Perkembangan teknologi fotografi menyertai berbagai macam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia. Suka, duka, perang bahkan kematian. Tidak terlepas dari sejarah budaya dan politik pada saat kamera ditemukan, fotografi juga memberikan ruang untuk manusia mengenang mereka yang meninggal, seperti Memento Mori Photography
Tahun 1822 silam, Louis Jacques Monde Da Guerre mengeksplorasi seni diorama, sebuah teknik melukis dan memadukannya dengan tata cahaya, dan memamerkannya di Perancis dan Skotlandia untuk pertama kalinya. Pada waktu yang hampir bersamaan, Joseph Nichepore Niepce sedang mengerjakan sebuah alat untuk menghasilkan gambar.
Empat tahun berselang, Niepce berhasil menyelesaikan purwarupa alat pembuat gambar itu, dan bertemu dengan Da Guerre setahun kemudian. Mereka berinteraksi dan mulai bekerjasama mewujudkan alat itu. Tahun 1829, purwarupa alat itu mulai terlihat dan dapat menyempurnakan kualitas hasil gambar pertama yang tercetak pada 1826.
Sayangnya, Niepce keburu meninggal pada tahun 1833, sebelum purwarupa alat yang kemudian kita kenal sebagai kamera itu sempurna. Untungnya alat yang saat itu diberi nama Daguerreotype sudah dapat berfungsi, menghasilkan gambar dengan lebih praktis. Jangan membayangkan kualitas gambar dan kemampuan jepretan rana yang semumpuni kamera moderen, tapi temuan itu adalah sebuah langkah besar teknologi fotografi.
Daguerrotype membentuk gambar dari amalgam atau campuran perak dan merkuri. Uap merkuri yang dihasilkan dari kolam air raksa yang telah dipanaskan digunakan untuk mengembangkan pelat tembaga dengan lapisan perak tipis yang kemudian digulung di dalam kontak. Gambar yang dihasilkan alat itu sangat rapuh dan mudah terhapus, kendati hanya terkena paparan udara maupun sentuhan jari. Karenannya, gambar harus langsung dimasukkan ke dalam bingkai kaca, sebelum direproduksi dengat teknik yang dikenal dengan Redaguerreotype.
Da Guerre harus memeras ulang pengetahuan dan pikirannya untuk mengembangkan teknik yang baru saja dihasilkan tersebut. Selanjutnya, seniman dan ahli kimia kelahiran 18 November 1787 itu terus bereksperimen dengan berbagai material seperti pelat tembaga dan perak.
Ratu Victoria dan Memento Mori Photography
Sekira lima ratus kilometer lebih dari Paris, tepatnya di London, Inggris, sedang menapaki jalan menuju satu periode yang oleh berbagai kalangan disebut sebagai puncak kejayaan Inggris, atau era Victorian. Dalam sejarah panjang Britania Raya, era Victorian dimulai sejak Ratu Victoria dimahkotai pada 20 Juni 1837 hingga kematian penguasa Britania, Irlandia dan Maharani India itu meninggal pada 22 Januari 1901.
Ratu Victoria memerintah Britania Raya selama 63 tahun 216 hari, atau paling lama dari penguasa Inggris lainnya. Pada masa Victorian, seni rupa mengalami kemajuan pesat, pun demikian dengan fotografi. Deretan karya fotografi yang saat itu masih relatif baru itu menjadi alat yang mencetak renik sejarah kemakmuran, kepercayaan diri dan perdamaian panjang bagsa Inggris Raya. Era Victorian bersamaan dengan era Belle Epoque di Eropa dan Gilded Age di Amerika.
Kebudayaan di Inggris Raya mengalami transisi dari rasionalisme yang tidak pemahaman berdasar inderawi dan menetang empirisme menuju romantisisme yang merupakan gerakan seni, utamanya sastra dari Eropa. Romantisisme terjadi bersamaan dengan gaduh revolusi industri, yang membenturkan semangat budaya baru dengan nilai-nilai aristrokrasi lama.
Romantisisme merevisi cara pandang abad pencerahan terhadap berbagai tata nilai. Gerakan itu menelurkan rumusan pemahaman baru tentang berbagai rasa seperti takut, ngeri, marah dan lainnya, sebagai sumber dari pengalaman estetika. Karya seni pada era Victorian yang terpapar gerakan romantisisme itu sedikit banyak dapat dilihat dari post mortem photography.
Post mortem photography, atau memotret mayat merupakan buih dari olah rasa, untuk mengabadikan emosi dan rasa terhadap mereka yang meninggal ke dalam medium fotografi. Pada tahun 1850, teknik fotografi semakin populer, seiring semakin terjangkaunya kamera. Keluarga pada masa itu mengabadikan kenangan mereka terhadap anggota keluarga yang meninggal dengan karya foto romantis, meskipun kadang seram.
