Penyondong mengangkat alat sondongnya menunggu ombak di Teluk Keriting, Tanjungpinang. PELANTAR.ID/Joko Sulistyo

Cuaca buruk mungkin  menjemukan bagi sebagian orang. Namun tidak untuk sebagian warga yang tinggal di Pesisir Teluk Keriting, Tanjungpinang. Saat ombak tinggi dan gelombang kuat, mereka memanfaatkannya untuk menjaring udang yang terseret arus ke tepian. Menggunakan alat sederhana, sondong.

Desir angin menderu, menepuk dedaunan basah dan menghempaskan butiran air yang menempel di permukaannya. Pesisir Teluk Keriting, Tanjungpinang suatu sore di awal tahun. Hembusan angin sedang kuat-kuatnya, membawa gelombang tinggi ke bibir pantai. Langit belum lagi selesai mengguyur permukaan bumi, sisa rinai hujan masih turun, rapat, lembut. Belasan orang menatap lepas ke arah laut dari sebuah kedai kopi yang beratap tanpa dinding di sisi-sisinya.

Suara logam dan kaca beradu, dengan tempo cepat berulang, menebar aroma robusta bercampur wanginya kau krimer yang menyublim bersamaan dengan uap dari secangkir kopi yang diaduk. Bangunan benbentuk pendopo menghadap ke laut, dengan tiang-tiang kayu bulat menaungi meja-meja dan kursi-kursi yang dipergunakan sejumlah pengunjung kedai untuk menyeruput minuman hangat dan menyantap aneka kuliner.

Bauran aroma rempah, kopi, lemak susu bertambah kompleks ketika angin menerpa menghantar dingin dan sisa lembab hujan. Ya, aroma laut, aroma ganggang yang mengering. Satu dua riak kecil air terdorong mencium bibir pantai dan tanggul batu belah. Arusnya lemah, hanya terdorong oleh gelombang dari baling-baling di buritan kapal penumpang berwarna putih yang mendekat, berbelok haluan mengarah ke pelabuhan Sri Bintan Pura.

Lamat-lamat, dari kelabunya laut yang menyembunyikan horizonnya, satu, kemudian dua titik hitam mendekati pantai yang airnya surut hingga puluhan langkah jauhnya. Bunyi mesin bensin menurun, saat perahu itu mulai kandas lunasnya, mengacaukan lumpur di dasar perairan yang menyisakan keruh.

Tidak kurang dari tiga orang yang ada di atas sampan kayu bermesin tempel itu terlihat berdiri, bercakap satu sama lain. Mengenakan kaus lengan panjang, celana pendek dan kaos kaki sepakbola sebatas lutut. Sedikit melompat, mereka turun dari perahu, kemudian berbalik dan mencondongkan badan ke bagian dalam perahu.

Sekejap kemudian, mereka mengambil benda terikat sepanjang tombak dari lambung perahu. Berturut-turut, terlihat mereka membuka ikatan, merenggangkan kayu panjang berbentuk piramida dengan puncak terbalik dan kelambu di tengahnya, menyerupai bentuk huruf V.

Gerimis masih turun, air laut menjauhi daratan dan orang-orang dengan piramida kelambu tiba susul menyusul. Dari sebelah kedai kopi, seorang perempuan mendekati paruh baya memasangkan kaus kaki tebal sebatas lutut, membungkus sepatu kanvas semata kakinya.

Wati memungut udang yang terperangkap di sondongnya. PELANTAR.ID/Joko Sulistyo

“Banyak beling, di lumpur, harus hati-hati,” perempuan bernama Wati itu mengingatkan pelantar.id yang mendekatinya dari arah kedai kopi.

Wati, ibu rumahtangga dengan empat anak itu adalah warga Teluk Keriting, pemukiman nelayan yang berada di sisi barat Pulau Bintan, menghadap ke Pulau Penyengat.

Hujan yang mengguyur Tanjungpinang tanpa henti sejak malam hari sebelumnya tidak membuat laut ingkar janji. Surut air laut adalah panggilan bagi warga perkampungan itu untuk mendulang berkah dari deburan kecil ombak yang terdorong kapal-kapal cepat yang melintas.

Bertahun-tahun, Wati membantu ekonomi keluarga dengan cara turun ke laut yang surut, menjaring udang dan kepiting yang hanyut ke daratan terbawa ombak.

