Pelantar.id – Tanggal 29 Safar 1440 Hijriyah merupakan hari penting bagi masyarakat islam di Indonesia. Di mana pada hari tersebut diperingati dengan ritual yang dikenal dengan istilah Mandi Safar.

Bagi masyarakat di Kampung Terih, Kelurahan Sambau, Kecamatan, Nongsa, Batam, Mandir Safar sendiri merupakan ritual budaya yang bertujuan untuk membentengi diri dari 360 ribu bala atau musibah yang diturunkan Allah pada hari tersebut. Dengan menjalani ritual ini, diyakini masyarakat akan terhindar dari ancaman bencana yang diturunkan.

“Boleh percaya, boleh juga tidak, ini ritual budaya orangtua kami sejak dulu,” kata Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Nongsa, Mazlan Madiun, ketika ditemui di sela kegiatan Mandi Safar pada Rabu (7/11).

Mazlan menjelaskan, pada hakikatnya Mandi Safar adalah memohon perlindungan kepada sang pencipta. Melalui rangkaian do’a bersama seusai menjalani prosesi mandi tersebut, berharap bala yang diturunkan Tuhan tidak menimpa masyarakat.

Pada prosesnya, Mandi Safar ini memakai tepung beras, kayu ulin, dan daun jeruk. Tepung beras yang telah dicampur dengan kayu ulin dan daun jeruk, kemudian diusap ke wajah sebelum turun ke laut.

Seno bin Asnan, warga Kampung Terih yang juga dituakan di masyarakat Terih mengatakan, untuk sampai pada prosesi mandi tersebut, harus melalui izin dari orangtua yang benar-benar paham dengan kampungnya. Nantinya di lokasi yang telah ditentukan itulah masyarakat akan turun ke laut untuk mandi.

“Daerah ini juga ada yang mendiami selain kami (manusia), alam ini ada penghuninya, sehingga harus diberitahu dulu,” katanya.

Setelah itu, masyarakat juga diarahkan untuk menyelam ke arah laut sebanyak tiga kali, lalu menyelam lagi ke arah daratan sebanyak tiga kali untuk mengakhiri proses mandi tolak bala ini. Mandi safar pun kemudian diakhiri dengan acara berdo’a bersama.

Bagi masyarakat Kampung Terih, Mandi Safar adalah agenda rutin. Selain sebagai upaya memohon perlindungan, rangkaian acara mandi ini telah menjadi budaya turun temurun.

===========

reporter: Faturrohim
editor: eliza gusmeri