pelantar.id – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan narapidana kasus pencurian uang negara (koruptor) ikut menjadi calon anggota legislatif (caleg) sudah bulat. KPU pun siap menghadapi konsekuensi hukum untuk menggolkan keputusan tersebut.
Komisioner KPU, Viryan menegaskan, KPU akan mengirimkan rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum-HAM), pekan ini. Dalam rancangan PKPU itu, larangan mantan napi yang maling uang negara nyaleg tertuang dalam Pasal 7 Ayat 1 Huruf (j).
Peraturan itu berbunyi, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota adalah WNI dan harus memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi.
“Drafnya (aturannya) akan dikirimkan pekan ini,” kata dia di Jakarta, Selasa (29/5).
Viryan mengatakan KPU tetap akan memberlakukan larangan tersebut sebagaimana yang tertuang di dalam rancangan PKPU.
“Ini bertujuan menguatkan demokrasi substansif yang lebih berkualitas,” ujarnya.
Komisioner KPU lainnya, Pramono Ubaid Tanthowi menambahkan, saat ini pihaknya sedang merapikan rancangan PKPU tersebut. Setelah rapi, rancangan itu akan diserahkan ke Kemenkum-HAM, untuk mendapatkan nomor.
Jika sudah mendapat nomor, maka rancangan PKPU itu sudah resmi atau sah menjadi PKPU. Ia optmistis rancangan itu tak akan menemui halangan, meski harus disahkan lewat Kemenkum-HAM.
“Kalau ada yang mau mengajukan uji materi, maka prosesnya setelah aturan itu disahkan. Setelah menjadi PKPU dan berlaku secara sah,” ujarnya.
Mekanisme uji materi dilakukan di Mahkamah Agung, selama 30 hari setelah PKPU pencalonan anggota DPR, anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota disahkan.
“Jika melewati batas waktu itu (30 hari), uji materi tidak bisa diterima,” kata dia.
Jokowi Minta Ditelaah
Langkah KPU melarang mantan maling uang negara maju menjadi caleg, sebelumnya mendapat pertentangan dari sejumlah pihak, mulai dari partai politik, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), DPR, MPR hingga Kementerian Dalam Negeri.
Menanggapi masalah ini, Presiden Joko Widodo mengatakan, mantan napi kasus korupsi tetap punya hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.
“Kalau saya, itu menyankut hak seseorang dalam berpolitik,” kata Jokowi di Jakarta, Selasa (29/5).
Jokowi mengatakan, konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan napi kasus korupsi. Meski membuat aturan itu adalah wilayahnya KPU, namun Jokowi menyarankan agar KPU melakukan telaah lagi.
“Silakan KPU menelaah lagi. KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda mantan koruptor,” ujarnya.
Namun, Jokowi tak merinci secara detail soal pemberian tanda yang dimaksud. Ia pun menyerahkan soal polemik pelarangan eks narapidana korupsi sebagai caleg kepada KPU.
Sebelumnya, Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan menilai larangan eks terpidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai caleg sudah diatur lewat putusan pengadilan. Menurutnya, pelarangan selain lewat putusan pengadilan adalah tindakan kejam.
Ia mengatakan, sudah ada undang-undang yang mengatur eks koruptor diperbolehkan jadi caleg. Menurutnya, jika membuat peraturan baru yang melarang mantan maling uang negara mengikuti pemilu, itu bertentangan dengan undang-undang.
“Kita sudah ada putusan. Sudah dihukum, ya kan hak dia sudah dihormati sama hakim. Masa kita tidak boleh juga. Jadi boleh dan tidaknya sudah ada di palu hakim. Sudahlah, itu yang kita ikuti. Kalau mau, ubah undang-undang. Kalau undang-undangnya boleh, masa PKPU-nya tidak boleh. Kan bertentangan itu,” katanya.
Sementara, dukungan untuk KPU mengegolkan aturan ini juga tak kalah banyak. Salah satunya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua KPK Agus Rahardjo sepakat dengan KPU soal larangan mantan maling uang negara ikut nyaleg. Ia pun mengimbau partai politik tidak mencalonkan para mantan koruptor.
“Ya kita akan imbau parpol untuk tidak mencalonkan mantan narapidana korupsi,” ujar Agus di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (25/5) lalu.
Menurutnya, imbauan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti dengan melakukan pertemuan bersama antara partai politik dan KPU atau melalui surat.
Agus mengatakan, KPK memiliki tugas mengontrol kebijakan pemerintah. Bila terjadi kebijakan yang tidak sesuai, KPK dapat memberikan saran untuk perbaikan.
“Jadi kalau ada kebijakan yang berjalan kurang baik, kurang sempurna, kurang lancar, ya kita bisa memberikan saran untuk perbaikannya, penyempurnaannya, dan kelancarannya,” kata dia.
Yuri B Trisna