Oleh:

Rahmadani Sabrian, S.S, M.Hum

 

Sepertinya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui istilah linguistik. Benarkah itu? Ya, pendapat itu benar.

 

Pelantar.id – Setidaknya itu yang saya alami ketika saya mengambil jurusan linguistik untuk program pascasarjana. Ketika saya mengobrol dengan keluarga, teman, atau orang yang baru dikenal dan topik pembahasan sampai pada “Jurusan apa yang kamu ambil?” lalu saya menjawab linguistik, beberapa dari mereka mengernyitkan dahi. Linguistik? Apa itu?

Linguistik adalah sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Ibarat pisau bedah, linguistik adalah pisau yang bertugas untuk membedah benda bernama bahasa.

Di dalam ilmu linguistik, kita tidak hanya fokus pada satu bahasa tertentu saja, melainkan kita diharapkan mampu untuk memahami fenomena di dalam bahasa apapun yang kita kuasai asalkan itu adalah bahasa manusia. Maka jangan heran jika di dalam kelas linguistik kita akan berjumpa dengan teman yang memiliki latar ilmu kebahasaan yang berbeda-beda.

Ada linguistik, maka ada pula linguis. Linguis adalah si pemegang pisau bedah, atau orang yang ahli dalam bahasa.

Ahli di dalam konteks ini bukanlah orang yang mampu dalam menggunakan bahasa, akan tetapi orang yang paham terhadap bahasa. Misalkan, anda bisa menggunakan satu sampai empat jenis bahasa, akan tetapi anda belum tentu seorang linguis.

Lalu ada yang hanya bisa menggunakan satu bahasa saja, tetapi ia mampu memaparkan sebuah fenomena bahasa secara keilmuan maka ia adalah linguis. Lebih tepatnya, linguis adalah orang yang memahami bahasa dan mampu memaparkan fenomena kebahasaan secara keilmuan.

Kemudian muncul pula pertanyaan, “Jika linguistik membahas bahasa, maka untuk apa dipelajari? Toh tanpa belajar pun kita sudah bisa menggunakan bahasa terutama bahasa ibu kita.”

Pertanyaan tersebut terlontarkan akibat dari begitu dekatnya bahasa dengan kehidupan kita sehari-hari. Saking dekatnya sehingga kita tidak bisa melihat bahwa kemajuan seorang manusia ditentukan oleh bahasanya.

Berbahasa tidak lepas dari proses berpikir, karena apa yang kita ucapkan berasal dari apa yang kita pikirkan. Saya mengutip kalimat dosen saya, ia berkata bahwa “gagal berbahasa berarti gagal dalam berpikir, gagal dalam berpikir berarti gagal dalam mendidik diri untuk menjadi manusia”. (Sastra, 2011:2).

Melalui bahasa, manusia mampu untuk mengerti dan memahami dirinya. Melalui bahasa pula, derajat kehidupan manusia di dalam masyarakat bisa ditentukan karena dengan bahasalah seseorang dapat membangun ikatan kehidupan bermasyarakat.

Jika ingin dicontohkan, hubungan antara bahasa dengan pikiran sudah dikenali dan diterapkan oleh masyarakat Minangkabau sejak zaman dahulu kala.

Hal ini tertera dalam petatah petitih tentang salah satu sifat yang harus dimiliki oleh Pangulu yaitu orang tertinggi yang memimpin sebuah kaum. Sifat itu ialah Tabligh (menyampaikan).

Bakato sapatah dipikiri
Bajalan salangkah madok suruik
Barundiang siang caliak-caliak
Mangecek malam agak-agak

Bapikia sabalun bakato
Pikia nan palito hati
Nanang nan baribu akal
Aniang itu ulu bicaro
Sadang tananang bana datang
Paham tibo aka baranti
Kato lah putuih sandirinyo

(Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, 2018).

Tabligh mengacu kepada kemampuan pemimpin dalam berkomunikasi. Kemampuan ini bukan berarti si pemimpin adalah orang yang suka berbicara, akan tetapi ia adalah orang yang mampu mengkomunikasikan sesuatu secara efektif sesuai dengan konteksnya.

Komunikasi yang efektif berarti mampu menyampaikan informasi secara tepat sehingga bisa diterima dan dipahami oleh pendengar dengan baik. Sesuai dengan konteks berarti pandai melihat kondisi dan situasi kepada siapa dan kapan bahasa tersebut digunakan sehingga si pendengar mau menerima dan tidak merasa ada masalah.

Jika seorang pengulu berbicara tanpa melalui proses berpikir, maka hancurlah nasib kaum tersebut. Hal ini menunjukkan betapa berbahasa bukanlah suatu hal yang sepele. Ia mampu menjadi pondasi penting dalam kriteria menjadi seorang pemimpin.

Berdasarkan penjelasan serta contoh di atas, sekiranya kita mampu mengetahui tentang arti serta tujuan dari ilmu linguistik.