Oleh: HM. Chaniago

Vox populi vox Dei–atau–suara rakyat adalah suara Tuhan – Alcuin

Pelantar.ID – Hari-hari yang penuh perjuangan bagi orang-orang yang berpartisipasi untuk Gejayan hingga Senayan. Dengan segala perjuangan bagi mereka yang berteriak lantang disiram watercannon dan tembakan gas air mata.

Membaca aksi ini, membaca langkah yang sedari awal diiniasi oleh puluhan ribu mahasiswa di Pulau Jawa bersama massa aksi dari kelompok sipil petani, buruh dan lainnya, hingga gerakan ini pun mengakar menuju kota-kota besar lain di Indonesia.

Turut berpartisipasinya pelajar juga menujukkan bahwa suara kegelisahan itu semakin menyatu padu walau banyak yang melayangkan pandangan-pandangan kotroversial akan kemunculan anak STM. Tudingan-tudingan ditunggangi agenda-agenda bermuatan politis terus mengemuka terutama dari buzzer-buzzer istana.

Membuat kita lupa–mengutip tulisan di mojok.co berjudul “GERAKAN ANAK STM DIREMEHKAN, PADAHAL PERJUANGAN PELAJAR SUDAH ADA SEJAK DULU”–bahwa periode 1970 pernah diwarnai oleh gerakan anak STM yang tergabung dalam Ikatan Peladjar STM.

Mereka mogok sekolah, menuntut dibukanya kesempatan praktik. Hal ini menunjukkan bahwa demo mereka bukan hanya untuk mencari ajang huru-hara semata, tetapi juga demi bisa belajar menyampaikan kegelisahan.

Sementara itu, menarik lebih jauh fenomena pergerakan ini ke daerah, semisalnya Kota Batam. Aksi turun ke jalan turut menjadi warna demokrasi di tengah pergerakan mahasiswa yang selama ini matisuri. Meski dalam hal ini terlihat penuh sekat dan cara yang berbeda dengan tujuan yang sama, yakni sama-sama menolak Revisi UU KPK dan menolak pengesahan RKUHP ngawur yang terkesan digesa-gesa pengesahannya.

Apresiasi tetap layak kita layangkan pada jiwa-jiwa yang selama ini matisuri tersebut. Kembali menelusuri pergerakan, aksi pertama mahasiswa di Batam diiniasi oleh Politeknik Kota Batam, turun ke jalan Senin (23/9) lalu dengan massa ratusan lebih mahasiswa dari segala jurusan dan organisasi intra kelembagaan BEM Poltek.

Longmarc mereka berjalan kondusif dengan 3 poin utama tututan; yakni (1) menolak UU KPK hasil revisi, dalam hal ini mereka mendukung agar segera dilayangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. (2) meminta Presiden RI untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) pengganti UU, sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011. (3) meminta Presiden dan DPR untuk melakukan penundaan terhadap upaya pengesahan revisi UU atau produk hukum lainnya, hingga dilantiknya DPR masa pengurusan yang baru. Hanya sayang, kabar burung berseliweran bahwa poin tuntutan mereka disebutkan tak dilayangkan pihak legislatif hingga ke Jakarta (perihal ini masih perlu dikonfirmasi kebenarannya).

Meski begitu, Poltek Batam bukanlah gerakan sadar keresahan pertama yang turun di kota Batam, LSM Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak) sebelumnya pada hari Kamis (19/9) melakukan aksi teatrikal di kantor DPRD Batam, namun lebih hanya sebatas dalam bentuk penolakan revisi undang-undang Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Hingga, tuntutan yang lebih komplek tak hanya tentang penolakan UU Revisi KPK, memang digaungkan oleh Poltek.

Gerakan Pun Terus Berlanjut

Di sambut guyuran hujan di Senin (30/9/) pagi yang mulai menderas, ratusan gabungan mahasiswa kota Batam terdiri dari STT dan STAI Ibnu Sina, Uniba, UPB, Stikom Muhammadiyah, STIQ Batam, serta solidaritas lainnya mahasiswa dari organisasi eksternal di bawah bendera HMI, KAMMI, dan IMM berarak bersama menyisiri jalan yang semakin basah dari titik kumpul mereka, Masjid Agung, Batam Center. Di tengah derasnya hujan, mereka semangat membawa atribut kampanye dari baliho dan kertas-kertas di tangan bertulisan kalimat-kalimat aksi.

