Pelantar.id – Beberapa hari yang lalu saya mendengar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Barelang, Batam membuat Kantin Celengan.
Saya pun tertarik untuk mengentahuinya, dan menghubungi Pak Surianto selaku Kalapas di sana, lalu kami pun berbincang panjang mengenai “Kantin Celengan” itu, apa tujuan dia menciptakan kantin tersebut di dalam lingkup lapas?
Sembari tersenyum Ia katakan, “Jika diminta artikan sendiri, bisa jadi kamu akan mengatakan ini semua pasti demi melatih kejujuran para tahanan penghuni Lapas kan?” tanyanya.
Sejenak berpikir, saya jawab “Bisa jadi” sembari tertawa.
Kalapas pun menjelaskan, “ini semua lebih saya fokuskan dalam mencari keberartian hidup. Kalau jujur, saya pikir semua orang punya kejujuran, bahkan sekelas koruptor yang diamankan KPK, dia akhirnya juga akan jujur kalau dia korupkan?”
Sejanak kami pun tertawa. “Hanya saja” lanjutnya, “di sini saya lebih menginginkan mereka mencari kebermaknaan hidup.
Lihat saja kemarin saat mereka belanja di kantin celangan, apa pun yg mereka ambil, lalu mereka masukkan uang dalam celengan seihklas yang mereka mau, selepas itu ada pancaran bahagia di diri mereka terlepas berapapun uang yang mereka masukkan.
Hanya saja senyum dan perasaan bahagian merupakan suatu “kebermaknaan” atau “keberartian” hidup menurut saya,” jelas Surianto.
Mendengar penjelasannya tentang “keberartian”, pikiran saya pun melayang sedari masa lampau manusia tak akan pernah berhenti mencari dan memaknai “keberartian” hidup.
Dalam konsep filsafat barat, Rene Descartes turut mengambil peranan penting akan konsep keberartian ini melalui frasa “Cogito Ergo Sum”, aku berpikir maka aku ada.
Berpikir dapat dimaknai sebagai konsep pencarian makna hidup atau mencari keberartian hidup.
Sehingga gaung Descartes seperti mewakili babak baru di dalam peradaban berpikir manusia.
Hingga kini, pencarian keberartian tetap akan meninggalkan jejak-jejaknya di sepanjang jalan peradaban manusia, baik sebelum masehi hingga sekarang.
Dewasa ini, jalan panjang memaknai keberartian terus ber-evolusi atau berkembang. Berawal dari dari Mens sana in corpore sano (Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat), yakni keberartian diletakkan dalam ranah tubuh manusia.
Apakah pencarian ini terhenti? Tentu tidak! Pencarian terus bergerak menuju konsep Intelligence Quotient (IQ) yang memaknai keberartian manusia di ranah pemikiran.
Ini pun terus bergulir, hingga muncul konsep Emosional Quotient (EQ) meletakkan keberartian dalam ranah emosi, lanjut Adversity Quotient (AQ) keberartian pada perhatian kita dalam mengelola kehendak.
Terakhir yaitu Spiritual Quotient (SQ) yang mendasarkan keberartian manusia pada aspek spiritual.
Lalu, apakah kita akan terus berhenti mencari “keberartian” hidup di tahap yang telah ada?
Satu hal, memaknai kebeartian hidup dari sisi roman muka yang bahagia juga bukan suatu hal yang salahkan?
NB: Nukilan ini ditulis ketika saya berkunjunt ke kantin Celengan di Lapas Kelas IIA Barelang. Berawal dari modal awal belanja 2,5 juta sekarang mereka telah bisa belanja dengan modal 10juta. Tentu dong, karena grafiknya terus meningkat (berarti hampir semua tahanan yang belanja jujur, bisa jadikan?)
Oleh: Hendra