Pelantar.id-Dari helatan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) ke-25 di Madrid, Spanyol, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam (KSDAE) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK), Wiratno menegaskan pentingnya kepemimpinan dalam pelaksanaan Kemitraan Konservasi (7/12).

Menurutnya, kepemimpinan menentukan dalam semua aspek pengelolaan kemitraan konservasi. Tak hanya kepemimpinan di leval masyarakat, tapi juga menyasar kepemimpinan lembaga-lembaga pelaksana kemitraan konservasi.

“Kita ini satu keluarga, _extended family_. Semua pihak yang mendukung kemitraan konservasi sebagai salah satu solusi. Masyarakat sudah memiliki ruang partisipasi yang besar. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan potensi yang ada,” ucapnya.

Menurut Wiratno, setidaknya extended family yang terlibat mendukung kemitraan konservasi adalah 6.681 Aparatur Negeri Sipil (ASN), ditambah dengan 3.480 Non ASN di lingkup Ditjen KSDAE.

Inovasi pengelolaan hutan cukup luas terjadi sejak 2015. Di masa itu, kebijakan pengurusan hutan di Indonesia mulai dirubah. Kebijakan sudah mengarah pada pelibatan masyarakat secara luas dengan istilah perhutan sosial.

“Saat ini telah diberikan akses kelola kepada masyarakat desa-desa pinggir hutan seluas lebih dari 3 juta hektar, dengan periode 35 tahun. Dalam hal desa-desa yang berada di pinggir atau di dalam kawasan konservasi mendapat akses pengelolaan dengan sebutan Kemitraan Konservasi,” papar Wiratno.

Pentingnya masyarakat menjadi alasan dikeluarkannya peraturan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) nomor P.6/KSDAE/Set/Kum.1/6/2018 tentang Kemitraan Konservasi. Kemitraan Konservasi layak menjadi jawaban atas keterlanjuran akses masyarakat pada banyak kawasan konservasi di Indonesia. Kendati masih memerlukan perbaikan regulasi, berikut dengan penguatan keterampilan fasilitasi bagi petugas di lapangan.

“Kita juga masih butuh kepemimpinan dari pihak perguruan tinggi dan lembaga studi lainnya. Data dari lapangan juga harus akurat,” kata Wiratno.

Pada titik ini, extended family memainkan peran kunci. Nilai di lapangan, ungkap Wiratno dibangun dengan sikap mental seorang pemimpin yang menyadari tingginya tingkat persoalan dan ancaman dalam mengelola kawasan konservasi.

“Para pemimpin tidak membiarkan rasa takut menguasai mereka,” pungkasnya.

Hal senada juga disebut Direktur Program Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Arif Aliadi. Menurutnya, kepemimpinan masyarakat adalah pintu keberhasilan.

“Kalau tidak ada yang bisa memimpin di lapangan, Kemitraan Konservasi mungkin hanya akan jadi sebuah mimpi,” ungkapnya.

Menurut Arif, pengelolaan kawasan konservasi modern di Indonesia telah menempatkan masyarakat sebagai aktor di lapangan. Pada titik inilah peran kepemimpinan menentukan.

“Sinergi para aktor juga vital. Karena lima tahun ke depan, Kemitraan Konservasi menjadi pilihan solusi yang tidak mungkin ditarik mundur.” Tegas Arif.

Kemitraan Konservasi, kata Arif, membuat pengelolaan kawasan konservasi menjadi lebih terbuka. Hal tersebut disampaikan Arif di kantornya di Bogor pada 12 Desember lalu. Dia menambahkan, potensi ekonomi kawasan konservasi sangat besar namun pengelolaannya belum optimal.

“Karena itulah, pemimpin di berbagai level sangat menentukan keberhasilan kemitraan konservasi. LATIN sendiri sekarang sedang mendukung upaya Kemitraan Konservasi di 6 Taman Nasional di Indonesia melalui dukungan USAID BIJAK,” papar Arif.

Potensi terbesar kemitraan konservasi, lanjutnya, adalah jasa lingkungan seperti wisata, karbon, air, bentang alam dan lainnya. Selain itu, ada pula hasil hutan bukan kayu seperti rotan, madu, tumbuhan obat, dan buah-buahan. Bahkan potensi mikro-organisme yang dapat diolah menjadi bahan obat juga belum termanfaatkan dengan baik.

“Kepemimpinan adalah kunci. Kemitraan Konservasi adalah bekal yang sudah dikantongi para pemimpin. Kini tinggal bagaimana bekal itu didayagunakan,” tandasnya.

**

Kontak:
1. Arif Aliadi, HP: 08121102660, Email: Email: aaliadi@yahoo.com
2. Wiratno, HP: 082111738988, Email: inung_w2000@yahoo.com