Georges Melies muncul di mesin pencari google sebagai doodles hari ini. Bapak ilusi, fantasi dan perfilman asal Perancis itu mungkin tidak terlalu akrab dengan sebagian orang.

Penggemar sinema tentunya tidak asing dengan efek khusus nan dramatis, mendekati fantasi. Berbagai teknik mutakhir perfilman yang dapat disaksikan di layar proyeksi bioskop maupun layar tiga perempat televisi, tayangan via internet dari berbagai kanal di YouTube, dan medium lain tentu menawarkan pengalaman beragam dengan dramatisasi, pengadeganan, pengarahan gerak layar, pergerakan kamera dan berbagai teknik membuat film.

Penggemar sinema akan menstempel sebuah film menjadi film kelas tiga, film murah dan berbagai macam predikat sepele untuk karya yang boleh jadi diproduksi terlalu biasa. Meskipun tidak etis, namun penonton tetaplan raja. Mereka berhak kecewe ketika Stark, Hulk, Optimus Prime, atau Thor bergerak patah-patah dengan setting artistik yang terlihat miniatur layaknya pertempuran era Gundam, Voltus, atau Power Ranger.

Atau, penonton pasti akan mencibir jika Quentin Tarrantino menerjemahkan konsep visualnya hanya seperti komik, kemudian Lord of The Ring, The Mummy, dan beragam film kolosal lainnya hanya dieksekusi minim efek, layaknya film kekurangan budget.

Efek gahar, ledakan, manusia terbang, dunia bawah air, hingga pertempuran canggih ala The Matrix mewabah dari Hollywood hingga Bollywood, merambah ke berbagai episentrum perfilman di dunia. Sampai titik itu, mungkin tidak banyak yang menyadari awal berbagai teknik mutakhir itu tercipta.

Jauh sebelum era film menjadi berwarna, bersuara dan menggetkan penonton secara dramatis, Marie-Georges-Jean Melies memulai sejarah perfilman moderen pada awal tahun 1900-an. Dua tahun sejak abad dimulai, Melies menciptakan sebuah film yang lebih dari layak disebut pionir untuk film dengan efek visual khusus dengan karyanya A Trip to the Moon (1902) dan The Impossible Voyage (1904) di Paris, Perancis.

Pertunjukkan Melies, Unhome de Tetes. foto/net

Kendati belum bersuara layaknya film era kekinian, karya Melies itu merupakan tonggak dimulainya era melebih-lebihkan visual, untuk memompa adrenalin penonton. Perkembangan teknologi perfilman berjalan pesat, seiring dengan temuan-temuan teknologi yang berangkat dari pemikiran dan teori sang penyihir, Thomas Alva Edison puluhan tahun sebelum Melies. Kini, sebuah film, terutama genre laga, akan hambar tanpa efek visual khusus, untuk menjembatani referensi penonton dengan ide cerita. Produser dalam industri film bahkan menanamkan uang yang tidak sedikit untuk membuat filmnya realis, bahkan hyperrealistic.

Melies adalah seorang ilusionis yang multitalenta. Era itu mungkin belum seperti saat ini, di mana kekhususan keahlian seseorang menjadi nilai tinggi dalam sebuah profesi. Namun Melies tetaplah seorang pendahulu, pembuka jalan bagi sesuatu yang saat ini menjadi tropi kebanggan para pekerja profesional, spesialisasi.

Berangkat dari seni pertunjukkan panggung, Melies yang juga menekuni berbagai profesi mulai pelakon, sutradara, desainer panggung, penata busana, hingga pembuat mainan anak-anak itu adalah orang pertama dan mungkin satu-satunya yang tercatat meletakkan berbagai teknik produksi film.

Sebut saja teknik substition splices, sebuah teknik untuk memunculkan dan menghilangkan aktor, set panggung, atau properti artistik dari layar dengan mereduplikasi objek. Melies memukau penguncung bioskop kala itu dengan teknik temuannya itu.

Pada tahap awal praproduksi film, Melies sang pesulap itu adalah orang pertama yang mengaplikasikan storyboard. Hingga kini, seorang mahasiswa perfilman bahkan wajib dari awal mengenal dan mampu membuat storyboard yang berfungsi sebagai titik patokan pengambilan gambar. Meskipun terkesan kuno oleh teknologi instan yang tidak lagi memikirkan mahalnya material seluloid, namun meminjam Leo Burnett, -desain memang bukanlah segalanya, namun segala sesuatu pasti terdesain- storyboard akan meringankan pekerjaan pengambilan gambar, jika diterapkan secara betul.

