Pencarian jati diri tidak pernah selesai, seperti pemikiran Stuart Hall yang menyebut identitas yang tidak pernah utuh, tidak pernah tunggal dan selalu terbentuk dari berbagai representasi.
Berbagai cara dilakukan untuk membangun identitas, salah satunya dengan menggali sumber-sumber lama untuk mengutip nilai masa lalu. Di Kepri, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Tanjungpinang melakukan itu.
Tumpukkan kertas-kertas hasil penggandaan mesin fotokopi bertulisan huruf arab tanpa harakat berjejal di meja kaca. Warnanya tidak sama, sebagian putih, sebagian kekuningan dengan hasil cetakan yang buram oleh noktah di sana-sini. Zulkifli Harto, berupaya membaca setiap huruf di kertas itu. Sesekali ia menerawang lembaran yang sudah lusuh termakan usia itu seperti sedang menerawang tanda air pada uang kertas. Satu demi satu lembaran kertas yang kadang tidak utuh, terkoyak, kekuningan dan kadang lapuk dimakan usia itu diteliti bergantian. Acapkali ia harus mengulang dan mengulang semua proses membaca itu berkali-kali. Pada sebuah lembaran kertas kosong, pria itu membuat coretan-coretan yang entah apa maknanya.
Di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Tanjungpinang, Zulkifli mendedikasikan diri sejak limabelas tahun silam. Pria lulusan Sastra Melayu Universitas Sumatera Utara tahun 1987 itu adalah satu dari tiga tenaga ahli manuskrip kuno Melayu yang ada di BPNB Tanjungpinang, lembaga pelestari nilai budaya perpanjangan dari Kemendikbud yang membawahi Provinsi Kepri, Riau, Bangka Belitung dan Jambi.
Luasnya wilayah kerja yang dibawahi dan banyaknya manuskrip atau naskah kuno yang dimiliki masyarakat membuat keseharian peneliti di BPNB, menurut Zul, demikian Zulkifli Harto biasa disapa, harus selalu mencurahkan tenaga untuk menginventarisir, membaca, meneliti dan menyalin naskah-naskah kuno peninggalan generasi terdahulu.
Zul mencatat, berdasar pelacakan yang dilakukan terakhir oleh peneliti asing, sebanyak 140 ribu naskah kuno Melayu bertebaran di seantero nusantara dan mancanegara. Jumlahnya tidak pasti karena panjangnya periode sejarah tradisi literatur dan sastra. Layaknya sebuah buku yang dimiliki oleh manusia, manuskrip Melayu diwariskan turun-temurun kepada generasi Melayu berikutnya, wajar jika keberadaannya mengikuti persebaran ras Melayu ke seluruh dunia.
“Terkait jumlah, tidak dapat dipastikan, misalnya Chambert Loir, peneliti Eropa memperkirakan ada empat ribu naskah Melayu tersebar, sementara Ismail Husein, peneliti lokal menyatakan sekitar lima ribu,” kata Zul.
Jumlah yang tidak pasti itu seakan menjadi lorong yang tidak berujung, namun Zul menganggap itu sebagai tantangan tersendiri dalam pekerjaannya.
Alih-alih menyoal jumlah naskah, pria lulusan magister Sosiologi dari Universitas Padjajaran itu lebih memilih untuk tetap bergerak menemukan naskah-naskah yang jumlahnya terus berkurang. Ia dan rekan sejawatnya berpacu dengan waktu dan berlomba dengan peneliti dari segara lain.
“Jumlahnya tidak usah dipersoalkan, sekarang yang penting terus diupayakan penyelamatannya sebelum naskah itu lari ke Malaysia atau Belanda,” ujarnya.
Jumlah naskah kuno yang berada di tangan masyarakat saat ini semakin menipis. Dari upayanya mencari informasi ke tengah masyarakat di empat provinsi wilayah kerja, dirinya mendapati jumlah manuskrip semakin berkurang karena banyak yang dijual kepada peneliti asing, utamanya Malaysia.
Kecenderungan itu adalah gelombang kedua eksodus benda-benda cagar budaya setelah sebagian besar lari ke Belanda pada era kolonial. Perburuan naskah kuno Melayu oleh Malaysia mulai marak sejak awal kemerdekaan negara tetangga itu. Menurut Zul, perburuan naskah itu dilakukan untuk mencari identitas dan menuliskan sejarah. Malaysia aktif mengumpulkan naskah setelah merdeka dan memiliki batas wilayah dengan Indonesia.
