Penulis: H.M Chaniago
Berbahagialah ia yang hidup sejalan dengan keutamaan dan terpenuhi segala kebutuhannya, bukan untuk sementara, melainkan selama-lamanya– Aristoteles
Pelantar.id – Tidak ada standar baku yang betul-betul sama dalam menakar tingkat kebahagiaan manusia. Karena setiap kebahagiaan hidup dengan caranya masing-masing dan orang-orang juga turut mencarinya dengan gaya mereka masing-masing.
Pun jua, tak penting bersikeras hati mencari makna baku perihal kebahagiaan baik dari sisi formal hingga substansial. Kebahagiaan kadang berada di dalam kulit yang kita garuk saat gatal. Kadang dari cara kita memakan ice cream rasa vanila yang kita suka, atau menghayati lembar demi lembar buku yang kita baca.
Dalam film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (2019) karya sutradara John de Rantau, sosok Sophie digambarkan dengan seorang perempuan yang senang bernyanyi di kamar mandinya.
Kebiasan itu bisa jadi wujud nyata dari kita sendiri, atau mewakili orang-orang yang bernyanyi untuk meluapkan banyak sisi-sisi emosional yang terkadang mampu menciptakan mood lebih baik selepas itu.
Reza A.A Wattimena, seorang Dosen Filsafat pernah mengatakan bahwa kebahagiaan pun memiliki sejarahnya. Walaupun sejarah kebahagiaan tidaklah sama dengan sejarah lainnya. Sejarah kebahagian adalah tentang segala sesuatu yang layak diperjuangkan di dalam ke-eksistensian manusia itu sendiri.
Sejarah kebahagiaan tak jua bisa dilepaskan keterkaitannya dengan segala sesuatu yang berharga bagi manusia, termasuk pula tentang keseluruhan isi alam semesta.
Jadi bisa saja bernyanyi di kamar mandi adalah wujud dari kebahagiaan yang dimiliki setiap orang yang menggemarinya, atau mendaki gunung dan bersusah payah hingga puncak. Bisa saja itu kebahagiaan.
Kisah Tentang Gurun Kebahagiaan dan Kamar Mandi yang Mengakhirinya.
Pada masa lampau, seorang masehi pengikut Isa Al-Masih berjalan dan bertualang ke segala penjuru mencari kehakikian hidup, esensi kebahagiaan. Hal ini pernah dituturkan Syeikh Tontowi Jauhari dalam tafsir Al-Jawahir.
Ia tuliskan sebuah buku berjudul Gubuk Orang India atau al-Kuukhul Hindi. Ringkasnya, kisah tentang sang Masehi ini. Ia mengembara ke segela penjuru bertemu ragam orang dengan ragam sifat, demi memahami hakekat kebahagiaan hidup.
Setiap orang Ia coba tanyakan tentang hakekat kebahagiaan. Ragam jawaban bahkan ejekan dia terima, sementara kebahagiaan itu sendiri belum juga Ia pahami.
Hingga di suatu hari yang tak terduga, sang Masehi bertemu perempuan yang sedang menangis meratapi sukarnya hidup yang dialami. Pertanyaan terlontar dari mulut sang petualang, si perempuan menjawab sembari menahan tangisan.
“Suamiku meninggal dunia, sementara aku tak ikut ke dalam kobaran api untuk mati terbakar dengannya”, “Di sini, setiap Istri yang tak ikut mati dalam kobaran api bersama Suaminya, adalah najis dan hina”.
Sang Masehi terdiam, pelan berucap dengan seksama, “Aku sama denganmu. Seorang Masehi yang dianggap najis oleh kaumnya”. Di akhir kisah mereka memilih hidup bersama, tinggal di gurun menikmati kebahagiaan hidup dalam rasa syukur yang dalam akan keindahan semesta, kala terbit dan terbenamnya matahari.
Bagi sang Masehi, keindahan dari manifestasi alam ciptaan Tuhan, rupa dan rona-rona pepohonan, pasir berdesir, bunga yang mekar, sungai yang mengalir, burung yang terbang, atau udara yang Ia hirup dan hembuskan adalah hakekat wujud kebahagiaan.
Seperti apa yang pernah dituliskan Reza A.A Wattimena, hakekat kebahagian adalah upaya kita untuk menata beragam hasrat, dorongan, dan keinginan yang ada, hingga tercipta kondisi yang harmonis, dan mengarahkan hidup untuk mencapai tujuan yang bermakna bagi pribadi.
Sementara itu, di era pasca kebenaran dan post-modernisme sekarang jika kita berpatokan akan dimensi kebahagiaan berdasarkan data World Happiness Report yang diterbitkan UN SDSN (United Nation Sustainable Development Solutions Network).
Mereka terbitkan enam variabel resmi untuk mengukur laporan kebahagiaan suatu negara; Angka Harapan Hidup, Bantuan Sosial, Kebebasan Sosial, Produk Domestik Bruto (PDB) per-kapita, Kemurahan Hati dan Persepsi Korupsi.
Pada data terakhir mereka terbitkan 2018, Indonesia berada di peringkat 96 dari total sekian negara yang mereka teliti indeks kebahagiaannya. Meski dalam sebuah artikel yang dituliskan CNN Indonesia, saat itu indeks kebahagiaan Indonesia menurun di mata dunia, namun tidak dengan dengan lingkup internal masyarakat kita sendiri.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 mengabarkan indek kebahagiaan masyarakat meningkat, dari 88,28 (2014) menjadi 70,69 (2017). Sampel data BPS hanya disusun atas 3 variabel; Kepuasan Hidup, Perasaan dan Makna Hidup.
Terlepas kerancuan atau benar apa tidak data tersebut, hakikat kebahagiaan pada dasarnya hanyalah cara kita untuk mampu terus bertahan dan berdamai dengan kefanan sang urip. Baik dengan bernyanyi di kamar mandi atau hidup di desa, bekerja menjadi penulis atau hal lainnya yang dilakukan dengan kedalaman hati.
Seperti yang terjadi pada salah seorang sahabat dari sahabat saya waktu SMA yang mati tergelincir di kamar mandi ketika sedang asyiknya-asyiknya berteriak, mendengarkan nyanyian dan ikut menyanyikan lagu Mudvayne berjudul Happy?.
Selepas kepergiannya, di petang yang lengang itu di perkampungan kami di Payakumbuh. Sahabat saya berceloteh ringan sembari kami berbagi sebatang rokok berdua.
“Si anu mati dengan bahagiakan?” ujarnya dengan nada bertanya. Saya yang tak paham hendak berkata apa, bergumam lembut dan berkata “Itu lagu kesukaannya kan? Jika benar, berarti Ia mati dengan kebahagiaan sambil bernyanyi di kamar mandinya”.
Akhir dari petang itu juga berjalan sunyi. Dua minggu selepas itu saya mendapat kabar, teman saya itu menyusul sahabat baiknya. Ia meninggal terseret arus sungai, selepas sebelumnya asyik menyanyikan lagu No One Knows dari Green Day.
***
Foto: Lukisan karya Salvador Dali “The Persistence of Memory”