Karya ilusi Melies. foto/net

Kemudian pada fase paskaproduksi, dia juga orang pertama yang menggunakan timelapse photography sekaligus menjadi pelopor penggunaan teknik transisi lembut pada proses editing yang dikenal dengan dissolve. Alih-alih menggunakan teknik cut to atau intercut, Melies memamerkan perpindahan dari gambar ke gambar berikutnya secara lembut, sesuai dengan tangga dramatikal demi menjaga emosi penonton.

Medium pita seluloid masih orthocrhomatic, baru dapat merekam sinar biru dan hijau sehingga belum memungkinkan untuk menangkap citra secara berwarna kala itu. Melies menunjukkan betapa visionernya, dengan melompati capaian teknologi secara radikal. Pada fase ini, Melies secara nakal mengaplikasikan teknik yang mungkin cukup baru, hand-painting color pada medium proyeksi. Teknik membuat warna artifisial itu adalah pengembangan dari temuan Thomas Alva Edison yang dipamerkan melalui sebuah karya Annabelle’s Dance untuk Kinestoscopes (bioskop intip individual) pada 1895.

Berbagai capaian Melies pada awal perkembangan teknologi film tidak hanya mempengaruhi teknis produksi dan tampilan semata. Pria kelahiran Paris, 8 Desember 1861 itu hingga akhir hayatnya pada 21 Januari 1938 menempati posisi prestisius pada sejarah perfilman, sebagai pelopor yang mempengaruhi genre film. Dengan teknik mendekati fantasi kala itu, Melies adalah pencetus genre film fiksi ilmiah, sebuah lompatan besar dunia perfilman di zamannya.

Pembelajar yang Salah Jalan

Melies adalah satu dari jutaan orang yang sukses tidak melalui pendidikan formal, namun dibentuk oleh perjalanan hidupnya. Anak pembuat sepatu yang dilahirkan oleh seorang ibu berkebangsaan Belanda, Johannah-Catherine Schuering itu awalnya diharapkan mengikuti jejak keluarga pengusaha. Melies bahkan mendapat catatan sebagai murid yang tidak dapat membuat sesuatu yang artistik dari gurunya di sekolah dasar. Namun minat adalah modal Melies yang terbesar. Bakat dan ketekunan adalah sepasang formulasi menuju karir perfilman dan panggungnya. Saat menempuh pendidikan lanjut setingkat SMP di Lycee Louis le Grand, dia kerap dihukum karena mencoret-coret buku dengan berbagai gambar tidak jelas, dan tidak menulis.

Minatnya tak terbendung, Melies kecil yang saat itu baru berusia 10 tahun membuat wayang dengan kertas bekas dan membuat panggungnya sendiri. Pada usia semuda itu, dia telah memiliki bioskop mini marionettes, sebuah teknik pertunjukkan wayang Eropa yang digerakkan dengan tali dari bagian bawah panggung.

Studio Melies. foto/net

Melies muda menghabiskan tiga tahun masa remajanya dalam wajib militer. Dia juga sebelumnya telah membantu saudaranya untuk menjalankan bisnis sepatu. Selepas sekolah pada 1880, ayahnya mengirim Melies ke London untuk membantu perusahaan rekanan sebagai seorang jurutulis. Melies tetaplah Melies, pria muda eksentrik yang memiliki ketertarikan besar pada panggung dan visual.

LIma tahun berada di London, Melies justru mendapatkan habitatnya. Dia rutin mengunjugi Egyptian Hall, sebuah gedung pertunjukkan yang kerap menampilkan atraksi sulap. Di tempat itulah Melies muda mulai mengembangkan minatnya pada sulap. Sepulang dari London pada 1885, Melies menolak perjodohan dan mendaftar di Ecole des Beaux Arts, untuk belajar melukis. Alih-alih menerima perjodohan dengan ipar saudaranya, dia kemudian menikahi Eugenette Genin, gadis impian yang memberinya dua anak, Georgette dan Andre.

Pernikahan denga Genin adalah awal perjalanan Melies di dunia panggung. Dengan uang warisan istrinya, dia membeli sebuah gedung pertunjukkan yang hampir bangkrut, namun memiliki berbagai set lampu, rel, tirai layar dan beberapa perlengkapan mekanis lainnya. Kemudian, dia juga mulai membuat puluhan pertunjukkan ilusi. Selain itu, dia juga masih rutin belajar dari panggung ke panggung dari para ilusionis dan pesulap seniornya.

