Penulis: H.M Chaniago.
Jika berdansa dilarang, maka kami bukanlah bagian dari revolusimu – Emma Goldman
Pelantar.id – Belakangan ini Indonesia sedang dilanda gonjang-ganjing isu politik dan sosial. Dari kisruh Papua, kebakaran lahan dan hutan, Revisi UU KPK hingga RKUHP DPR RI.
Mayoritas masyarakat menilai terlalu keblinger dengan segala pasal-pasal kontroversialnya. Apa perlu patriot seperti Gundala untuk menuntaskannya? Namun sayang, negara ini bukan negeri dongeng.

“Mewakili Generasi Narsis yang Dinarasikan dengan Gen-Z” Foto: Sabda Perubahan
Hingga frekuensi penolakan pun mulai mengambil panggung awal di jejaringan media sosial, kemudian berujung puluhan ribu lebih mahasiswa bersama aliansi warga sipil turun ke jalan. Mereka datang mewakili kegelisahan generasinya, dari pada menunggu sosok bernama Gundala, generasi yang katanya pemalas dan doyan bermain gawai ini menujukkan kelas yang berbeda.
Dari Gejayan hingga Senayan bahkan pinggiran jalan DPRD kota Batam, orang-orang mulai mengambil bagian. Kesadaran kolektif menjadi tubuh dari bibit-bibit generasi yang mulai bosan dan kesal dengan kelakuan pejabat pemerintahan.
Mayoritas aksi diinisiasi Gen-Z yang lahir pasca Gen Milenial. Di tangan mereka sensitivitas aksi tak melulu tentang konsep idiologis, namun menyasar keresahan pribadi yang mewakili era kikinian.
Sudah barang tentu, cara yang dipakai Gen-Z berbeda dengan Gen-X, angkatan mahasiswa 98. Dalam teriakkan Gen-Z demonstrasi menjadi risalah terselubung, penuh kritik sosial yang begitu kontekstual, berbungkus dagelan-dagelan metaforis.

“Keadilan lebih berharga dari pada patah hati karena mantan” Foto: IG Sabda Perubahan
Mereka bukan hendak merusuh, atau juga mendukung runtuhnya rezim yang berkuasa. Toh tuntutan secara resmi telah tercetuskan ketika aksi #GejayanMemanggil, Senin, 23 September 2019 kemarin.
Menggugat RKHUP, Melawan Pelemahan KPK, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Minerba dan Pertanahan dan banyak lainnya, tak ada agenda turunkan rezim berkuasa. Aksi demo ini pun murni kekesalan tanpa narasi-narasi basi disusupi agenda oposisi.
Teriakan yang sempat menyebutkan “Turunkan Presiden” lantas apa langsung bisa didiskreditkan kepada mereka? Ini kegelisahan, bukan propaganda oposisi, bisa dilihat dari cara mereka mengekspresikan kritikan sesuai zamannya yang dikemas dengan cara berbeda.
Perihal kritikan itu juga hal lumrah, toh 98 juga telah mengakar, hanya saja mereka belajar dari generasi sebelumnya dan mencoba lebih terang-terangan menempatkan politik di ruang publik jauh dari cara Orba.
Kenapa Gen-Z Tergerak Ambil Bagian?
Semua berakar dari sinisme dan kebosan akan kaum elit politik yang semakin hari-hari seperti hendak mengeruk keuntungan sendiri dan apatis, pun kesinisan mereka pada lembaga atau instansi pemerintahan, seperti dewa-dewa di dewan rakyat yang katanya mewakili rakyat? Belum lagi akan partai politik yang hanya mementingkan kepentingan partai semata.
Turunnya Gen Z, seolah-olah membentuk tatanan model politik baru (pernah ditulis Kumparan), dengan segala dinamikanya mereka dendangkan kegelisahan kolektif serta kekecewaan itu dengan cara khusus. Kini ini bukan persoalan barisan patah hati karena mantan, tapi patah hati karena wakil rakyat di pemerintahan.

“Meracik isu dengan cara yang lebih lucu,” Foto: Twitter
Hal lainnya adalah, kesadaran kolektif atau sensitivitas mereka adalah serupa efek bola salju, narasinya menggelinding ke wilayah kota lain. Puncaknya tak lain hanyalah menyuarakan kegelisahan dengan cara mereka, #GejayanMemanggil dan segenap demonstrasi lainnya yang bergulir Timur ke Barat, lahir dari Gen yang selama ini dianggap sebagian orang apatis dan tidak peduli akan politik.
“Kita adalah Rangga, dan negara ini adalah Cinta,” ujar Jal Jerusallam seorang sahabat saya yang turun ke jalanan membaur dengan massa aksi di Bandung, Senin (25/9) kemarin.
Tak hanya Jal, dalam beberapa panggung aksi yang berhasil dibidik dan dishare di media sosial, beragam risalah tertulis pada kertas bertuliskan kritik partisipatif versi revolusi mental… eh Gen-Z.
Beragam isu mereka kemas dengan kalimat metaforik, semiotika dimainkan dan kretifitas tidak hanya tentang yel-yel atau nyanyian, “This Planet is Getting Hotter than Sebastian Stan”. Lalu hal lainnya, tak hanya isu krusial semata, isu lain pun mereka kemas dengan kritik yang menarik, seperti ketika kampus melarang mahasiswanya aksi, tak ingin membawa almamaternya, atau memang masih STM, beberapa massa aksi memilih turun ke jalan lengkap dengan dandanan anak-anak STM yang biasa diidentikkan dengan kaum-kaum yang suka tawuran. Hal ini tentu bukan asal-asalan semata, ada metafora di balik semua cara mereka turun ke jalan.
Kenapa Gen-Z Semakin Ramai Turun ke Jalan?
Kita pasti bertanya-tanya, namun jawabannya hanya satu, yakni karena kepentingan ini adalah isu psikologis yang membuat mereka sadar secara kolektif untuk menyuarakan keberatan. Dan itu sah-sah saja, karena yang gak sah adalah ketika oknum tertentu yang katanya mengayomi dan melindungi masyarakat tetapi membabi buta memukul mahasiswa yang sedang demo. Toh mau seperti apa pun, apa harus sampai meluapkan emosi seperti itu?
Efek dari isu psikologis inilah kemudian secara nasional ditanggapi dengan kesadaran bersama, meski sebagian memilih diam bukan berarti kita bebas memperolok-olok mereka yang di jalan dengan propaganda mereka disusupi agenda oposisi.

Perihal hewan peliharaan RKHUP bisa membuat kita bermasalah dengan hukum. Sumber Twitter
“Manusia telah menaklukkan seluruh bangsa, tetapi semua pasukannya tidak bisa menaklukkan cinta” tulis Emma Goldman puluhan tahun yang lalu, dan kini mahasiswa kembali turun ke jalanan bukan untuk menurunkan pemerintahan tetapi mengawal cara mereka mengambil keputusan.
Jika kemudian tetap bergulir narasi bahwa mereka mahasiswa disusupi agenda-agenda terselubung komplotan tertentu yang menyasar pemerintahan, ya itu hal yang apa pun bisa muncul di jalan dan di permukaan, tetapi apa layak mempertontonkan kekerasan dan pemukulan?
Mereka Gen-Z, genarasi-generasi yang kecewa bukan karena cinta yang pupus oleh mantan, tetap cinta yang hancur karena ketidaksetujuaan akan DPR yang menciptakan UU memperburuk keadaan, dari sisi pandangnya.