Menyambut kedatangan massa aksi, ratusan lebih aparat kepolisian disiagakan di depan kantor DPRD kota Batam demi satu tujuan, agar aksi berjalan kondusif. Terpantau kendaraan Baracuda juga turut disiagakan, hingga mobil yang membawa pagar kawat berduri diprayitnakan di pinggir jalan.

“Untuk mengamankan aksi ini, sebanyak 325 personel diturunkan,” ujar Kapolresta Barelang, AKBP Prasetyo Rachmat Purboyo di depan gedung DPRD kota Batam.

Sementara itu, isu yang berseliweran sedari awal bahwa kegiatan mahasiswa disebutkan ditunggangi oleh agenda-agenda tertentu dan memicu konflik (kerusuhan), selama orasi dijawab tuntas oleh mahasiswa yang mana kegiatan berjalan aman dengan konteks #MosiTidakPercaya mereka kepada anggota DPR.

“Ini alasan kami menolak ikut konsolidasi dan tidak memilih duduk di dalam mendengarkan basa-basi DPR. Aksi kami lebih kepada Mosi Tidak Percaya akan legislatif,” terang Kasyanto, Koordinator Humas Gabungan Mahasiswa.

Turunnya gabungan mahasiswa ini disebutkan Guntur Gumilang, Ketua Kordinator Aksi yakni menegaskan tuntutan-tuntutan yang sama dengan mahasiswa lainnya di Jakarta, yakni; (1) menolak keputusan revisi UU KPK yang telah disahkan. (2) menolak adanya revisi RUU KUHP, di mana terdapat beberapa pasal-pasal yang sangat ngawur. (3) meminta pemerintah untuk tegas mencabut izin koorporasi dari perusahaan- perusahaan yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.

“(4) mengimbau agar mencabut dan memecat Menteri Lingkungan Hidup karena membiarkan adanya kebakaran hutan yang berlarut-larut. (5) mengutuk tindakan di mana terjadinya korban jiwa dari mahasiswa saat menyuarakan aksi-aksi penolakan di seluruh wilayah Indonesia,” terang Guntur.

 

Salat Ghaib di Tengah Guyuran Hujan

Di sela penghujung aksi gabungan mahasiswa, shalat ghaib turut mereka adakan di tengah guyuran hujan yang semakin deras. Shalat diadakan di tengah jalan persis di depan gedung pejabat-pejabat DPR yang saat itu juga sedang berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang memilih jalur konsolidasi, karena merasa turun ke jalan bukan cara mereka.

Sementara itu, mahasiswa mengatakan shalat ghaib ini sengaja dilaksanakan untuk mendoakan rekan-rekan sesama mahasiswa, yakni Randi (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19) yang meninggal dunia karena aksi represif pihak kepolisian di Kendari, Sulawesi Utara . Hal baiknya shalat ghaib ini juga turut dilakukan oleh Kapolsek Batam Kota berserta Kasat Shabara Polresta Barelang.

Selesai shalat, pesan pun kembali mereka tegaskan kepada pihak kepolisian untuk stop melakukan tindakan represif terhadap para demonstran, dan mengimbau kepada pemerintah untuk mengusut tuntas siapa pelaku penembakan hingga jatuhnya korban jiwa di pihak mahasiswa.

“Kami pastikan di sini, kami menekankan, dengan adanya korban dari teman teman di Kendari sebanyak dua orang dan salah satu korban mengalami luka tembak. Kami tegas mengutuk tindakan represif pihak kepolisian dan meminta untuk mengusut tuntas siapa yang melakukan pembunuhan terhadap teman-teman mahasiswa yang ada di Kendari,” tegas pemimpin massa aksi.