Terbius Lumiere, Menjejak Film

Mendekati akhir dekade 1880, Auguste Marie Louis Nicolas dan Louis Jean atau sohor dikenal sebagai Lumiere bersaudara mengadakan pameran kamera temuannya berkeliling. Kamera yang berfungsi sekaligus sebagai proyektor itu membius Melies yang langsung menawar sebesar 10.000 Franc. Namun dengan alasan masih akan dikembangkan, Lumiere menolak tawaran itu, seperti halnya tawaran sejumlah pihak, termasuk museum lilin Musee Grevin dan Folies Bergere senilai 20 ribu dan 50 ribu Franc.

Melies menginginkan temuan Lumiere itu untuk menghidupkan gedung pertunjukkan yang baru dibelinya dengan uang warisan istrinya. Gagal mendapatkan alat canggih itu, Melies kemudian pergi ke London untuk membeli Animatograph, sebuah alat serupa proyektor yang diproduksi oleh Edison Manufacturing Company milik Thomas Alfa Edison beserta beberapa filmnya. Dari modal itulah Melies kemudian memasuki bisnis bioskop yang berjalan beberapa tahun berikutnya.

ilusi visual karya Melies. foto/net

Melies tidak berhenti. Saat bioskopnya mulai tumbuh, dia terus berupaya memimpin pasar dengan terus memburu temuan-temuan teknologi baru. Cukup lama gedung pertunjukkan Melies bertahan dengan proyektor yang bahkan oleh dia sendiri dijuluki sebagai mesin giling kopi, karena getar dan suara yang ditimbulkan. Berpikir pengembangan, Melies tidak membuang kesempatan membeli kamera dan proyektor baru saat sebuah perusaah film pertama di dunia, Gaumont memasarkan kamera buatannya. Pada saat itu, Lumiere bersaudara juga telah melempar produk kameranya ke pasaran. Melies melakukan aksi cuci gudang dan memborong barang baru.

Rentang tahun 1896 hingga 1913, Melies menggila dengan menelurkan lebih dari 500 judul film yang dia garap sendiri. Sebuah pencapaian yang bahkan mungkin sulit disamai oleh rumah produksi era kini. Meskipun memiliki durasi terpanjang hanya 40 menit, dan terpendek hanya satu menit, namun pencapaian Melies nyaris seluruhnya adalah renik sejarah perfilman yang memperbaharui sinematografi. Pada film-film karyanya, Melies kerap memamerkan teknik-teknik yang cukup aneh kala itu, seperti multiple exposure, yang mungkin produk era digital saat ini pun harus menunggu satu abad lebih untuk sejajar.

Trip to The Moon, karya special effect ikonik Melies, 1920. foto/net

Nama Melies terus berkibar, menjadi bahan diskusi menarik yang muncul di kelas-kelas kreatif di Eropa dan Amerika. Penjualan kopi film dan cetakan karya Melies terus meroket. Namun Melies tetap tidak pernah kehilangan dahaga terhadap teknik pertunjukkan panggung dan film. Pada awal tahun 1902, dia mulai bereksperimen dengan pergerakan kamera. Awalnya dia menaruh kameranya di atas kursi kemudian menggerakkan maju mundur seraya merekam. Saat ini, teknik main-main ala Melies itu sudah sangat lazim dan menghasilkan temuan dolly track, baik lurus maupun lengkung. Selain itu, dari ide sederhana itu pula, generasi gambar tiga perempat dan YouTube dapat menikmati angle dan camera movement yang diaplikasikan cukup gila-gilaan saat ini.

Melies tidak selalu sukses, atau mungkin hanya beralih ketertarikan. Menjelang akhir hayatnya, dia hidup dengan menjual permen dan mainan anak-anak buatannya di Montparnasse Station, salah satu stasiun kereta api di Paris. Dia menghabiskan masa tua bersama seorang wanita simpanan yang kemudian dinikahinya.

Karya Melies baru menjadi penelitian serius setelah karirnya meredup. Sekelompok jurnalis dan peneliti berkeliling mengidentifikasi dan mengumpulkan ratusan karya Melies dari berbagai tempat. Melies meninggal pada usia 76 tahun akibat menderita kanker.

Joko Sulistyo