“Laut di sini ada jadwal surutnya, tidak tentu waktunya, tapi pasti surut,” kata Wati menjelaskan.

Secara ilmiah, laut surut memang tidak dipengaruhi turunnya hujan, melainkan gravitasi bulan dan matahari. Wati dan keluarganya mungkin hanya memanfaatkan fenomena alam itu dengan ilmu titen, atau membaca tanda. “Saat surut, udang biasanya banyak, kadang kepiting juga ada,” ujarnya.

Perairan Teluk Keriting adalah perlintasan kapal-kapal besar, baik kapal dagang, nelayan, maupun kapal penumpang dari Dabo, Singkep, Daik, Karimun, Batam, bahkan Malaysia dan Singapura. Laju kapal feri cepat yang melintas menyisakan gelombang artifisial yang dapat menyebabkan erosi. Kendati begitu, alih-alih mempermasalahkan, warga setempat justru menyesuaikan diri dengan membangun rumah-rumah bertiang sehingga ombak dapat melintas. Selain itu, biota laut yang terseret arus menepi menjadi berkah tersendiri.

“Sehari paling-paling tiga jam kami nyondong,” ungkap Wati.

Nyondong, berasal dari kata Sondong yang berarti alat tangkap ikan berupa kelambu atau jaring yang dipasang pada dua bilah kayu bulat yang dibentuk seperti piramida dengan pegangan di puncaknya.

Pekerjaan menyondong bukanlah mata pencaharian utama warga, wajar jika aktifitas itu kebanyakan dilakukan oleh kaum ibu, setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Sondong didorong dengan bagian kaki piramida yang berjaring itu menyisir dasar air dangkal, saat ombak menuju daratan. Kaki-kaki Wati harus berupaya keras keluar dari benaman lumpur liat, mendorong sondong bolak-balik sejajar garis pantai.

Awalnya, nyondong hanya dilakukan warga untuk mencari tambahan lauk untuk bersantap sekeluarga. Seiring jalannya waktu, hasil nyondong kadang melebihi kebutuhan dan tidak semuanya dapat dihabiskan sendiri. “Sekali turun, kadang bisa dapat dua kilo udang, tak habis buat sendiri, sebagian dijual jadinya,” tutur Wati seraya memungut udang dari sondong dan memindahkan ke kantung beras yang disandang di pinggangnya.

Sondong digunakan dengan cara mendorongnya melawan arus ombak. PELANTAR.ID/Joko Sulistyo

Segenggam demi segenggam udang berwarna pucat, hampir transparan itu berpindah ke kantung. Wati dan banyak rekannya bekerja berjauhan, memiliki lintasan masing-masing. Sesekali mereka bertemu di tengah, bercakap sambil memindahkan perolehan mereka masing-masing.

Pekerjaan nyondong sudah dilakukan Wati dan sejumlah tetangganya selama bertahun-tahun. Tidak hanya warga Teluk Keriting, namun beberapa warga dari daerah lain juga kerap menyondong, di lokasi itu. Mereka datang menggunakan perahu-perahu, tanpa harus berebut mereka beroleh rezeki masing-masing.

“Yang penting usaha, rezeki sudah masing-masing, ada yang atur itu,” ungkap salah seorang pria, tetangga Wati yang juga turun nyondong sore itu.

Laut memberikan banyak penghidupan kepada siapapun yang mau berusaha. Hal itu melekat betul pada benak warga pesisir Ibukota Kepri itu. Warga bahkan tidak keberatan para pehobi pancing menitipkan kendaraan roda dua di teras rumah panggung mereka yang menyatu dengan pelantar dari papan kayu saat hendak memancing. Silih berganti, pemancing dengan penyondong memetik peruntungan mereka di Teluk Keriting memanfaatkan pasang surut air laut. Aneka jenis ikan seperti lebam, kerapu, selar dan kakap yang terdapat di perairan itu seperti tidak ada habisnya dipancing setiap hari.

Perairan Kepri merasakan langsung perubahan yang terjadi, setelah pemerintah memperketat pengamanan wilayah laut dari nelayan asing. Mereka menyebut, sejak pemerintah memburu nelayan asing yang kerap beroperasi di Perairan Kepri, pendapatan mereka berangsur membaik.

Saat cuaca tak bersahabat saja, dalam tiga jam mereka dapat mengantongi pendapatan setara pekerja bangunan di Pulau Jawa dalam satu hari hanya dengan mengais udang, beberapa langkah dari pelantar rumahnya.

