Pelantar.id-Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang gugatan terhadap kebijakan pemerintah terkait pemutusan akses internet di Papua saat kejadian rusuh Agustus lalu, Rabu (18/12/2019). Ini adalah perkara pertama di PTUN jakarta yang menggunakan mekanisme Gugatan Perbuatan melawan Hukum (PMH) oleh Pemerintah.

Majelis hakim terlihat masih mengelaborasi gugatan ini karena sifat PTUN yang berbeda dengan gugatan PMH di Pengadilan Negeri. Sidang dihadiri perwakilan Tim Pembela Kebebaran Pers yakni LBH Pers, YLBHI, Safenet dan Aliansi Jurnalis Independen.

Perwakilan dari Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Komunikasi dan Informatika juga hadir dalam persidangan hari ini. Namun, Tim Pembela Kebebasan Pers menyayangkan presiden dan menkominfo yang tidak serius menghadapi persidangan, dengan lambatnya memberikan surat kuasa. Hal tersebut juga sempat diutarakan oleh majelis hakim yang juga meminta agar persoalan birokrasi tidak menjadi alasan untuk tidak menghormati kekuasaan hakim.

“Kami meminta Presiden RI dan Menkominfo bisa serius mempertanggungjawabkan secara hukum tindakannya mematikan dan memperlambat Internet yang merugikan sangat banyak masyarakat ini,” tutur Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur di PTUN Jakarta, Rabu (18/12/2019).

“Semoga dalam sidang selanjutnya para tergugat telah menyiapkan berkas-berkas yang terkait dan surat kuasa dari prinsipal masing-masing. Ini supaya sidang berikutnya tidak molor karena persoalan internal birokrasi para tergugat,” tambah Pengacara publik LBH Pers Ahmad Fatanah.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang kedua ini, kuasa hukum pemerintah juga tidak merespons permintaan hakim dengan tidak memberikan aturan-aturan yang dijadikan rujukan dalam melakukan tindakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.

“Pada persidangan persiapan ini belum tampak keseriusan pihak tergugat dari presiden dan kemkominfo. Ini sangat disayangkan karena SAFEnet sebagai salah satu pihak penggugat menginginkan pihak tergugat siap menghadapi tuntutan yang diajukan atas tindakan pemadaman internet di Papua lalu. Seolah-olah ini perkara sepele, padahal ini menyangkut pengakuan hak-hak digital warga. Jelas-jelas pemadaman internet merenggut hak sipil dan merugikan secara ekonomi dan keamanan, maka seharusnya pemerintah berani mempertanggungjawabkan di depan persidangan,” ujar Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.

“Ini akan terus menjadi preseden buruk, karena pemerintah tidak bisa menunjukkan dasar kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Kami berharap majelis hakim mengabulkan gugatan kami dan menjadi pembelajaran pemerintah pada masa mendatang,” tutur Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim.

Gugatan PMH oleh pemerintah ini diajukan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet sebagai penggugat dan LBH Pers, YLBHI, Kontras, Elsam dan ICJR sebagai kuasa hukum dengan nomor perkara 230/G/2019/PTUN-JKT.

Gugatan ini diajukan setelah pemerintah tidak menanggapi keberatan TIM Pembela Kebebasan Pers atas kebijakan internet di Papua pada 4 September 2019. Padahal kebijakan internet di Papua dan Papua Barat telah mengakibatkan wartawan, khususnya di wilayah Papua dan Papua Barat tidak bisa melakukan pekerjaan sehari-hari untuk memenuhi hak informasi masyarakat karena ketiadaan internet.

Tim Pembela Kebebasan Pers juga melihat kebijakan ini sebagai upaya sistematis dan terencana untuk membungkam dan menghalang-halangi pekerjaan wartawan. Padahal pekerjaan wartawan dilindungi oleh hukum.

Tim Pembela Kebebasan Pers meminta majelis hakim menghukum para tergugat untuk menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan atau tindakan pelambatan dan pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, Tim Pembela Kebebasan Pers juga meminta presiden dan menkominfo meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia, khususnya Papua dan Papua Barat dan tanggung renteng di 3 media cetak Nasional (Koran Tempo, The Jakarta Post, dan Kompas), seluas 1/6 hal berupa Permintaan Maaf kepada seluruh pekerja pers dan 6 stasiun televisi (Metro TV, RCTI, SCTV, TV ONE, TRANS TV dan Kompas TV, maksimal 1 bulan setelah putusan, Penyiaran pada 3 Stasiun Radio (Elshinta, KBR dan RRI) selama 1 Minggu.

(*)