Pelantar.id – Dari jauh seorang perempuan menjangkau ragam hidangan yang tersedia di depannya dengan sendok bertangkai panjang. Sementara beberapa pelanggan menunjuk menu yang ingin mereka pesan sambil berkata, “Tambusu ciek Uni,” ucapnya dalam Bahasa Minang sembari menunjuk panganan khas seperti sosis yang terbuat dari usus sapi berisi adonan telur, tahu, dan ragam bumbu lainnya.

Gambaran ini akan sering kita temukan jika sedang berada di kawasan pedagang nasi Kapau di sekitar Jam Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat.

Tambusu atau gulai tambusu adalah menu khas yang tersedia di lapau nasi Kapau. Selintas nasi Kapau memang terlihat sama dengan nasi padang, akan tetapi dua hal ini yang berbeda. Bagi penduduk asli Sumatera Barat, apalagi yang berasal dari daerah asli di mana pangan ini berasal, pasti dengan mudah bisa membedakannya.

Untuk membahas lebih dalam, Aksara Pangan, Indonesian Food Documenter, sebagai penggiat dokumentasi makanan khas Indonesia mencoba merangkaianya dalam tur virtual sejarah dan budaya bertemakan “Perjalanan Rantau, Lapau Nagari Kapau”.

Tur dimulai secara langsung oleh Pepy Nasution selaku Tim Eksekutif Aksara Pangan yang akan membawa peserta mengikuti perjalanan rantau menuju Sumatera Barat. Layaknya tur nyata, peserta sedari awal memulai langkah mereka dari Bandara Internasional Minangkabau hingga kemudian langsung bertolak menuju kawasan Jam Gadang, Bukittinggi. Di sini nantinya sosok bernama Fadly Rahman telah menunggu.

Fadly adalah sejarawan makanan yang juga merupakan dosen sejarah dan filologi di Universitas Padjadjaran. Di sini dia mengajak peserta tur untuk kembali ke masa lampau menuju Selat Malaka di abad ke-16, kemudian peristiwa perang Padri, dan juga kenangan akan Rumah Gadang yang tentu semuanya akan saling berkesinambungan dengan nasi Kapau dan tradisi merantau masyarakat Minangkabau.

Fadly membuka pembahasan sejarahnya dengan judul “Nasi Kapau dalam Jejak Perantauan dan Perdagangan Orang Minangkabau” melalui tampilan peta perdagangan dalam buku William Dampier. Peta berjudul “Dampier’s Voyages: Consisting of a New Voyage Round the World Vol-1 (1703) ini secara tidak langsung membentuk garis kebudayaan yang kemudian bermuara di Selat Malaka. Kawasan ini menghubungkan antara wilayah Sumatera, terkhususnya Sumatera Barat dengan Malaysia sekarang. Secara tidak langsung ini menciptakan paralelisme kebudayaan antara etnis Melayu Malaysia dengan etnis Minangkabau.

“Di sini kita bisa melihat apa yang membentuk keindentikan ini. Di mana hubungan perdagangan antar bangsa turut berpengaruh terhadap kebudayaan masa lampau,” jelas Fadly dalam tur virtual, Kamis (22/10/2020).

Perdagangan ini juga turut mempengaruhi budaya kuliner masing-masing etnis, di mana pada masa lalu banyak didominasi oleh bangsa Arab, India, Cina dan juga Eropa. Menurutnya masakan Minang yang saat ini sering kita makan pada dasarnya merupakan perpaduan antara budaya kuliner yang terdapat di India, seperti pangan gulai atau yang dikenal dengan curry. Selain itu, konteks perdagangan ini juga secara tidak langsung telah menciptakan tradisi merantau di dalam diri orang Minang.

Hal ini tergambarkan pada jalur peta perdagangan masa lalu para biaperi Minang yang dipetakan melalui 4 jalur strategis, yakni Sungai Rokan, Kampar, Indragiri, dan Batanghari. Hal ini juga membentuk beberapa persamaan kuliner di beberapa jalur lintas perdagangan tersebut, seperti di kawasan Riau dan Jambi.“Bahkan melalui jalur perdagangan ini suku Minang juga turut mencapai kawasan Selat Malaka. Karena itu pada abad ke-15 dan 16 migrasi orang Minang telah mencapai Negeri Sembilan, Malaysia,” jelasnya.

Selanjutnya, Fadly mulai membahas peristiwa Perang Padri yang terjadi di masa abad ke-19. Perang tini pada akhirnya menciptakan pemufakatan kuat suku Minangkabau akan kedudukan adat serta agama yang saling berhubungan melalui pepatah “Adat Basandi Syandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah”.

Di akhir pembahasan, Fadly menitikberatkan bahwasanya perdagangan adalah pintu utama yang membuka tradisi kuliner Minang mulai dikenal sentaro nusantara dan bahkan hingga ke negara lain. Perdagangan masa lampau menciptakan pola migrasi khusus yang membuat suku Minang hampir selalu ada di setiap wilayah strategis, hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia.

“Inilah bagian dari cerita awal bagaimana nasi Kapau bisa tersebar seantaro Indonesia. Tradisi berdagang masa lampau, dan penduduk Minang yang mulai menetap di kawasan rantau secara tidak langsung juga memperkenalkan budaya kuliner dari negeri mereka,” tutup Fadly.

 

Cerita Nasi Kapau dari Los Lambuang Hingga Nagari Kapau

Fadly menjelaskan dalam Webinar Aksara Pangan

“Tambuah ciek Uni” ucap seseorang yang sedang makan di kawasan Los Lambuang, Bukittinggi. Tentu saja, kalau kita ke sini tak rancak rasanya kalau tidak mengisi perut dengan makanan khas yang tersedia. Kawasan ini sangat terkenal bahkan hingga ke luar Kota Bukittinggi. Los Lambuang ibarat food court kalau kita berkunjung ke mal. Di sini pangan khas seperti nasi Kapau dengan mudah akan kita temukan. Makan sepuasnya, jangan malu untuk minta tambah.

