Aksi pekerja media di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau menuntut penghentian kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers, beberapa waktu lalu.

pelantar.id – Potensi kekerasan terhadap jurnalis dan pekerja media masih tinggi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Dewan Pers dan asosiasi profesi serta organisasi masyarakat (ormas) sipil, sepakat membentuk Komite Keselamatan Jurnalis.

Sebelumnya, pada Februari lalu, AJI bersama perwakilan jurnalis dari 30 kota dan melibatkan aktivis masyakarat sipil, memetakan pontensi risiko kekerasan. Pemetaan risiko diklasifikasikan berdasarkan regional wilayah, jenis, dan bentuk kekerasan.

Kekerasan fisik masih mendominasi selain non fisik seperti perusakan alat liputan hingga penghapusan materi liputan. Selain itu terpapar juga ancaman pemidanaan dan kriminalisasi melalui delik pencemaran nama baik.

Akhir-akhir ini juga muncul tren ancaman baru seperti kekerasan di ranah digital berupa doxing atau pelacakan informasi profil jurnalis di media yang diikuti intimidasi dan persekusi. Ancaman pembunuhan dan teror lainnya bahkan masih mengintai kerja jurnalis.

Setelah memaparkan hasil pemetaan tersebut, AJI Indonesia dalam Focus Group Discussion (FGD) bersama stakeholder, sepakat menginisiasi Komite Keselamatan Jurnalis. Pertemuan komunitas masyarakat pers yang melibatkan lembaga masyarakat sipil ini dilaksanakan di Jakarta, Rabu (20/3/19) atas dukungan International Media Support (IMS)

Fokus pertemuan adalah mencari mekanisme kolaborasi dalam penyelesaian kasus kekerasan jurnalis di Indonesia. Pertemuan ini juga membicarakan perlu adanya dana taktis atau safety fund untuk penanganan kasus kekerasan jurnalis serta bagaimana pengelolaannya.

Komite Keselamatan Jurnalis beranggotakan Dewan Pers, Safenet, (Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesti International, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia (FSPMI) serta Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

Komite ini bertujuan untuk menuntaskan kasus kekerasan jurnalis, serta mencegah terjadinya kasus kekerasan jurnalis dan pekerja media terulang kembali.

Ketua bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim mengatakan, memasuki tahun politik, kasus kekerasan jurnalis rentan terjadi karena itu komite kekerasan jurnalis ini perlu segera diresmikan.

“Kami sangat senang berbagai lembaga yang memiliki kepedulian terhadap jurnalis sepakat dalam membentuk Komite Keselamatan Jurnalis Ini. Ini langkah awal yang bagus untuk mencegah kekerasan jurnalis pada masa mendatang,” kata Sasmito dalam rilis di laman AJI.

Data Bidang Advokasi AJI Indonesia mencatat, pada 2018 setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2017 lalu, sebanyak 60 kasus.

Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi pada 2016 sebanyak 81 kasus, dan paling rendah 39 kasus pada 2009 lalu.

Tenaga Ahli Dewan Pers, Christiana Chelsea mengatakan, Dewan Pers menyambut baik terbentuknya komite ini.

“Dewan Pers akan mendukung kolaborasi penanganan kasus kekerasan jurnalis ini. Selama ini Dewan pers ada Satgas dan pendanaannya dari non APBN yang berpeluang mendukung kerja kerja komite kekerasan jurnalis ini” kata Chelsea.

*****