“Pada awal kemerdekaan Malaysia, mereka gencar mengumpulkan naskah untuk membangun identitas dan menulis sejarah mereka,”Zul menjelaskan. “Bahkan sampai saat ini, jika ada yang bilang punya naskah sultan-sultan, Malaysia berani bayar mahal itu”. ungkapnya.
Selain dijual, banyak keluarga yang mewarisi naskah kuno tidak menyadari nilai dan tidak merawat benda bersejarah itu. Perawatan yang tidak semestinya membuat naskah acap kali ditemukan sudah dalam kondisi usang, rapuh dan susah terbaca. Kualitas kertas jaman dahulu yang tidak sebagus sekarang menjadikan upaya penyelamatan makin terasa berat.
“Orang-orang tua merawat naskah itu dengan memberikan kapur barus, meng-angin-anginkan naskah supaya tidak lembab sesekali, tapi tidak diteruskan oleh anak-anaknya, kadang halaman naskah jadi lengket” terang Zul.
Seandainya masih ada yang merawat dan dalam kondisi bagus, itu tidak serta merta pekerjaan peneliti menjadi mudah. Dikeramatkannya sejumlah naskah oleh penyimpannya, membuat peneliti harus menunggu seluruh ahli waris dalam keluarga itu menyetujui naskah dibuka.
“Kadang kita (peneliti) harus nunggu keluarga besar memberi izin, yah, semacam birokrasi keluarga gitu lah,” ungkap Zul berkelakar.
Berbagai hambatan itu membuat kerja penelitian menjadi terasa lambat. Kendati begitu, tidak dapat dipungkiri hasil kerja para peneliti cukup memuaskan. Sepanjang tahun 2014, setidaknya 65 naskah berhasil diinventarisasi, dan mulai diterjemahkan.
Jalan panjang memahami isi naskah diwarnai dengan kerja keras dan proses membandingkan. Pada tahap awal, peneliti harus mengklasifikasikan naskah dalam periode zaman tertentu. Setelah diinventarisasi dan diklasifikasi, naskah akan dibaca dan disalin aksara-kan. Proses itu masih jauh dari kata selesai. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengalih bahasa-kan naskah yang telah di alih aksara-kan dari huruf arab tanpa harakat (gundul) ke huruf latin.
Proses alih bahasa cukup sulit. Zul mengatakan, peneliti harus melakukan penelusuran bunyi kata dan membandingkan dengan penutur yang masih ada untuk mendapatkan konteks yang mendekati ideal. “Kita harus mencari orang tua-tua untuk mengartikan beberapa kosakata atau idiom yang sudah tidak banyak dipakai saat ini,” katanya.
Ia mencontohkan, untuk menyebut kelapa, masyarakat Melayu pada masa terdahulu memiliki berbagai kata sebutan seperti kelambir dan nyiur, tingkap untuk jendela dan seluar untuk menyebut celana. “Banyak kita temui kosakata yang bahkan orang Melayu saat ini saja tidak mengetahui artinya,” kata pria asal Sumatera Utara itu.
Setelah melewati fase alih bahasa, pekerjaan selanjutnya adalah melakukan kajian dan perbandingan untuk mendapatkan konteks redaksional naskah kuno yang sedang dikerjakan. Hingga pada fase alih bahasa, naskah sudah dapat dijadikan rujukan bagi peneliti sejarah, namun untuk dapat dikonsumsi oleh masyarakat awam, terjemahan kontekstual harus dilakukan.
Panjangnya proses yang harus dilalui membuat penerjemahan naskah membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan. Hal itu dirasakan kian berat oleh peneliti seperti Zulkifli dan koleganya. Sebagai seorang peneliti yang dibiayai negara, ia memiliki target dan aturan masa kerja. “Untuk turun ke lapangan misalya, kadang kita terbentur dengan aturan-aturan dinas yang membatasi durasi penelitian menjadi hanya belasan hari,” ungkapnya.
Hal itu kontras dengan perlakuan negara terhadap peneliti asing. Zul menceritakan, dirinya pernah satu lokasi dengan peneliti asal Jepang yang dibiayai oleh Kemenristek. Peneliti asing mendapatkan dukungan yang memadai bila dibandingkan dengan peneliti lokal non akademisi. “Di Babel, saya bareng dengan orang Jepang yang diberikan waktu selama enam bulan dan anggaran hingga milyaran rupiah. Kontras sekali dengan kita yang hanya boleh turun dua minggu dan dana beberapa juta saja,” kata Zul prihatin.
