Oleh: Fathurrohim

Pelantar.id – Salah satu penjelajah terkenal di dunia, Marco Polo dalam catatannya pada 1292 menyebutkan sempat menyambangi bagian utara Pulau Sumatera.

Dari catatannya itu pula disebutkan bahwa terdapat keberadaan masyarakat kanibal. Kini, sekian abad berlalu, cerita dan bukti sejarah akan praktik kanibal tersebut tetap dapat ditelusuri.

Jejak-jejaknya dapat ditemui langsung di Huta Siallagan, Desa Ambaria, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Huta -yang berarti desa dalam bahasa Batak Toba- Siallagan dihuni oleh warga yang masih memiliki hubungan langsung atau merupakan keturunan dari Raja Lagan Siallagan, seseorang yang pertama kali membuka wilayah yang akhirnya ditetapkan sebagai perkampungan itu.

Di Huta Siallagan, terdapat rumah bolon yang salah satunya merupakan rumah pasung bagi seseorang yang melanggar hukum. Tak jauh dari rumah pasung itu, terdapat pula Batu Persidangan yang digunakan raja dan tetua adat membahas hukuman yang akan diberikan bagi pesakitan.

Sial bagi pemerkosa, pembunuh, dan mata-mata musuh. Sebab tak lama setelah dipasung, mereka akan digiring menuju tempat pemenggalan usai rapat di Batu Persidangan selesai.

Sebelum sang algojo memisahkan kepala pesakitan dari tubuhnya dengan sebilah pedang, dilakukan pula sebuah ritual.

Karena pada masa itu Suku Batak Toba belum memeluk keyakinan, maka hal-hal klenik masih dipercaya dan tumbuh di masyarakat.

Foto: fatur

Sehingga, dibutuhkan ritual khusus untuk memastikan pesakitan tak memiliki ilmu kebal sebelum dieksekusi.

Ritual itu berupa membaca mantra dan menyayat bagian tubuh pesakitan. Tak sampai di situ, perasan jeruk nipis akan diberikan pada luka yang menganga akibat sayatan.

Setelahnya, barulah sang algojo memaikan perannya dengan memenggal kepala pesakitan dengan sekali tebasan.

Darah yang mengalir dari bagian tubuh yang putus itu pun ditampung dalam sebuah wadah berbahan kayu. Dari badan pesakitan, akan diambil jantung serta hatinya yang kemudian dicincang dan dicampur dengan darah yang telah ditampung tadi.

Sang raja pun akan memberikan potongan jantung dan hati bercampur darah itu kepada seluruh prajuritnya. Dengan tujuan agar seluruh prajuritnya memiliki kekuatan dan ketangguhan.

Tubuh pesakitan yang penuh luka dan tanpa kepala akan dibuang ke Danau Toba. Beberapa cerita bahkan menceritakan, raja akan melarang rakyatnya mengonsumsi air dari Danau Toba karena mengandung roh jahat dari tubuh yang dibuang tersebut. Sementara bagian kepala akan digantung di depan pintu masuk desa untuk menakuti para musuh raja.

Dari kisah itu, maka kemudian dikenallah suku Batak Toba sebagai orang-orang yang memakan manusia. Pemandu Wisata di Huta Siallagan, Jensen Sitinjak menerangkan praktik kanibal ditinggalkan setelah agama Kristen masuk pada abad ke 17.

“Praktik kanibal pun tak dilakukan sembarangan. Hanya diberlakukan pada orang-orang khusus saja, seperti mata-mata musuh,” ujarnya.