“Kitsch atau verkitschen berarti memungut sampah di jalanan secara harfiah. Estetika ini mencairkan batas antara seni itu sendiri, hingga nilai sakral dan eksklusifitasnya menjadi hilang.”
Pelantar.id – Adakalanya kita harus menertawakannya, adakalanya juga kita harus merenungkannya.
Sebagai seorang yang telah lama menetap di Batam, malam itu ketika kongkow bersama teman di sebuah warung penyetan mendadak temanku menyebut nama Kufaku.
Sontak aku terkenang ketika pertama kali berkenalan dengan sahabat literasi di grup online. Hamid Fadaq namanya, mahasiswa asal Malang. Ketika aku sampaikan tinggal di Batam Hamid langsung berkelakar “Pernah ketemu band Kufaku gak?”
Aku hanya membalas dengan mengirim emoticon ketawa lalu obrolan kami pun menjadi hangat di tengah hiruk-piruk miring tentang kiprah Kufaku yang telah menyaingi Jembatan Barelang, Black Market atau Putra Siregar di kancah nasional.
Rekognisi buruk seketika saat itu mengalir dan bahkan di lingkup pertemananku di Batam hingga saat ini. Kufaku bagi mereka–merunut pada estetika kitsch dalam konsep Postmodern–tak ubahnya sampah seni yang bertaburan mencari sensasinya.
Kitsch atau verkitschen berarti ‘memungut sampah di jalanan’ secara harfiah. Estetika ini mencairkan batas antara seni itu sendiri hingga nilai sakral dan esksklusifitasnya menjadi hilang.
Seorang teorikus Theodore W. Adorno melalui diskursusnya menyebutkan kitsch tak ubahnya sebuah kesadaran palsu, atau dalam kamus Marxisme disebut dengan kesadaran yang lahir karena pengaruh struktural kapitalistik. Pelakunya atau masyarakat tak mampu lagi mengenal secara gamblang batas antara dibutuhkan dan diinginkan.
Adorno juga mengatakan kitsch merupakan bagian dari fenomena culture industrial. Maksudnya fungsi seni ditempatkan dan dibuat berdasarkan kebutuhan pasar.
Hanya saja, yang patut dipertanyakan tentang keberadaan Kufaku “Apakah mereka dibutuhkan pasar? Atau sedang menciptakan pasarnya sendiri seperti kehadiran Kangen Band mengenalkan pop melayu yang glorious itu.
Di tangan Kufaku musik menjadi bentuk yang absurd selaras dengan idiomatik kitsch. Namun ia memiliki fungsi yang menghibur bagi manusia meski berakhir dengan caci maki sejuta umat di kolom komentar YouTube mereka.
Keberadaan Kufaku seolah-olah memberi kita alternatif komedi dalam balutan musik dan bahkan Gofar Hilman akan dengan hati membahas mereka di program #NGOBAM jika ada kesempatan, atau video musik mereka yang sering diputar dalam program The Comment hanya untuk ditertawakan.
Aku pikir sebelum kemunculannya, Kufaku–ini pikiranku saja–mencoba menerapkan analogi Rotor dan Rancid, sayangnya dua band ini malah berhasil memiliki pasarnya masing-masing.
Sementara Kufaku di tengah perjuangan mereka yang ingin mengenalkan pop Batam yang ada apanya itu di kancah Nasional, mereka harus rela berjibaku melawan perundungan netijen di media sosial.
Dan malam itu, aku kembali mengenang Kufaku berkat ucapan seorang kawan yang mendadak menyebut nama mereka.
Walau Kufaku tak menjadi terkenal seperti Prontaxan yang berani mengoplos Indie dan Funkot di lantai dansa. Setidaknya Kufaku telah sukses memperkenalkan Batam dalam balutan komedi dan caci maki netijen yang budiman.
Gak percaya? Gampang kok. Sila baca cuplikan komen di bawah ini.
*****
Credit foto: Risundani via Pinterest