Penulis: H.M Chaniago

In Memoriam: Human Rights, tajuk eksibisi seni Apocalyptic Nuke dan Egosentric yang membawa kita mengenang kejadian mengerikan akan matinya Hak Asasi Manusia.

Pelantar.id – Eksibisi seni perdana seniman kolase digital asal Batam, Apocalytic Nuke bekerjasama dengan Egosentric terselenggara dengan aman dan damai Sabtu (16/11) di Samadengan Artspace, Imperium Superblock Sukajadi, Batam.

Mengangkat tajuk dan isu “In Memoriam: Human Rights” kita diajak untuk menyelami kegelisahan serta penderitaan anak manusia yang hidup dan tumbuh di negera dunia ke-3 bernama Indonesia, pun jua persoalan wajah dunia secara luas akan matinya Hak Asasi Manusia sedari mereka dilahirkan.

Melihat beberapa karya yang ditampilkan di pameran sederhana ini, membawa kita bertualang melihat dunia dari sisi gelapnya, dan juga godan-godaan lain dari kebuasan manusia yang senang menciptakan ragam kehancuran dengan dalih masadepan umat manusia.

Jika Schopenhauer mengatakan penderitaan hidup adalah sesuatu yang lebih hakiki ketimbang kebahagiaan, dan juga menegaskan bahwa penderitaan tidak akan pernah bisa kita rasakan andaikata kehidupan itu sendiri tidak pernah ada.

Maka menelusuri lebih dalam “In Memoriam: Human Rights” tak ubahnya pertualangan membekas dalam satu malam demi mengenang penderitaan itu sendiri, dalam artian bukan merayakannya. Bukankah Nietzsche dalam garis waktu kehidupannya secara langsung telah mengaktualisasikan.

Ahmeidiansyah Pasemah, seniman di balik sosok Apocalyptic Nuke menuturkan “In Memoriam: Human Rights” adalah bentuk simpati untuk mengenang kerunyaman Hak Asasi Manusia yang mati dan bahkan tercerabut akarnya di hari pertama mereka dilahirkan.

Mengingat HAM yang sulit untuk diekspresikan pada wadahnya yang belakangan ini telah diatur porsi kebenarannya (post-truth) oleh keinginan personal di tingkat otoritas yang lebih besar, maka timbulah ide “In Memoriam; Human Rights dari hasil percampuran wadah berfikir realistik dan fiksional.

Tajuk ini ialah serupa alarm sangkakala akan kemunduran manusia dalam lingkup terluas mengenai persoalan HAM, atau bagi kita yang masih tidak begitu peka dengan pembungkaman sepihak oleh blok tertentu, yang dimaksud sendiri oleh senimannya dengan blok musuh (kenali blok musuh-mu di sini).

Tajuk yang diangkat adalah wajah senjata kreativitas yang berperan sebagai bentuk perlawan terhadap tatanan struktural pembungkaman hak hidup manusia. Namun dalam hal ini kita tidak berbicara tentang peluru, artileri ataupun humvee sebagaimana yang menjadi andalan otoritas penguasa.

Peluru di sini adalah bentuk dari kolaborasi yang mereka usung, di mana akan terselip harapan akan lahirnya senjata kreativitas dalam menghadapi peliknya persoalan hidup yang kelak akan mendampingi kita, hingga akhir kurun waktu menuju valhalla, atau sebagai pedoman historis agar terhindar dari sikap ahistoris.

Kolase dan Sirkus Kehidupan dalam In Memoriam: Human Rights

Berbicara tentang seni kolase atau collage art, dalam kamus Modern Art, A Collins – Larousse Concise Encyclopedia disebutkan bahwa kolase merupakan cabang dari seni rupa meliputi kegiatan tempel-menempel potongan kertas atau material lain untuk membentuk desain atau rancangan tertentu, tentunya bisa secara manual atau digital.

Pun dalam artian yang lebih dalam, Nandang Gumelar Wahyudi, seniman sekaligus Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung menyatakan, “Kolase itu serupak takdir, sejurus jalan yang niscaya: Rahmatan Lil’alamin, ia mempertemukan (potongan gambar) sekaligus menyatukannya (menempelkan).

Pablo Picasso, Georges Braque, Max Ernst, dan Henri Mattise bisa jadi sosok terkenal yang pernah bekecimpung di dalamnya, atau menarik ulur sejarah menuju abad ke-17 di mana seni ini berkembangan di kota romantis bernama Venice, sudah barang tentu kolase akan terus berkembang seiring perubahan zaman.

Perihal In Memoriam: Human Rights, mungkin sedari awal Apocalyptic Nuke bergerak menuju seninya akan selalu setia dengan roman kegelapan atau senjakala kematian HAM, atau lebih jauh tentang hancurnya peradaban manusia, lalu menuju post-apocalypse melalui karya-karyanya.

Mungkin juga bagi kita yang tak terbiasa akan anasir asing seperti ini, menganggapnya raut keputusasaan. Tapi saya pertegaskan, “Tidak ada seni yang dibuat dalam ruang hampa. Karena selalu ada pesan yang ingin disampaikannya”.

Sebagian dari kita yang hadir pergelaran ini bisa saja akan menganggapnya sebagai bentuk yang grotesque, terlalu gelap, suram bahkan jauh dari unsur keindahan, dan itu wajar.

Tapi jika berbicara tentang HAM dan kehancuran akibat bencana yang diciptakan manusia dalam sirkus kehidupan ini, keindahan kadang serupa rona utopis yang didambakan secara berlebihan.

Walau pun begitu, meski Nietzsche semasa hidupnya telah menyatakan kredo amorfati fatum brutum, mencintai takdir walaupun takdir itu kejam, namun persoalan berputus asa akannya bukan jua jalan keluar.

Melalui seni seperti ini lah kita dibawa untuk memperingati, atau menyalakan alerta, bahwa hidup tak sepenuhnya baik-baik saja. Kini tergantung kita, ingin berputus asa atau mencari jalan keluar, setidaknya berani menyuarakan bukan memanipulasinya dalam panggung sandiwara As You Like It.

Dalam “In Memoriam: Human Rights” kematian dihidupkan kembali oleh senimannya sebagai refleksi dan sikap kontemplatif akan persoalan besar yang sedang kita hadapi tanpa perlu mereduksinya, lalu mengajak kita untuk tidak terjebak dalam tubuh perbuatan yang sama.

Aku pikir Apocalyptic Nuke malam itu sedang mengajak kami untuk berziarah menuju kasus-kasus pembungkaman manusia, pembunuhan massal, genosida, perang demi suatu hal yang kadang tidak masuk akal, atau penindasan-penindasan terselubung dalam ruang micro.

Karena dalam sejarahnya, pelanggaran HAM dan penindasan selalu tumbuh dengan baik dalam ruang personal manusia kepada tubuhnya sendiri, ruang keluarga_antar orangtua ke anak_vice versa, ruang kerja_antara atasan dan bawahan, atau ruang struktural_negara pada komunenya.

Di akhir tulisan ini, dan pendapat saya tentang “In Memoriam: Human Rights”, saya tutup dengan kutipan begundal lawas Gerald Wistanley. “Ketika Tuhan menciptakan bumi, tidak terdapat satu kata pun yang diucapkan sejak awal bahwa satu cabang umat manusia berhak berkuasa atas yang lain, tapi imajinasi yang egoislah yang membuat manusia merasa dapat mengatur dan memerintah yang lainya”.

*Alerta!!! Vive les droits de l’homme.*