Pelantar.id – Jalan dengan pengeras lurus selebar dua meter membelah perkampungan di Pulau Penyengat menuju Kampung Ladi. Bangunan berarsitektur pesisir dari papan kayu berselang seling dengan bangunan tembok bergaya kolonial dengan cat yang sama pudarnya. Pada kanan dan kiri jalan lahan berkontur tidak rata ditumbuhi berbagai pepohonan. Paving blok yang dipasang sudah tidak lagi rata, membuat pengendara becak motor memperlambat lajunya.
Di ujung Jalan Lapangan Sepakbola, sejumlah sepeda motor terparkir berjajar di tepian jalan. Beberapa pria muda memgang golok dan pisau berada di sekeliling deretan motor itu. Pengemudi becak motor mengurangi kecepatan, menjadi sangat lambat dan akhirnya berhenti.
“Mereka bikin gasing, di sini banyak jago tanding gasing,” ujar pengemudi becak, menjelaskan.
Mereka adalah Iwin, Saydi alias Pak Dayak, Moge, Dodi, Ario dan Aldi. Pemuda berbagai usia itu adalah penduduk asli Penyengat Kampung Ladi, sebuah wilayah kecil yang berada di tengah-tengah pulau bersejarah itu.
Sambil bercanda satu sama lain, mereka yang berdiri dengan menenteng parang itu kemudian bergabung dengan beberapa rekannya. Duduk di akar pohon yang menyembul ke atas tanah, mengayunkan parang pada batang kayu berwarna merah sebesar kaleng susu formula ukuran sedang. “Ini persiapan untuk tanding besok bang,” kata Pak Dayak.
Pak Dayak, pemuda duapuluh delapan tahun sehari-hari adalah awak kapal jenis tug boat. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta itu sedari kecil memiliki hobi mengadu gasing. Sebagai anak generasi 80-an, Pak Dayak tidaklah seperti anak jaman sekarang. Sebuah kelaziman pada masa itu, anak-anak membuat mainannya sendiri. “Saya sedang off, habis berlayar, ini kerjakan hobi dari masa kanak-kanak,” ujarnya.
Pemuda berkulit gelap itu adalah murid tertua dari seorang maestro pembuatan gasing khas penyengat bernama Asnan yang telah berusia lanjut. Siang itu, di bawah naungan pohon buah mentega atau bisbul (Diospyros blancoi) ia menularkan teknik pembuatan gasing kayu secara manual kepada rekan-rekannya.
Gasing kayu khas Penyengat memiliki nama beragam. Gasing jantung, bawang, botol, hingga gasing kepala jin. Penamaan yang berlaku lokal dan menjadi konsensus tak langsung itu merujuk pada kemiripan fisik gasing dengan barang yang diumpamakan. “Yang paling banyak dibikin sama anak sini gasing jantung, itu boleh dikata khas Penyengat lah,” katanya sambil mengayunkan parang pada bonggol gasing yang sedang dikerjakannya.
Dari sisi bahan baku, pembuatan gasing tidak memiliki pakem tertentu. Umumnya warga Kampung Ladi membuat gasing dari bahan kayu ciku, akasia, mentigi dan kayu bakau. “Yang paling banyak bakau hitam, lebih kuat dia,” kata Moge, rekan Saydi yang juga sedang mengerjakan gasing menambahi.
Pemilihan kayu untuk bahan gasing berpatokan pada ketahanan kayu terhadap benturan. Pehobi gasing memilih kayu bakau jenis hitam karena dirasa lebih kuat, ulet, dan memiliki bobot yang tidak menyusut saat kering. Tidak ada aturan baku, bahkan tidak ada bukti empiris bahwa gasing kayu tertentu unggul terhadap jenis lainnya pada saat diadu. “Tergantung pengembat-nya juga,” jelas pemuda yang memperkenalkan diri bernama Komeng.
Komeng adalah salah satu pengembat handal dalam permainan adu gasing. Tidak terhitung jumlah gasing lawan yang dapat ia pecahkan pada pertandingan. Menurutnya, faktor pemain juga menentukan, selain memang bahan kayu juga harus yang unggul.
Selang empatpuluh menit, gasing sudah yang mereka buat mulai menampakkan bayangan wujudnya. Sepintas, yang disebut gasing jantung bahkan tidak mirip dengan organ pemompa darah mahluk hidup itu. Secara fisik, gasing itu berbentuk seperti kendi atau celengan uang koin jaman dulu dengan bagian bawah agak meruncing. Jika dilihat dari satu sisi, bentuknya malah seperti ikon hati.
Proses membuat gasing secara manual. pelantar.id/Joko Sulistyo
Seorang pemuda lain bernama Iwin, hampir menyelesaikan gasing yang ada di tangannya. Pemuda di awal usia duapuluhan itu meletakkan parang yang digunakan untuk membentuk bonggol kayu menjadi gasing. Dikacaunya serpihan kayu yang ada di bawah kakinya, ia mencari ketam kecil, dari bahan besi yang warnanya sudah menghitam. “Setelah dapat bentuk, kita bisa mulai ratakan bekas cacahannya,” kata Iwin.
