Penulis: H.M Chaniago
Protes terhadap suatu kebijakan yang cukup mengangkangi kelayakan hidup masyarakat luas atau personal adalah wajar.
Pelantar.id – Saat rapat usulan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Batam 2020, Federasi Serikat Pekerjaan Metal Indonesia (FSPMI) Batam memilih ‘walkout’ karena merasa usulan UMK dari Dewan Pengupahan Kota (DPK) tidak sesuai dengan harapan mereka.
Alfitoni Ketua Konsulat Cabang FSPMI Batam di hari rapat Selasa (5/11) itu di Kantor Disnaker tegas menolak kenaikan usulan UMK yang ditentukan, karena penentuannya mengacu pada PP 78/2015.
Pada PP tersebut UMK dihitung dalam persentase 8,51% mengikuti skala nasional, dengan patokan inflansi skala nasional ditambah Produk Regional Domestik Bruto (PRDB).
Apa yang dilakukan oleh Alfitoni atau FSPMI merupakan bentuk disensus, protes ketidaksetujuan atas suatu ketentuan atau kebijakan yang diciptakan untuk menaungi persoalan di antara beberapa pihak.
Merunut pada bahasa Indonesia, istilah ‘walkout’ memang tak ditemukan, namun dari sisi semantik ia memiliki kesamaan dengan sikap ‘abstain’ atau tidak memberikan suara (dalam pemungutan suara) alias tidak menentukan sikap.
Dalam struktur semantik, ‘abstain’ merupakan mekanisme yang tersedia dalam instrumen pengambilan keputusan dari sebuah konsep negara demokrasi.
‘Abstain’ pada dasarnya juga dapat diartikan sebagai golongan putih (golput) yang tidak menggunakan hak suaranya, dan marak terjadi belakangan ini saat pemilihan umum (pemilu) di Indonesia di dua periode lampau.
Lalu bagaimana dengan makna ‘walkout’, jika dikaji dalam bahasa ibunya, yaitu bahasa Inggris (English) yang merupakan bahasa Jermanik pertama dituturkan pada abad pertengahan awal di Britania Raya.
Mengutip Oxford Dictionary (kamus lengkap bahasa Inggris) ‘walkout’ merupakan noun dengan makna: “a sudden strike by workers (pemogokan kerja tiba-tiba) atau the act of suddenly leaving a meeting as a protest against something (tindakan secara tiba-tiba meninggalkan ruang rapat sebagai bentuk protes).
Dalam sejarah pergolakan dunia, ‘walkout’ identik dengan bentuk protes terhadap hal berupa kebijakan-kebijakan yang begitu sangat mengekang, dan menyalahi aturan normatif, atau bahkan tak manusiawi, pun juga bisa suatu perembukan yang tak ingin disepakati.
Babad Walkout dari Masa ke Masa
Dalam catatan sejarah yang ditulis Amruta Trivedi, The Walkout Protest: Past and Present disebutkan pada tahun 1968 ‘walkout’ telah menjadi cara aktivis pelajar selama beberapa dekade. Awal Maret tahun itu 15.000 lebih pelajar mayoritas keturunan Meksiko-Amerika, memilih keluar (walkout) dari ruang-ruang kelas beberapa SMA di kawasan Timur Los Angeles.
Ini merupakan rangkaian cara unjuk rasa menuntut pemerintah setempat membuat program pendidikan bilingual dan bikultural, juga turut menuntut perombakan kurikulum dalam porsi pelajaran sejarah yang lebih lengkap tentang kontribusi serta kulturasi orang-orang keturunan Meksiko-Amerika.
Protes yang juga dikenal dengan Chicano Blowouts ini turut meminta pemerintah mempekerjakan lebih banyak guru dan staf keturunan Meksiko. Semua ini tentu berakar dari kondisi ketidaksetaraan yang terjadi di sekolah menengah Los Angeles Unified School District.
Protes pertama terjadi pada 6 Maret 1968. Para pelajar mengorganisir dan melaksanakan protes berkaitan dengan kualitas pendidikan mereka. Gerakan ini merupakan mobilisasi massal pertama kaum pelajar Meksiko-Amerika di California Selatan.
Sementara itu dalam catatan lainnya, di awal abad ke-19 muncul transfigurasi ekonomi ketika Revolusi Industri meledak dan perempuan lajang menuntut hak untuk bekerja. Saat itu kaum perempuan berusia empat belas hingga awal dua puluhan tahun merasa perlu untuk bekerja demi meringankan krisis keuangan keluarga mereka, dan juga hasrat kemandirian untuk hidup sendiri.
Kaum perempuan kala itu memilih meninggalkan (walkout) rumah orangtua mereka dan memulai hidup baru di rumah kontrakan atau kos-kosan sekitar pabrik. Sedangkan sebulan sekali mereka akan mengirim sebagian dari gaji mereka ke rumah sebagai bentuk peran mereka terhadap keluarga.
Sebagian besar perempuan yang mengambil momen dalam perubahan ini berasal dari latar belakang keluarga petani sederhana yang memilih pindah ke daerah-daerah di New England dan Mid Atlantic States, Amerika Serikat.
Hal lainya Krisis Ekonomi 1834 dan peristiwa ‘walk-out’ 1836 yang sama-sama dimotori oleh perempuan kelas pekerjaan. Pada bulan-bulan awal di tahun 1834, penjualan tekstil menurun dan laba perusahaan tidak cukup dalam menyokong upah memadai bagi pekerja perempuan di sebuah pabrik di Lowell, Massachusetts. Akibatnya, upah dipotong sementara harga sewa kamar dan kebutuhan lainnya naik.
Para perempuan-perempuan pabrik ini merasa pemotongan upah dan kenaikan harga sebagai pelanggaran terhadap martabat, kualitas sosial, dan otonomi ekonomi mereka. Sehingga pada hari Jumat di bulan Februari 1834, pemogokan sporadis dimulai ketika sebuah perusahaan pabrik memecat seorang pekerja perempuan.
Protes dimulai dan para perempuan memilih ‘walk-out’ dan berhenti bekerja, mereka ciptakan parade di jalanan kota, berusaha membujuk wanita pabrik lain untuk bergabung.
Sementara itu menarik lebih dekat lagi, mengenai ‘walkout’ tak hanya persoalan protes kaum kelas pekerja, di Indonesia pejabat pemerintahan juga pernah melakukan hal yang sama, seperti ketika SBY memilih ‘walkout’ saat Deklarasi Pemilu Damai 2019 kemarin.
Terlepas efisien atau tidaknya cara ini, pada dasarnya protes terhadap suatu kebijakan yang cukup mengangkangi kelayakan hidup masyarakat luas atau personal, tak ada salahnya.