Bertahun-tahun mengabadikan anggota keluarga yang meninggal, dengan pengaturan dan set latar serta pencahayaan tertentu menjadi tren. Bahkan post mortem photography memiliki namanya sendiri – memento mori photography. Kata memento mori berasal dari bahasa Latin, yang berarti ingatlah kematianmu. Frasa itu pertama kali dikenalkan dalam sebuah kalimat nasehat dari Frater Trappa. Namun banyak literatur yang menerjemahkan memento mori secara bebas menjadi, ingatlah engkau pasti mati.
Segera setelah orang dinyatakan meninggal secara medis, keluarga akan mengundang tukang foto untuk mengabadikan jenazah. Biasanya mereka diatur dalam pose sedemikian rupa, dan diletakkan di dekat jendela agar mendapat cahaya terobosan, yang oleh sejumlah pengamat sejarah fotografi disebut sebagai cahaya surgawi.
Tukang foto harus segera melakukan pemotretan dalam 24 jam, sebelum jenazah mulai membusuk. Biasanya jenazah akan diposisikan seperti sedang tidur, duduk atau berpose dengan benda dan anggota keluarga lain. Pupil mata yang tertutup saat dipotret nantinya akan dilukis dengan tinta setelah foto tercetak, untuk mengesankan masih hidup.
Memento mori kebanyakan diaplikasikan untuk anak-anak dan bayi saat itu. Mereka bahkan dipotret bersama mainan kesukaannya dan diatur sedemikian rupa agar terkesan bocah itu sedang bermain. Para orangtua pada masa itu ingin menyimpan medium untuk mengingat anak mereka semasa hidup dengan foto yang dihasilkan.
Beberapa keluarga juga menemani si anak bermain dalam foto itu, atau seluruh keluarga ikut berpose bersama, sebagai foto keluarga terakhir mereka. Pada masa itu, foto menyeramkan itu dipandang mewakili kebahagiaan yang pernah mereka miliki.
Tren memento mori itu juga merambah ke kerajaan. Saat suami ratu yang berdarah Jerman itu, Raja Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha meninggal, jenazahnya juga dipotret dan fotonya kemudian dipajang di kamar tidur. Bahkan Ratu Victoria juga dipotret bersama foto suaminya yang terpajang di latar saat mangkat.
Menjalar Hingga Amerika
Kamera Da Guerre menyeberang hingga ke Benua Amerika, pada masa-masa awal dikembangkan. Negeri para petualang itu sekejap kemudian juga telah mengadopsi tren memento mori, meskipun dengan nama yang lain. Orang Amerika saat itu mengenal seni foto jenazah itu sebagai memorial portraiture, dan beberapa catatan menyebutnya sebagai mourning portrait atau foto ratapan.
Sejumlah pengamat menyebut, pada masa itu orang cenderung lebih suka memotret jenazah karena mereka akan terlihat lebih fokus. Pasalnya, kamera pada masa itu memerlukan kecepatan rana yang lama untuk merekam sebuah objek. Itulah sebabnya, Mary Warner Marien, seorang penulis sejarah dan budaya fotografi menyebut memento mori menjadi tren saat itu adalah pilihan, karena keluarga mempertimbangkan sebuah kenangan dari jenazah, daripada tidak ada sama sekali.
Temuan teknik penggandaan Carte de Visite (CdV) oleh Andre Adolphe Eugene Disderi pada tahun 1853 memupuk tren fotografi memento mori. Dengan temuan tersebut, foto orang terkasih dapat dicetak pada kertas tipis dan berukuran kecil, sehingga dapat dikirimkan kepada kerabat yang tinggal di luar wilayah.
Untuk memberikan kesan hidup, tukang foto kadang juga melibatkan tintype, atau melanotype, atau ferrotype, sebuah gambar yang dilukis langsung pada plat untuk mendukung latar dari foto mayat yang dipotret.
Selain Amerika, tradisi memotret mayat yang kini kerap dilakukan untuk kepentingan penyidikan atau kepentingan dokumentasi kepolisian itu juga merambah hingga ke Islandia.
Meskipun tidak berbarengan era dengan yang terjadi di Eropa dan Amerika, mengenang anggota keluarga yang meninggal kini juga dikenal di Indonesia. Obituari seseorang biasanya menggunakan foto semasa hidup untuk dipajang bersama ucapan dan doa di media massa. Namun beberapa kalangan kerap mengabadikan jenazah anggota keluarga pada saat saat terakhir, sebelum diperabukan atau dimakamnkan.
Joko Sulistyo
Dari berbagai sumber