Gasing adalah salah satu permainan tradisional masyarakat Melayu, termasuk yang ada di Pulau Penyengat. Hampir setiap laki-laki di pulau itu memiliki ikatan dengan gasing, permainan yang mendarah daging sejak usia kanak-kanak.
Iwin misalnya, di sela kesibukannya mengelola jasa pangkas rambut ia membunuh waktu dengan membuat atau memainkan gasing buatannya. “Sehari bisa selesai satu gasing, itu habis asar nanti siap diadu di lapangan,” jelasnya.
Jika masyarakat Eropa Timur, khususnya Rusia menalar logika politik dengan catur, pemuda di Pulau Penyengat memiliki gasing untuk memperkenalkan hirarki kepada generasi di bawahnya. Permainan gasing di pulau itu menggunakan predikat-predikat yang mengacu pada sistem pemerintahan kesultanan Melayu. Gasing terkuat, yang ditentukan dengan lama durasi berputar, disebut sebagai gasing raja. “Di bawahnya ada gasing menteri, hulubalang, panglima, hingga gasing paling rendah, namanya gasing kuli,” kata Komeng sambil tertawa.
Istilah gasing kuli itu merupakan sebutan selingkung untuk gasing paling lemah dan sah dijadikan bulan-bulanan dalam pertandingan. “Gasing kuli azab lah dia, kena embat tanpa ampun,” lanjut Komeng.
Ibarat roda nasib, gasing kuli dapat naik status dan berhenti dipelasah saat ada gasing lawan yang salah lempar atau kalah beradu dan terbalik. “Kalau ada pengembat yang gasingnya senjotol, dia jadi kuli,” terang Komeng.
Senjotol adalah sebutan untuk gasing yang berputar dengan kepala gasing di bawah, usai memukul lawan.
Moge, Komeng, Saydi maupun Iwin adalah beberapa jawara pertandingan adu gasing yang kerap menjadi juara jika mengikuti event. Untuk lokal kampung, mereka langganan juara, bahkan saat bertanding ke kandang lawan, keluar dari Pulau Penyengat. “Ke Pinang, ke Lagoi, kami sering menang,” ungkap Saydi berbangga.
Jawara gasing dari Kampung Ladi, masih menurut Saydi, mengerti betul bagaimana mempecundangi gasing lawan. Mereka mempelajari kelemahan gasing dari bentuk dan jenis kayunya. “Gasing Lingga, salah satu lawan berat, beberapa kali kami pecahkan,” lanjutnya.
Dikatakan Iwin, kekuatan gasing jantung berbahan kayu bakau hitam tidak dapat ditandingi oleh gasing buatan mesin. Gasing yang dibubut menggunakan mesin dan memiliki tingkat presisi yang cukup tinggi seringkali harus rela terbelah oleh uletnya bonggol bakau hitam dari Kampung Ladi. “Apalagi gasing piring, mudah itu kami pecah,” ujar Iwin berbangga.
Sangking mendarah dagingnya permainan gasing bagi masyarakat setempat, sebuah lagu berjudul ‘gasing‘ telah diciptakan oleh seniman lokal Penyengat.
Setengah jam berlalu, Iwin sudah menaruh ketamnya. Pecahan kaca ukuran kecil digunakannya untuk menghaluskan permukaan gasing yang telah rata. “Sekarang tinggal cari tali alet, kita tes putar,” ucapnya.
Proses penghalusan gasing dengan pecahan kaca. PELANTAR.ID/Joko Sulistyo
Tali alet adalah sejenis tali pintal berwarna cokelat tua dari bahan batang tanaman rami yang biasanya digunakan untuk bahan baku pembuatan karung beras. “Kepalanya tak usah dihaluskan, nanti meleset tali aletnya,” Iwin melanjutkan.
Pulau Penyengat memiliki banyak jenis permainan dan mainan tradisional yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun. Selain gasing, di pulau tempat lahirnya gurindam 12 itu terdapat permainan layang-layang raksasa, jong kayu, juga pacu jong pelepah sagu.
Berbagai jenis permainan itu biasanya bersifat musiman. Pada musim cerah dan berangin, Penyengat akan ramai orang bermain layang-layang besar. “Kalau angin laut kuat, pacu jong kita,” kata salah satu dari mereka.
Sementara gasing lebih banyak mendominasi permainan karena tidak memerlukan tempat khusus. Waktu yang dipilih juga fleksibel, lazimnya setelah ashar hingga menjelang azan magrib.
Sejumlah permainan tradisional dipentaskan pada berbagai agenda wisata di pulau itu. Para jawara gasing Kampung Ladi selalu berpartisipasi, kendati tidak terlalu antusias dengan hadiah yang ditawarkan. “Ada atau tidak event, kami tetap main gasing,” tutup Saydi yang diangguki teman-temannya.
Menjelang berpamitan, keramahan para pemuda berparang itu masih terasa. Tanpa diperintah, seorang dari mereka memanjat pohon kelapa dan memetik beberapa buahnya yang masih muda. “Minum dulu bang, tak baik ditolak,” katanya.
Penulis : Joko Sulistyo