Amsakar menjawab “Sebab perlu diketahui bahwa beberapa jam, paling lama 3 jam saja pasti sudah hilang genangan air tersebut,” terangnya kepada awak media, salah satunya kawan awak ini bernama Joni.
Membaca “puisi” pernyataan Kanda pada awak media, membawa lamunan saya melayang jauh ke Jakarta. Alkisah, hiduplah di hutan kota metropolitan itu sosok birokrat bernama Fauzi Bowo, yang akrab disapa Bang Foke, dan juga menjabat Gubernur DKI Jakarta saat itu.
Di hadapan awak media, Bang Foke berkilah ketika diwawancarai persoalan banjir yang melanda ibu kota. Singkatnya Bang Foke memberi penjelasan hampir seperti yang dijawab oleh Kanda Amsakar dari Batam, “itu bukanlah banjir, itu hanyalah genangan air”.
Selanjutnya Bang Foke juga memberi penjelasan, namun karena dia bukan penikmat, pembaca dan penulis puisi, maka waktu itu saya biasa saja dengan penuturan Foke.
Oh ya, begini penjelasan Foke tentang perbedaan antara banjir dan genangan ada. “Banjir itu satu hari dua hari, kemudian mendam di situ, sedangkan genangan itu air lewat, ini saya jelaskan perlu ada pemahaman tentang itu,” kilahnya (Sumber: mediaindonesia.com – Jumat, 08 Oktober 2010, 01:18 WIB) dikutip via laman Kompasiana, Andi Husairi Nasution.
Memahami Banjir dari Sisi Semantik
Menyelaraskan pernyataan Kanda Amsakar dan Bang Foke, benarkah pemahaman mereka tentang definisi banjir ini sesuai dengan semantiknya?
Pertama kita ambil dulu makna “banjir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, banjir sebagai kata nomina dari sisi geografi dan geologi disebutkan dengan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat.
Sementara itu, banjir sebagai verba atau kata kerja dimaknai dengan berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap. Makna yang ini ditujukan pada kali (sungai) dan sebagainya, contoh; karena hujan turun terus-menerus, sungai itu banjir.
Sementara itu lagi, masih dalam KBBI, yang normalnya jadi patokan seorang yang hobi menulis puisi atau menyukai dunia literasi seperti Kanda Amsakar. Ketika ‘banjir’ diberi imbuhan ‘me’ dan ‘i’ yakni ‘membanjiri’. Maka sebagai verba ia bermakna menggenangi; mengempohi; memenuhi.
Misalnya ketika kalimat “Hujan Deras Membanjiri kota Batam” dituliskan, maknanya akan sama dengan “Hujan deras menggenangi kota Batam”. Tentunya ‘banjir’ dan ‘genangan’ secara semantik adalah sama.
Menyadur kembali penjelasan Andi Husairi Nasution di laman Kompasiana, Kementerian Pekerjaan Umum RI (Departemen Kimpraswil, 2001), menjelaskan banjir sebagai suatu keadaan sungai, di mana aliran air tidak tertampung oleh palung sungai, sehingga terjadi limpasan, dan atau genangan pada lahan yang semestinya kering.
Bergeser ke negeri tetangga, dalam Wikipedia Malaysia didefinisikan banjir sebagai suatu keadaan air yang menenggelami atau menggenangi sesuatu kawasan atau tempat yang luas.
Hal lainnya, ada yang mendefinisikan banjir sebagai luapan air yang melebihi standar kapasitas wilayah yang diakibatkan hujan secara terus-menerus.
Masih ada lagi lo, ada yang menjelaskan bahwa banjir sebagai hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi di suatu kawasan tertentu.
Berdasarkan ragam penjelasan di atas, saya sebagai orang yang yakin bahwa Kanda Amsakar merupakan orang yang memahami kaidah ilmu semantik, apa lagi melihat jabatannya sebagai Wakil Walikota Batam yang secara langsung setiap saat mendengarkan keluhan masyarakatnya akan banjir.
Pasti Kanda Amsakar saat itu sedang berpuisi, menyusun diksi tertentu demi memaknaik ‘banjir’ dalam konsep yang lebih poetic atau memang Dia memiliki pemaknaan khusus tentang ‘banjir’ dari sisi personal semantiknya.
Di akhir tulisan, kepada Kanda Amsakar, izinkan saya mengutip bait puisi tentang hujan yang begitu indah dan tak menimbulkan banjir karya Eyang Sapardi Djoko Damono.
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni… dibiarkannya yang tak terucapkan… diserap akar pohon bunga itu