Sampah memori, gambar tak disengaja, jepretan iseng, bonus motret dan berbagai sebutan lain untuk foto di luar tema yang dihasilkan oleh seseorang dalam sebuah penugasan jurnalistik maupun kehumasan. Foto-foto tersebut mungkin hanyalah buah keisengan untuk membunuh penat, namun kerap kali, foto-foto itu menjadi ikonik dan memperkaya catatan sejarah. Dunia fotografi mengenal ribuan nama penyaksi sejarah bernama fotografer yang membidik figur di luar predikatnya.
Joko Widodo, untuk sebagian kalangan adalah pemenang kontes pemilihan presiden, dan petugas partai bagi sebagian kalangan lainnya. Identitas Jokowi, demikian bapak tiga anak itu karib disebut, tidaklah utuh. Selain sebagai orang nomor satu, pengusaha mebel asal Solo, Jawa Tengah itu juga merupakan pribadi yang spontan dan penuh kebiasaan mengejutkan.
Spontanitas Jokowi kerap tidak luput dari kamera. Bukan hanya karena orang nomor satu itu adalah media darling, atau bahkan gejala narsisistik kronis, namun sebagai manusia biasa, presiden tetap butuh sedikit mengendurkan urat syarafnya. Saat berada di sebuah tempat untuk suatu agenda, para pewarta foto tentu akan sigap mengabadikan, saat the news maker sedang berada di luar perannya sebagai pejabat publik.

melepas burung, bidikan fotografer istana – Agus Suparto.
Orisinalitas tindakan, ekspresi spontan dan interaksi Jokowi di luar adatnya tentu saja akan selalu menarik para pewarta untuk sekedar memencet rana kameranya. Mengabadikan momen tak biasa itu menjadi gambar-gambar ikonik, yang mungkin saja akan menjadi objek pembelajaran generasi mendatang.
Di Kepulauan Riau, kita punya Nurdin Basirun. Nahkoda pemerintahan asal Karimun itu mungkin adalah sosok birokrat yang memberikan kesan berlainan pula. Tidak ubahnya seperti orang kebanyakan, Jokowi maupun Nurdin memiliki titik jenuh, dengan bermacam protokoler yang dijalani setiap harinya.
Dari Amerika, kita mengenal nama Pete Souza, yang menempel sejumlah orang nomor satu di negeri Paman Sam itu. Karya Souza dapat dinikmati publik melalui sejumlah media yang mendapatkan rilis dari Gedung Putih.
Untuk Indonesia, sebut saja nama nama Agus Suparto yang kerap menyuguhkan karya unik keseharian presiden Jokowi di luar protokoler yang serba resmi.

Obama dan Spiderman, karya Pete Souza
Jika ditarik jauh ke belakang, profesi fotografer pejabat memiliki sejarah panjang di Indonesia. Sejarah tukang foto pribumi dimulai oleh Kasiyan Chepas (dikenal juga oleh publik Belanda sebagai Cassian Chepas) pada era Kesultanan Mataram Islam, Jogjakarta. Lahir pada 15 Januari 1845 di Jogjakarta dan meninggal pada usia 67 tahun, 16 November 1912 silam.
Sultan HB VI rupanya telah menyadari akan pentingnya dokumentasi dan catatan untuk generasi berikutnya.
Chepas adalah orang biasa yang merangkak naik ke kelas bangsawan dengan profesinya. Dia bahkan memegang medali Order of Orange-Nassau, sebuah penghargaan kebangsawanan dari Kerajaan Belanda. Sebelum diangkat sebagai fotografer resmi kesultanan, Chepas mendapatkan pelatihan khusus di Belanda, dengan rekomendasi langsung dari Sultan Hamengku Buwono VI.
Kesadaran Sultan HB VI terbukti benar. Ratusan tahun kemudian, bidikan Chepas merupakan rujukan penting bagi peneliti dan peminat sejarah. Pekerjaan Chepas adalah catatan tak terpisahkan dari perjalanan budaya Jawa pada khususnya. Keterlibatannya dalam sejumlah pendokumentasian budaya, arkeologi dan kemampuan etnografi Chepas merupakan sumur yang tak pernah kering, bagian dari pewarisan tata nilai, dan kearifan masa lalu untuk era kini.
Pada masa prakemerdekaan, ada nama Mendur bersaudara yang meneruskan kerja mencatat sejarah dengan kamera. Frans dan Alex Mendur berjuang mati-matian menyembunyikan berbagai bidikan historis, terutama terkait perjuangan mendirikan Negara Republik Indonesia. Jika anda melihat foto momentum proklamasi dibacakan, itu adalah kegigihan Mendur melindungi negatif film dari ancaman perampasan oleh Jepang kala itu.