Perlakuan pemerintah terhadap peneliti asing itu bagi pengabdi negara seperti Zul bukan hanya sekedar tidak adil. Sebagai ahli bahasa dan sosiolog, Zul lebih mengkhawatirkan pergeseran makna pada hasil akhir penelitian para ahli asing.
“Saya tidak anti asing, bagus untuk kemajuan pengungkapan nilai yang terkandung dalam naskah yang mereka teliti, tapi saya curiga, ada distorsi makna,” katanya.
Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang identik dengan tradisi Islam. Zulkifli menyayangkan peneliti asing yang seringkali menerjemahkan kosakata berkonteks kebiasaan yang merefleksikan identitas secara serampangan. Sebagai contoh, tulisan Allah Subhanahu Wata’ala yang banyak ditemui dalam naskah Melayu sering dialih bahasakan menjadi Tuhan saja. “Pada pengkajian dengan masyarakat Melayu, mereka merasa itu bukan warisan leluhurnya, karena mereka tidak menyebut Allah dengan Tuhan,” ujarnya.
Peneliti asing mungkin sekali memahami manuskrip, memiliki referensi dan landasan teori yang kuat, namun kadang dipandang tidak memahami konteks kearifan dan kondisi tata nilai yang berlaku di masyarakat ketika menerjemahkan.
Mengais Kearifan dari Renik Sejarah
Membaca pemikiran Koentjaraningrat dalam kajian yang dipublikasikan pada 1959 silam, sudah sejak setengah abad yang lalu maestro antropologi Indonesia mencanangkan, secara strategis antropologi perlu menanggapi dialektika “dunia lama” dan “dunia baru” atau akulturasi yang sedang dialami para warga masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Artinya persoalan perubahan kebudayaan, yang menghasilkan keberagaman masyarakat di Indonesia, seharusnya merupakan pokok perhatian antropologi. Dari pemikiran itu, sejumlah peneliti menyimpulkan, sebelum Perang Dunia II, antropologi fokus pada penemuan representasi (budaya) Indonesia kuno, maka sesudah itu fokus antropologi bergeser pada persoalan krisis akulturasi akibat benturan budaya Eropa dan Amerika dengan masyarakat di negeri-negeri bekas jajahan. Khusus untuk Indonesia, menurut Koentjaraningrat masalah akulturasi adalah masalah bagaimana mengisi nasionalisme dengan “jiwa baru.”
Jiwa baru dalam pemikiran Koentjaraningrat itu terbukti melalui penelitian seorang antropolog terkemuka Albertus Budi Susanto. Dosen Pascasarjana Imu Religi dan Budaya Indonesia di Universitas Sanata Dharma Jogjakarta delapan tahun silam menuliskan, jejak kekuasaan kolonial sangat laten dalam wacana kebudayaan.
“Pada Pameran Kolonialitas Internasional tahun 1931 di paris, paviliun Kerajaan Belanda sukses mendapatkan penghargaan yang tinggi dan dikunjungi sekitar 30 juta orang selama setengah tahun pameran. Konon setelah menerapkan Politik Balas Budi, Pemerintah Kerajaan Belanda telah berhasil membangun kolonisasi gaya baru dengan melakukan beragam penelitian serius untuk memahami dan menghargai kebudayaan pribumi yang rumit. Pujian datang karena pavilun itu ” tulis Budi Susanto pada tahun 2010 silam.
Menurut dia, Kerajaan Belanda yang pada pameran itu “memamerkan identitas arsitektur kolonial yang mampu “menerjemahkan” kehebatan dan “kehebohan” budaya dan seni pribumi Hindia Belanda. Padahal, seperti yang diacu Susanto dari Benedict Anderson, bagaimanapun hebatnya pameran seperti itu, ujung-ujungnya pihak penjajah yang mampu menerjemahkan dan membiayai seni budaya pribumi itulah yang hebat.
Di BPNB, tata nilai, kebijakan dan nasehat kebajikan yang dominan dalam naskah-naskah warisan budaya Melayu terus digali dari peninggalan-peninggalan yang semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari penggalian makna yang terkandung dalam sebuah naskah, kendati atefak diperkirakan tersisa hanya 10 persen di masyarakat.