Sementara itu, meski di tengah jalan berdiri tegas bersama-sama, sebagian mahasiswa yang mayoritas dari Universitas Riau Kepulauan (Unrika) memilih aksi dengan cara berbeda. Mereka masuk ke dalam gedung DPRD kota Batam menerima tawaran pejabat legislatif untuk duduk bersama di ruang rapat dewan sembari berdiskusi menyampaik apa yang ingin mereka sampaikan secara bersama.

Menggapi hal itu, mahasiswa yang memilih aksi di jalanan di tengah guyuran hujan tidak ingin terlalu sibuk-sibuk menanggapi cara sebagian rekan mereka sesama mahasiswa. Ini hanya sebatas cara dan metode aksi yang berbeda, meski sebagian terkesan memilih aman seperti yang di sampaikan salah seorang mahasiswa Unrika pagi itu.

“Hari ini kami menghargai teman teman yang ada di dalam gedung DPRD Batam. Silakan berjuang sebagaimana yang teman-teman pikirkan itu benar. Namun kami aksi di sini turun di jalan untuk menyampaikan bahwa kami peduli dengan teman teman yang telah gugur,” tegas Guntur.

Bagi massa aksi yang berada di jalan, mereka hanya ingin menunjukan bahwasanya intimindasi terhadap teman-teman mahasiswa, bahkan ada yang terlindas barakuda, ada yang mati tertembak, itu adalah penekanan utama aksi yang ingin mereka sampaikan.

“Kami ingin menghimbau kepada teman teman kepolisian untuk mengusut tuntas. Apabila tidak dapat mengusut tuntas, kami sepakat meminta Kapolri diganti,” tegasnya lagi.

 

Aksi Tandingan yang Terkesan Lelucon Jalanan.

Selain aksi yang dilakukan mahasiswa dan LSM Gebrak yang sepakat untuk menolak undang-undang revisi KPK dan #TolakRKUHP, aksi tandingan serupa dari Angkatan Muda Majelis Dakwah Islamiyah (AM-MDI) yang berafiliasi ke Partai Golkar ini juga turut mewarnai jalanan kota Batam.

AM-MDI juga menggelar aksi damai namun mendukung adanya perevisian UU KPK. Aksi diadakan persis sama dengan aksi lainnya, yakni di depan kantor DPR Kota Batam yang menjadi pusat segala kegelisahan berkumandang. Massa AM-MDI turut oada hari Selasa (24/9) lalu, parodi jalanan ini diduga banyak orang memakai massa bayaran yang mana 3 bus bimbar Dapur-12 dikerahkan membawa massa aksi dari Tanjunguncang.

Dalam aksinya, secara ringkas massa AM-MDI menyatakan mendukung DPR RI yang telah mengesahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aksi mereka hanya berlangsung selama 45 menit yang mana massa aksi lebih banyak duduk sembari merokok dan seselai beberapa orang di belakang mereka berteriak agar massa lainnya juga ikut berteriak.

Massa aksi dalan demo tandingan ini terpantau diikuti dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari anak balita hingga orang dewasa. Namun, beberapa di antara massa terang-terangan mengaku tidak mengetahui tujuan aksi tersebut, membela KPK atau mendukung revisi UU KPK versi DPR.

“Saya diajak sama tetangga, lumayan buat tambah-tambah. Katanya sih (dikasih) Rp 50 ribu, tapi tidak tahulah dapat berapa nanti,” kata salah seorang warga Tanjunguncang, yang turut mengajak anaknya dalam aksi mendukung RUU KPK di depan DPRD Batam.

 

Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Riuhnya massa yang semakin ramai turun ke jalan menyuarakan protest mereka terhadap sikap parlemen yang terkesan terburu-buru dalam merevisi UU KPK dan RKHUP serta UU lainnya, adalah pemicu utama bentuk segala kegelisahan ini mengalir dan menjadi teriakan penuh kecemasan akan nasib bangsa ini ke depannya.

Hal lainnya, tanggapan yang diberikan pemerintah melalui aparat keamanan juga suatu hal yang layak untuk dihentikan. Sikap represif hingga menimbulkan korban adalah bukti bahwa negara terkesan semakin otoriter, sementara suara-suara kritikan dan kegelisahan terus berkumandang bukan berarti sikap represif dan intimidasi harus turut ditaburkan.