Kasiyan Chepas difoto pada 1905. foto/wikipedia

Tari Serimpi, karya Kasiyan Chepas, koleksi Tropenmuseum.
Terpisah oleh jurang kemajuan teknologi kamera, Akhmad Kurniawan Prambudi, atau yang oleh sejawat dan para jurnalis pemburu citra kerap dipanggil Mas Pram Ngapak adalah saksi berbagai polah orang nomor satu di Kepri. Pria yang menyandang gelar Sarjana Ilmu Komputer itu sehari-hari menyertai Nurdin menjalankan tugas, meskipun bukan bagian inti dari keputusan-keputusan besar sang Gubernur.
Mas Pram pada hakikatnya sedang merintis pencatatan sejarah, dengan perangkat kamera. Sebagai fotografer resmi Pemprov Kepri, dia menempel pejabat gubernur sejak era HM Sani beberapa tahun silam.
Pram adalah saksi sisi lain dari seorang Nurdin Basirun. Di sela menjalankan tugas yang cukup rutin, sebagai seorang fotografer dia kerap merasa jenuh. Jika sudah begitu, banyak cara yang dilakukan untuk mengkompensasi kejenuhan itu.
Para fotografer resmi dan pewarta foto kerap harus menyertai kegiatan dalam waktu yang panjang. Lazimnya pekerja dengan menggunakan kamera, Pram mengusir kantuk dan lelah dengan bermain sedikit keluar dari kotak rutinitas, meskipun masih dengan medium kamera, dan tak jauh dari tombol rana.
Pada era digital, saat memotret tidak lagi dibatasi jumlah frame dalam magasin seluloid, penyaluran kejenuhan para fotografer dapat dilakukan seakan tak terbatas. Alih-alih disebut sebagai sampah visual, kadang penyaluran itu justru karya unik yang boleh dikata masterpiece. Hal paling lumrah adalah, membidik iseng objek menarik, mulai dari polah para figur publik hingga gadis rupawan yang kebetulan melintas.
Foto iseng itu muncul dari refleks bawah sadar, ketertarikan dan ketaatan profesi. Dari situlah kemudian seorang fotografer dapat bertutur tentang sang figur, di luar citra yang diingat publik.

kolase Nurdin Basirun. AK Prambudi
Nurdin kadang spontan, demikian Pram bersaksi. Dalam keseharian, pejabat kerap didapati tampil formal dan kaku. Melalui bidikan iseng Mas Pram, setidaknya publik yang belum pernah bertatap langsung dengan Nurdin jadi tahu sisi lainnya. Mas Pram menuturkan, saat berkegiatan, kadang Nurdin melepas gurau secara tidak terduga.
“Yang paling sering, minta kamera saya atau kamera rekan lain, iseng motret beliau,” kata Pram.
Pram boleh dikata adalah tukang foto yang selalu berupaya maksimal. Tak heran, dia kerap mengarahkan gaya para pejabat yang disertainya, agar tidak kaku dan layak secara estetis. Hal itu membuat Nurdin kadang kontan menyebut fotografernya itu dengan keluhan yang cukup unik.
“Cerewet nian fotografer aku ni,” begitu Pram menirukan Nurdin.
Ujaran bernada canda itu tidak membuat Pram patah arang. Justru dia merasa semakin dekat dan karib dengan Nurdin. Kendati begitu, proses mencipta sebuah foto tetap menjadi kado istimewa dari perjalanan hidup Pram. Dia mengungkapkan, kesan mendalam yang didapat saat mengabadikan Nurdin di luar “kotak” nya.
“Jadi pernah saya motret beliau di sampan, sudah selesai motret, saya teriak ke beliau, kalau fotonya mantap. Nah tiba-tiba sampan yang saya naiki oleng, reflek saya lompat, untung kamera saya angkat, jadi aman dari air,” ungkapnya.
Melihat peristiwa itu, Nurdin sempat tertawa. Setelahnya, bahkan Nurdin menceritakan kejadian itu kepada rombongan yang berada di kapal milik pemprov dan diakhiri gelak tawa seluruh isi kapal. Pram hanya dapat menyelamatkan kamera yang tidak murah itu. Apes baginya, tas sandang kecil berisi dompet, ponsel dan beberapa benda lainnya tak sempat selamat. Namun Nurdin kemudian memerintahkan kepada Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov Kepri untuk menghitung kerugian Pram dan menggantinya, tunai.
“Mane Pram. hebat dia macam tentara dia nyebur kelaut sampannya oleng, untung bisa renang senjata kameranya diangkatnya biar tak tenggelam,” kata pram menirukan.
Untuk Pram, candaan Nurdin di hadapan rombongan pejabat itu adalah pujian. Setidaknya Nurdin akan memahami loyalitas dan totalitas pencatat sejarahnya. Kelak di kemudian hari, seperti jepretan Mendur, Agus Suparto, Souza dan Chepas, mungkin hanya akan dapat dinikmati secara dua dimensional. Namun cerita dibalik gambar itu akan dibawanya terus selamanya.

deretan foto unik dari berbagai sumber
“Kalau ada kunjungan dan ketemu kolega, sering Pak Gub bercanda bilang, ini fotografer humasku kelas internasional. Pernah nyebur ke laut,” ujarnya.
Memegang teguh motto membidik dengan hati, Pram bertekad terus menyumbangkan tenaga untuk ikut menulis catatan sejarah, dengan kameranya.
Perkembangan teknologi membuat kamera semakin lama semakin terjangkau, meskipun harga sebuah kamera profesional tetap tidak pernah dapat dikatakan murah. Sebuah kamera kecil dengan lensa bukaan tetap saat ini seperti menjadi perangkat wajib disematkan di ponsel dan gawai lain, bahkan yang paling murah sekalipun.
Saat jurnalisme warga dan kesadaran pendokumentasian sudah menemukan dukungan fasilitasnya, hanya tinggal man behind the gun yang harus menaikkan selera dan cara pandang. Jika hanya untuk swafoto, sepertinya fasilitas itu tidak akan banyak menyumbang banyak pada penulisan sejarah. Tidak perlu seperti Alberto Korda, sang pedagang buku ensiklopedi yang memotret foto paling ikonik abad 20, Che Guevara. Setidaknya jepretlah sesuatu yang tidak biasa, atau berada di luar predikatnya, sehingga berpotensi menjadi catatan unik sejarah.
Penulis : Joko Sulistyo