pelantar.id – Kalangan pengusaha meminta pemerintah menunda rencana menerbitkan aturan atau regulasi yang mengatur pelaksanaan rangkap jabatan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam secara ex-officio oleh Wali Kota Batam. Menurut pengusaha, regulasi itu selain menabrak aturan hukum yang sudah ada juga dapat menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha.
Dewan Pakar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam, Ampuan Situmeang mengatakan, pihaknya lebih berharap pemerintah segera menerbitkan aturan mengenai hubungan kerja agar terjadi harmonisasi. Pengusaha sangat keberatan langkah pemerintah untuk membuat beleid dengan rangkap jabatan secara ex-officio.
“Kami mengimbau pemerintah untuk ditunda dulu aturan ini sampai selesai Pemilu. Karena di masyarakat yang terjadi saat ini pro dan kontra, akhirnya menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha,” kata Ampuan di acara diskusi bertema Menakar Masa Depan Batam Pascapengalihan BP Batam di Hotel Sari Pan Pacifik, Jakarta, Rabu (19/12/18).
Dalam diskusi yang digelar Institute For Development of Economics and Finance (Indef) itu, Ampuan mengatakan, pengusaha sejatinya sudah memberikan masukan kepada pemerintah agar sepenuhnya dilibatkan dalam penyusunan regulasi yang rencananya akan diterbitkan oleh Kementerian Perekonomian sebelum tutup tahun ini.
“Kami sudah buat surat ke Pak Presiden dan Menko Perekonomian, supaya jangan terburu-buru dibuat regulasinya. Perlu perhatikan harmonisasi,” katanya.
Ia mengatakan, jika aturan rangkap jabatan itu terbit tahun ini, pengusaha akan melihat kembali bentuk rinci aturan tersebut. Bila merugikan, investor ataupun pengusaha akan mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
Ketidakpastian Dunia Usaha Meningkat
Di tempat yang sama, Direkur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati menilai, pengalihan atau peleburan BP Batam ke Pemko Batam bakal meningkatkan ketidakpastian bagi dunia usaha. Ketidakpastian tersebut terkait dengan kepastian regulasi, peraturan, lahan, infrastruktur hingga insentif bagi investor.
Menurut Enny, investor yang mendapatkan ketidakpastian, akan lebih memilih untuk melakukan relokasi usahanya ke daerah lain. Apalagi, di luar Batam ada negara tetangga yang menawarkan berbagai daya tarik dan kepastian berusaha.
Untuk itu, pemerintah perlu mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai kondisi masalah yang sebenarnya terjadi di Batam. Keputusan pengalihan ini dinilai Indef bahwa pemerintah hanya ingin segera mengakhiri persoalan dualisme kelembagaan.
“Mengakhiri dualisme dengan cara pengalihan BP Batam dinilai sebagai cara yang keliru,” kata dia.
Menurut pandangan Indef, pemerintah belum mendapatkan gambaran yang baik dan utuh tentang penyebab penurunan kinerja kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau free trade zone (FTZ) dari sisi industri dan perdagangan serta pelemahan kewenangan otoritas FTZ. Enny mengatakan, penunjukan Wali Kota Batam sebagai ex-officio BP Batam adalah bentuk tidak terpenuhinya asas pemerintahan yang baik.
Secara legal standing, Wali Kota Batam merangkap jabatan sebagai BP Batam melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam aturan itu ditegaskan, kepala daerah tidak boleh merangkap jabatan.
Dari perspektif anggaran, rangkap jabatan wali kota dan Kepala BP Batam juga tidak diperbolehkan karena berpotensi munculnya konflik kepentingan anggaran dan tata kelola pemerintahan pusat dan daerah. Ini akan menjadikan preseden buruk karena melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Enny mengatakan, perlu adanya payung hukum untuk mengatur pembagian wewenang dan tugas antara Pemko Batam dan BP Batam. Pemerintah perlu segera menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hubungan Kerja Pemko Batam dan BP Batam sesuai Undnag-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam.
*****
Sumber : Kontan.co.id