Dalam satu hari, keluarga dengan tiga orang penyondong minimal mampu menghasilkan 5 kilogram udang segar selama tiga jam kerja. Udang yang dihasilkan sebagian besar berukuran sebesar jari kelingking orang dewasa. Setiap satu kilogram, pengepul yang datang ke kampung membeli dengan harga Rp40 ribu. Tidak kurang dari duaratus ribu rupiah uang tambahan dapat diperoleh sebuah keluarga, saat musim udang dan laut surut beberapa jam. Jumlah pendapatan akan lebih tinggi jika penyondong dapat mempertahankan udang tetap hidup saat dijual. Pasalnya, udang hidup banyak diburu para pehobi pancing sebagai umpan. Harganya bisa mencapai dua kali lipat dari harga beku.

Hasil dari udang belum ditambah dengan hasil penjualan ikan ataupun kepiting yang harganya beragam. Namun, kebanyakan keluarga akan mengkonsumsinya sendiri ikan dan kepiting maupun udang jika hasinya tidak banyak.

Pesisir Teluk Keriting telah ramai orang nyondong dan berburu gonggong. Dasar laut yang mengering menebar bau amis, sampah rumah tangga dan barang bekas terlihat dikerumuni lalat. Sejumlah anak dan wanita tua mengais-kais binatang laut, dan mengumpulkannya di kantung plastik.

Wati berjalan menepi, tas karung berasnya sudah terlihat menggembung, meneteskan air yang membasahi baju kausnya. Tidak sampai dua jam, ia telah mengumpulkan sekira 2 kilogram udang dan beberapa kepiting bakau ukuran kecil.

“Istirahat dulu, tunggu suami,” ucapnya seraya menunjuk ke arah seorang laki-laki yang ada jauh dari bibir pantai.

Ombak demi ombak datang bergulung menyusul hilangnya deru mesin kapal penumpang yang melaju dengan kecepatan sedang. Tegakan demi tegakan sondong berlalu, setelah langkah-langkah berat kaki berkaus yang terbenam lumpur.

Sekira tiga jam, seperti penuturan Wati, penyondong wanita telah naik ke daratan. Tersisa sejumlah penyondong pria, melaju pelan membelah air yang mulai pasang hingga sebatas pinggang.

Sejumlah warga memanfaatkan cuaca buruk untuk menyondong udang di Teluk Keriting, Tanjungpinang. PELANTAR.ID/Joko Sulistyo

“Saya duluan pulang, sudah dapat lumayan,” ujar Wati.

Setelah berpamitan, ia melangkah menuju rumahnya yang tak jauh dari tempat itu. Di perairan, masih bertahan sejumlah penyondong, bahkan bertambah dengan pria-pria yang memanggul jala tebar. Para pemancing mulai berdatangan, duduk dan mengepulkan asap di pelantar yang menjorok ke laut, menanti air pasang.

Saat air naik menyisakan jarak sempit dengan papan pelantar, penyondong telah pulang seluruhnya, berganti dengan mereka yang menggunakan jala tebar, menangkap ikan.

Aktifitas keseharian penyondong Teluk Keriting itu akan bermuara pada deretan tiang bambu yang dipasang miring, menyerupai umbul-umbul. Udang-udang segar yang menghitam digantung dalam kantung-kantung jaring. Pedagang udang yang berjualan di depan Gedung Arsip dan Perpustakaan Kota Tanjungpinang mendapatkan pasokan dari para penyondong. Beberapa bahkan penyondong itu sendiri yang langsung menggelar daganyannya.

“Beli sekilo, untuk umpan pancing,” ungkap seorang pria sambil memilih bungkusan udang yang tersusun menggantung pada bambu.

Teluk Keriting adalah salah satu potret kekayaan Indonesia, menyuguhkan harmoni dan keindahan secara bersamaan. Laut menghidupi siapa saja yang berupaya dan mau bekerja. Menjelang senja, langit kelabu berobah semburat kekuningan, membias cahaya emas. Kedai kopi semakin ramai, musik reggae, kopi, teh, dan bau prata dimasak berebut menyergap panca indera. Melengkapi lansekap air yang menampilkan horizon tipis sejauh mata memandang. Bahkan yang tidak berbekal sondong, jaring, jala, joran dan sampanpun masih dapat memetik manfaat keindahan, laut Teluk Keriting.

Joko Sulistyo