Ragam jenis naskah yang ditemukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan museum-museum diupayakan semaksimal mungkin penerjemahannya oleh peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya, Kemendikbud.
Dapat dikatakan penelitian dilakukan tanpa memilah-milah dengan ketat. Peninggalan masa lalu berupa naskah tidak harus berklasifikasi sebagai naskah sejarah untuk diteliti. Pamong Budaya BPNB Tanjungpinang, Dedi Arman mengatakan, masyarakat pada umumnya tidak dapat membedakan mana sejarah dan mana bukan.
“Legenda, dongeng, fabel, mitos dan sejarah dalam masyarakat itu tipis sekali batasnya, seperti tidak bersekat,” kata Dedi. “Misalnya Hang Tuah, saat ini masih samar itu sejarah atau bukan, nama perorangan atau nama jabatan, karena makamnya ada banyak dan masyarakat meyakini kebenarannya,” ujarnya memberi contoh.
Pemilahan baru akan dilakukan oleh peneliti dilakukan pada saat hasil penelitian akan dipublikasikan dalam bentuk buklet maupun buku cetakan. HIngga titik ini, BPNB terkesan sendiri mengkonservasi kearifan dan tata nilai agar tak tergerus zaman.
Melayu memiliki sejarah literasi yang cukup panjang. Pembagian periode zaman naskahnya dapat dirunut sejak zaman kulit hingga zaman kertas di awal abad 20. Di Kepri, yang dapat dianggap sebagai zaman keemasan ada pada periode kelompok intelektual Rusydiyah club yang ada di Pulau Penyengat pada rentang tahun 1895-1905.
“Penyengat itu dulu gudangnya penulis, mereka berdiskusi soal agama, politik, dan lainnya dan mencetak sendiri risalah hasil diskusinya,” kata Dedi.
Pada masa itu, ada dua percetakan besar yang beroperasi di Pulau Penyengat yaitu Mathba’at al Riauwiyah dan Mathba’at al Ahmadiyah. Sayangnya tidak banyak literatur yang mengupas periode keemasan literasi saat itu, meskpiun pada masa itu produk dari Rusydiyah Club bisa jadi adalah sebuah karya populer hingga banyak direproduksi dan diperbanyak penerbit asing, seperti Al-Imam, Singapura. Selain di Penyengat, tradisi cetak juga ditemukan di Lingga namun tidak sepopuler yang terdapat di Pulau Penyengat.
Penggalian demi penggalian nilai terus dilakukan. Tetirah budaya melalui penelitian nasehat dan kearifan masa lalu itu akan memberikan identitas sekaligus menyelamatkan berbagai pencapaian generasi terdahulu.
Dedi maupun Zulfkifli sependapat, dari naskah-naskah kuno generasi sekarang dapat belajar banyak. Hampir seluruh isi yang terkandung dalam hikayat adalah ajakan untuk kebaikan. “Menghormati yang tua, menyayangi yang muda, hidup tolong menolong dan ajakan kebaikan lainnya,” kata Zulkifli yang diamini Dedi.
Bahkan ilmu-ilmu praktis semisal pengobatan, tindakan medis kuno hingga astrologi juga banyak dijumpai dalam naskah-naskah usang dan berdebu itu.
Kerja peneliti akan selesai setelah naskah diterjemahkan dan dapat dinikmati oleh awam. Tantangan selanjutnya menurut Dedi adalah minat baca yang masih rendah. Setengah hari berada di perpustakaan BPNB yang dibuka untuk umum secara gratis, hanya ada satu dua pengunjung yang datang. Sejumlah mahasiswa mencari literatur untuk referensi tugas kuliah, itupun terlihat lebih banyak bermain sosial media dengan gawai di tangan mereka daripada membaca hasil kerja keras peneliti yang menumpuk di rak.
Kondisi seperti itu tidak mempengaruhi tekad peneliti untuk terus mencurahkan tenaganya. “Masih banyak yang bisa kita kejar, jika berpegang pada angka 140 ribu naskah yang diyakini tersebar itu. Meskipun saya yakin itu bercampur dengan naskah Melayu dari Banjar, Sulawesi, Lombok, Kutai, Aceh dan Deli,” pungkas Zulkifli mengakhiri.
Joko Sulistyo