pelantar.id – Tes keperawanan menjadi suatu tahapan tes yang membuat perempuan risih jika harus memenuhi persyaratan itu saat masuk pada suatu lembaga tertentu. Contoh tes keperawanan yang pernah dilakukan adalah saat memenuhi syarat menjadi polisi wanita (polwan).
Tes keperawanan adalah tes yang dilakukan terhadap alat kelamin perempuan dengan cara memasukkan dua jari ke dalam vagina dan memeriksa apakah seorang perempuan masih perawan. Keperawanan tersebut dinilai melalui kehadiran selaput dara atau himen dan memeriksa ‘kekencangan’ dinding vagina. Masih perlukah tes keperawanan dilakukan?
Ternyata tes keperawanan tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia tetapi juga masyarakat dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan saat ini PBB bersama dengan Badan Keseatan Dunia (WHO), U.N. Women, dan U.N. Human Rights, justru meminta agar praktik tes keperawanan di seluruh dunia dihilangkan.
PBB mengemukakan setidaknya ada 20 negara yang melakukan tes keperawanan, salah satunya adalah Indonesia. Beberapa negara lain yang disebut oleh PBB masih melakukan tes semacam ini adalah Afghanistan, Brasil, Mesir, India, Afrika Selatan, dan lainnya.
Seruan PBB tersebut tentunya punya alasan. Menurut pernyataan dari PBB, pemeriksaan keperawanan adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah maupun klinis dan tidak ada tes apa pun yang bisa membuktikan dengan tepat apakah seorang perempuan pernah berhubungan seksual atau tidak.
Bentuk selaput dara bermacam-macam, tergantung pada estrogen, umur, pubertas, dan cara pemeriksaan. Salah satu mitos yang paling terkenal adalah keperawanan bisa dibuktikan dengan selaput dara yang masih utuh.
“Tidak ada dasar ilmiah atau medis pada tes keperawanan. Bentuk selaput dara tidak bisa menjadi dasar apakah seseorang pernah berhubungan seksual dan tidak ada pemeriksaan yang dapat membuktikan apakah seseorang pernah melakukan hubungan seksual,” tertulis dalam pernyataan dari PBB.
Selain tidak ilmiah, PPB menganggap bahwa pemeriksaan keperawanan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), termasuk di antaranya hak untuk terbebas dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, hak untuk memiliki privasi dan integritas fisik, serta hak untuk hidup.
Hak untuk hidup dianggap sebagai salah satu hak yang dilanggar oleh tes keperawanan mengingat masih ada negara-negara yang menerapkan honor killing, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh pihak keluarga terhadap perempuan yang dianggap sudah tidak perawan sebelum menikah, karena dianggap telah merusak nama baik keluarga.
Markas PBB di New York
Tes keperawanan, apalagi bila dilakukan bukan oleh petugas medis, juga dapat membawa dampak, baik secara fisik maupun mental. Beberapa dampak tersebut antara lain adalah trauma, pendarahan pada vagina, infeksi menular seksual, dan rasa stres serta perasaan bersalah.
======
sumber: kumparan.com
foto: liputan6.com