Penulis: H.M Chaniago
Terkadang kita harus menjangkau dunia orang lain untuk menemukan apa yang telah hilang di dalam diri kita– The Intouchables
Pelantar.Id – Kehidupan terkadang serupa misteri, apa yang kita miliki di dalam diri kita belum tentu membuat hidup ini berjalan menjadi untuh sebagai mana mestinya.
Pun terkadang, kita butuh menjalin relasi antar sesama di luar konsep ke-aku-an itu untuk menemukan apa yang telah hilang, dan selama ini kurang dari dalam diri kita.
The Intouchables, sebuah drama komedi yang diangkat dari kisah nyata (biopic) relasi persababatan antara Philippe Pozzo di Borgo dan Abdel Yasmin Sellou.
Philippe merupakan seorang milioner yang menderita tetraplegia yaitu kehilangan fungsi gerak seluruh badannya, kecuali bagian kepala. Sementara Abdel adalah seorang mantan narapidana, yang mana di Perancis seseorang jobless masih ditanggung oleh negara, asal dia selalu berusaha mencari pekerjaan, dan ketika ia ditolak, dengan adanya surat catatan penolakan, negara tepat memberinya santunan.
Narasi awal film ini mungkin akan membingungkan, karena dimulai ketika Philippe (diperankan François Cluzet) dan Driss (nama Abdul dalam film yang diperankan oleh Omar Sy) di dalam mobil sport mewah, dan kebut-kebutan di jalan raya. Hingga mereka akhirnya dihentikan oleh pihak kepolisian.
Hingga kemudian setelah kejadian di jalan raya itu, film pun berbalik arah (flashback) mengenang kembali awal pertemuan dua orang sahabat beda latar belakang ini.
Semua berawal dari lowongan kerja yang dibuka oleh staff Philippe untuk mencari sosok pembantu pribadinya. Ragam jenis orang telah diseleksi, bahkan dari sarjana hingga perawat bersertifikasi. Hanya saja, hidup terkadang adalah misteri illahi, tatkala melihat Driss, Philippe melihat sisi lainnya dari persona urakan yang ia tampilkan.
Kisah pun terus bergulir, semakin dalam tatkala Driss ditantang Philippe untuk bekerja dengannya selama sebulan. Sementara Driss yang mulai merasa jenuh dengan kehidupan hariannya menanggapi tantangan tersebut. Hingga jalinan relasi perteman mereka semakin kuat terjalin, terutama karena sikap ke-apa-adanya Driss yang berasal dari golongan kumuh kaum migran urban.
Agape Platonik dalam Relasi Antar Manusia.
Pada dasarnya, rekonstruksi kisah nyata hidup sang milioner, Philippe Pozzo di Borgo dengan sahabatnya Abdel Yasmin Sellou ini memang tidaklah seratur persen sempurna, atau menyerupai realita. Terutama kecendrungan yang kontras adalah sosok Abdel yang di dalam film berganti nama menjadi Driss, dan juga sejatinya Abdel walau seorang imigran dari Senegal, tapi perawakannya tidak tinggi dan kulitnya tidak segelap Driss yang diperankan oleh Omar Sy.
Meski begitu, dalam film ini Omar cukup apik dalam menjalankan perannya, hingga diganjar penghargaan César Award pada 2012 silam, dalam kategori aktor terbaik.
Terlepas dari hal di atas, jika kita ingin menelaah film ini lebih dalam. Maka kita akan bertemu dengan suatu konsep platonic yang dinamai dengan agape.
Lebih lanjutnya, dalam konsep yang dikemukan oleh Plato (filsuf kenamaan dan matematikawan terbesar sepanjang sejarah). Terdapat tiga konsep dalam persahabatan yakni philia, eros, dan agape.
Sebelum lebih lanjut memahami konsep tersebut. Kita pasti memahami, relasi persahabatan pada dasarnya menyimpan makna luhur yang seringkali kita gunakan, meski sulit kita pahami, ia adalah cinta, dalam artian yang lebih universal, tidak hanya antar lawan jenis semata.
Lebih lanjutnya, secara singkat philia dan eros di sini adalah persahabatan (cinta) yang terfokus menilik kualitas orang yang menjadi objeknya. Semisalnya karena fisik yang menawan, pintar, dan lain-lain. Sederhananya, kegiatan mencinta atau bersahabat muncul karena sosok tersebut memiliki kelebihan tertentu.
Sementara itu, agape ialah suatu konsep yang tidak lagi melihat keunggulan atau hal lainnya dari sosok tersebut, melainkan justru kepada dorongan untuk saling berkembang satu sama lainnya, meski sosok tersebut tidak memiliki keunggulan. Dalan arti lain agape adalah konsep tertinggi dan membangun.
Jika kita memerhatikan lebih ditail di dalam film The Intouchables, maka dengan jelas akan terlihat bagaimana relasi yang dikembangkan oleh Philippe terhadap Driss adalah kesadaran akan satu sosok yang memiliki banyak kekurangan dan ingin saling membangun satu sama lainnya, di antara kekurangan yang ia pribadi juga miliki.
Dalam film tergambar jelas konsep ini, sehingga film The Intouchables layak menjadi cinema yang memenangkan sejumlah penghargaan kelas dunia meski pun tidak berbahasa Inggris.
Di antara penghargaannya ialah Award of the Japanese Academy, Best Foreign Language Film dalam African-American Film Critics Association (AAFCA) Award, Black Film Critics Circle Awards, Cinema Brazil Grand Prize, Denver Film Critics Society Award, dan juga penghargaan pribadi lainnya untuk aktor Omar Sy.
Penghargaan di atas tak lain karena konsep memanusiakan manusia yang coba diusung oleh duo sutradara Olivier Nakache dan Éric Toledano. Kita dengan jelas bisa melihat dalam cara Driss memperlakuan Philippe dengan menganggapnya manusia biasa seperti pada umumnya tanpa memandang status cacat yang diderita Phillipe, begitu juga sebaliknya, Philippe yang memperlakukan Driss sebagaimana mestinya manusia, tanpa memadang ras dan status kriminalnya.
Hal lainnya yang membuat film ini menarik adalah, bagaimana kita bisa melihat konsep nyata kehidupan orang Prancis sendiri, seperti cara mereka membicarakan sastra dan seni. Seperti Driss yang memahami tentang Victor Hugo, Sigmun Freud dan sastrawan lainnya dari negeri Eiffel. Juga ketika mereka bicara tentang seniman lukis seperti Claude Monet dan Salvador Dali, juga tentang musik klasi serta orchestra klasik yang mempertegas keromantasin Prancis.
**
The Intouchables | 2011 | Sutradara: Olivier Nakache dan Éric Toledano | Penulis: Olivier Nakache – Éric Toledano | Produksi: Gaumont, TF1 Films Production, Quad Productions, Chaocorp, Ten Films | Negara: Prancis | Pemeran: François Cluzet, Omar Sy, Audrey Fleurot, Anne Le Ny, Clotilde Mollet.