Pelantar.id – Mendadak lapangan hijau Stadion Karaiskakis diselubungi awan gelap. Selang berlanjut, partai Liga Champion antara Olympiakos melawan Manchester City pun dimulai dengan mengheningkan cipta. Dunia sepakbola berduka. Kabar sang legenda meninggal dunia menggema. Au revoir, Diego! Terima kasih atas segalanya.
Diego Armando Maradona Franco, begitulah ia diberi nama. Di sepanjang jalan hidupnya ia telah dinubuatkan menjadi nabi, menjadi fantasi, menjadi mimpi dan menjadi patron bagi anak muda yang ingin mengubah hidup melalui sepakbola.
Di dalam imajinasi kolektif penggemarnya, Maradona adalah gambaran masa lalu yang berlari dari gelap menuju terang kehidupan. Ragam laku dan liku kehidupan telah ia lalui. Bermain bola dari jalanan hingga berdansa ria di stadion-stadion besar.
Ia adalah bocah kecil yang berlari sembari menggiring bola dan bermimpi agar bisa keluar dari jerat kemiskinan dari gang-gang kumuh pinggir kota Buenos Aires. Seiring waktu berjalan, ia menjelma raksasa dari Argentina dan dengan tubuh boncelnya menjadi messiah kota Naples, Italia. Kota selatan yang buruk rupa di Negeri Piza itu, punya tim yang saban kali bertanding menciptakan raut wajah lesu.
Peluh pemain yang bercucuran, teriak supporter yang lantang selalu bersanding dengan kekalahan. Ketika Maradona datang, seketika itu juga mereka paham rasanya menjadi pemenang.
Dua scudetto, satu gelar Piala Eropa, serta masing-masing trofi coppa Italia dan supercoppa mungkin bukan pencapaian yang mentereng bagi mereka yang berasal dari Milan atau Turin. Namun bagi anak-anak Naples, ini adalah hikayat yang membuat mereka berani menegakkan kepala sembari berkata bahwa kami punya kisah dari selatan Italia yang melegenda.
Tangan Tuhan
Bagi sebagian orang, mungkin Maradona lebih dikenang dalam sebuah fragmen bertajuk “Tangan Tuhan”. Fragmen nyata itu terhampar ketika timnas Argentina melawan timnas Inggris di Piala Dunia 1986. Di sana Maradona dicaci, namun juga disanjung menjadi sosok yang suci.
Goal yang ia buat dengan tangan kiri itu membuat orang Inggris mencap dia bajingan, namun selang 4 menit selepas itu, caci-maki berganti dengan sanjungan. Maradona menjadi peselancar, meliuk-liuk melewati ombak besar pertahanan Inggris. Saat itulah orang-orang tak perlu lagi berdebat tentang siapa yang paling hebat.
Di luar itu kehidupan sepakbola, ragam kontroversi turut menyoroti kehidupan Maradona. Dari pecandu narkotika hingga kecaman akibat aliansi politik ke kaum revolusi sosial Amerika Latin dan juga kedekatannya dengan pemimpin besar revolusi Kuba.
Benar apa yang dikatakan Fidel Castro saat mereka berjumpa, “Sebuah ideologi tidak bisa dinegosiasikan,”. Saat itu tahun 1987, satu tahun berselang setelah ia memenangkan Piala Dunia terakhirnya, Meksiko 1986. Dengan senang hati Maradona berkunjung ke Kuba untuk pertama kalinya.
Di sana ia bertemu Fidel, pejuang revolusi yang berteman dekat dengan Ernesto “Che” Guevara, dokter revolusioner yang juga rekan senegara yang sangat ia kagumi.
Akhir dari pertemuan tersebut adalah romantisme politik seorang seniman lapangan hijau dengan pimpinan tertinggi revolusi yang dianggapnya sebagai ayah kedua. Ya, bagi Maradona, Fidel adalah figur seorang ayah, yang tak akan membiarkan anaknya mendekam dalam kerdurjanaan.
“Dia seperti seorang ayah bagiku… Dia membukakan pintu ke Kuba untukku, ketika Argentina menutup pintu mereka padaku,” terang Maradona saat melepas kepergian Fidel. Bahkan sebelum meninggal, Fidel langsung turun tangan untuk menyelamatkan anaknya ini dari kecanduan kokain. Fidel menjadi sosok ayah yang menemani anaknya tahun demi tahun melewati proses rehabilitasi di klinik La Pedrera, milik pemerintah Kuba.
Begitulah dua tokoh ini menjalin hubungan. Sebagai bukti kekaguman Maradona akan Fidel dan Che, sedari jauh hari ia telah menato mereka di tubuhnya. Che terpatri menjadi lengan untuk ia meraih kehidupan. Fidel menjadi kaki untuk ia terus melangkah ke depan. Wajah mereka berdua selalu ada di lengan dan betis Maradona, hingga serangan jantung datang berkunjung bersama kematian.
Sepanjang kehidupannya dan selepas pertemuan pertama dengan Fidel, selama bertahun-tahun Maradona terus mendukung perjuangan masyarakat Amerika Latin. Mendukung mereka yang ingin menentang imperialisme demi menciptakan masyarakat yang adil. Tak bisa dimungkuri, ini adalah sisi lain sang seniman di luar lapangan sepakbola. Ini juga mungkin yang membuat dia memilih kota Naples, kota yang yang awalnya penuh dengan orang-orang pinggiran yang selalu kalah.
Perihal romantisme politiknya ini, di dalam negerinya Maradona turut bersekutu dengan para pemimpin yang mendukung gerakan Peronisme Argentina. Gerakan yang mendukung kesetaraan kelas sosial dari dalam negeri ini telah lama mendarah daging di dalam keluarganya. Bahkan Maradona secara terang-terangan menyebut dirinya sebagai “cabecita negra”. Istilah yang sering digunakan Eva Peron terhadap masyarakat campuran Argentina-Italia yang paham akan jati diri asli mereka.
Sedari kecil, Maradona juga menyadari bahwa orang tuanya adalah kaum Peronis yang taat dan memiliki foto Evita serta Juan Peron di dinding rumah mereka. Hampir serupa dengan masyarakat miskin pinggiran lainnya, Evita bagi keluarga Maradona adalah simbol perjuangan. Sosok perempuan papa yang berhasil menjadi simbol penopang kejayaan pemerintahan Juan Peron.
Melanjutkan apa yang ia percayai, Maradona pun turut mengikuti jejak langkah Che Guevara. Sosok pendahulunya yang lebih awal melalang-buana memperluas jaringan solidaritas sosial hingga ke beberapa negara.
Dalam perjalanannya, Maradona terpesona dengan revolusi Bolivarian-Venezuela. Ia mulai mengunjungi negara itu beberapa kali. Di sana ia bertemu dengan Evo Morales, Lula da Silva dan Hugo Chavez. Meskipun hubungannya baiknya tidak terdokumentasi secara apik seperti ia dengan Fidel, namun secara terang-terangan Maradona menyatakan kekagumannya dengan pemimpin Venezuela tersebut.
Tatkala Chavez meninggal dunia, bersama Nicolas Maduro ia berkunjung ke makam sang komandan dan mengucapkan pidato perpisahan yang menyentuh. “Yang ditinggalkan Hugo untukku adalah persahabatan yang hebat, kebijaksanaan politik yang luar biasa. Hugo Chavez mengubah cara berpikir Amerika Latin. Kami (Argentina) membungkuk ke Amerika Serikat dan dia menunjukkan kepada kami bahwa kami bisa berjalan sendiri,” ujarnya saat itu.
Selepas kematian Chavez, ia tetap mempertahankan dukungannya terhadap revolusi Bolivarian. Dengan takzim, ia mendukung Meduro untuk menjadi penerus Chavez. Saat itu ia juga terus menemani Meduro dalam masa-masa sulit. Ia menjalin persahabatan tanpa syarat dan membantunya dengan sepenuh hati. Simbol sosial yang begitu kuat itu adalah bentuk kebesaran hati seniman lapangan hijau ini, yang papa sedari lahir, yang berjuang agar terus bisa menjaga kepalanya tegak di atas kotoran dan rona kumuh masa kecil.
“Jangan menyerah. Dalam sepak bola tidak masalah jika Anda kalah tiga kali, jangan pernah menyerah. Anda tidak pernah menyerah dan Anda memberikan segalanya untuk Venezuela. Hidup Maduro! ” ucapnya kepada Meduro, dan mengatakan bahwa ia adalah tentara Nicolas, ia datang ke Venezuela untuk memberinya dukungan. Maradona terus mengunjungi Maduro beberapa kali. Mendukungnya dalam pagelaran kampanye tanpa negosiasi politik di antara mereka.
Sepanjang hidupnya, Maradona telah menempuh jalan yang berliku dan panjang. Ia memahami konsekuensi akan pilihannya tersebut. Sikap politiknya yang kuat dalam mendukung pemerintahan sosialis di Amerika Latin membuat ia dikecam golongan kanan di sepanjang sungai kehidupan.
Hingga waktu datang menjemput takdir yang ditorehkan Tuhan ketika seorang anak manusia lahir, di tanggal 25 November 2020 si Tangan Tuhan resmi berpulang keharibaan semesta. Di umurnya yang ke-60 tahun, tato Che Guevara dan Fidel Castro masih lekang bersama romantisme politik yang terus ia jaga. Tuhan memanggilnya, tentu bersama tangan dan kakinya.
“Atas nama semua orang Argentina yang mencintai Fidel dan Che, saya meminta maaf karena kami memiliki presiden yang sama sekali tidak tahu apa-apa… Saya seorang tentara Kuba, saya tersedia untuk apa pun yang dibutuhkan Kuba alih-alih menjadi tentara Macri yang tidak akan pernah saya lakukan. Saya akan memberikan seluruh tubuh saya untuk bendera ini, ”katanya, menggemakan Che dan kini ia pun telah tiada. Namun di Napples ia akan terus menjadi dewa.
Selamat jalan,
Gracias por todo Diego…
Penulis: Hendra Mahyudi