Selepas pembahasan sejarah dengan Fadly, kini peserta tur virtual Aksara Pangan bertolak menuju kawasan Los Lambuang. Namanya cukup unik, secara leksikal adalah lorong lambung. Lorong atau tempat di mana orang-orang berdatangan untuk menunaikan kebutuhan dasar mengisi kekosongan perut ketika lapar. “Makan ciek Uni. Pakai gulai tambusu,” mungkin kalimat ini akan sering kita dengar di kawasan ini.

Di Los Lambuang, Reno Andam Suri telah menanti para peserta tur virtual Aksara Pangan. Perempuan berjilbab yang juga penulis buku Rendang Traveler ini membahas secara khusus dan mendalam tentang nasi Kapau yang terkenal itu. Reno memulai pembahasannya dengan perbedaan antara rumah makan Padang dengan lapau nasi Kapau. “Secara garis besar itu ada dua, yakni dilihat dari tata letak dan makanan yang disajikan,” ujarnya membuka pembahasan.

Menurut Reno, rumah makan Padang pada tatak letaknya jika dilihat dari etalase yang bagian atas biasanya dihuni oleh lauk-pauk kering, dan yang bersantan di tata di sebelah bawah dari etalase. Sementara itu, pada lapau nasi Kapau masakan yang berkuah ditempatkan di bagian paling depan meja tatakan. Oleh karena itu, para Uni yang bertugas dipersenjatakan dengan sendok panjang agar mereka lebih mudah  menjangkau masakan tersebut, “Karena jauh letaknya di bagian depan. Dan biasanya makanan ditata bertingkat, bisa satu atau hingga dua tingkat,” jelas Reno.

Pun dari sisi menu masakan, menurut Reno ada yang khas pada nasi Kapau yang jarang atau bahkan tidak ada pada nasi padang. Menu itu yakni: gulai tambusu, rendang daka-daka, ikan mas bertelur, dendeng kering balado, dan juga gulai kapau. “Jadi kalau kita masuk ke rumah makan Padang dan mereka mengklaim ini rumah makan Kapau, tapi tidak ada makanan ini, maka perlu dipertanyakan kembali seberapa Kapau kah rumah makan itu,” jelasnya.

Reno kembali menjelaskan, gulai tambusu adalah usus sapi yang diisi dengan telur dan tahu, atau telur saja dengan bumbu-bumbu lainnya. Akan tetapi menurutnya, terdapat kelemahan jika tambusu dicampur dengan tahu, yakni pada rasanya yang menjadi cepat asam. Selain itu nasi Kapau pada umumnya juga menyediakan sebeng atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan bonus. Nantinya kita akan diberikan sebeng berupa potongan kecil lauk yang menjadi pelengkap santapan.

Hal menariknya adalah dalam proses pembuatan dan pendistribusian nasi Kapau itu sendiri. Selama ini mungkin kita hanya datang untuk memakan nasi Kapau di kawasan sekitar Los Lambuang, Bukittinggi. Nyatanya ini memiliki proses yang panjang sebelum santapan ini kita makan di kawasan Los Lambuang atau pasar-pasar lainnya. Dapur nasi Kapau berasal dari sebuah kampung bernama Kapau di kawasan kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Dari sinilah proses produksi dimulai hingga kemudian siap didistribusikan menjadi santapan di kawasan Bukittinggi dan bahkan kawasan lain yang lebih jauh lagi, misalnya seperti pasar-pasar tradisional di Kabupaten 50 Kota.

Hal ini menunjukkan bahwa tradisi masakan para penjual nasi Kapau ini terus terjaga cita rasanya, karena hanya orang-orang dari kampung Kapau tersebut sajalah yang berjualan nasi Kapau dari pasar ke pasar di sekitaran kawasan Kabupaten Agam hingga Kabupaten 50 Kota. Pun di akhir pembahasannya, Reno menambahkan terdapat perjanjian non-tertulis bahwa hanya orang-orang dari kampung Kapau yang boleh menulis nama Kapau di belakang nama usaha mereka.

 

Tentang Aksara Pangan

Aksara Pangan atau dikenal juga dengan Aksara Citra Pangan, merupakan penggiat Food Documenter yang bermisi mengangkat cerita masakan lokal Indonesia melalui publikasi tulisan dan dokumenter.

Sebagai kegiatan pembuka perdana mereka di tahun 2020, media produksi ini memulai agenda dengan memperkenalkan kuliner Indonesia melalui kegiatan webinar.

Yang baru terlaksana adalah “Online Food Tour, Lapau Nagari Kapau”, pada Kamis 22 Oktober yang diselenggarakan melalui media Zoom dan dipandu oleh host Pepy Nasution.

Di online food tour ini, Aksara Pangan mengundang pembicara Fadly Rahman – Sejarahwan Makanan dan Reno Andam Suri – Pencerita Kuliner Minang Kabau. 

Sari Novita, satu diantara penggiatnya mengatakan bahwa setiap program Aksara Pangan ingin berfokus pada cerita kuliner Indonesia.

“Mengapa harus makanan? Karena dengan makanan kita bisa bercerita ke mana -mana, banyak hal yang bisa diceritakan dari makanan seperti sejarah dan filosofinya,” kata dia.

Sementara Aksara Pangan mengkhususkan topik kuliner hanya pada kuliner lokal Indonesia saja, salah satunya bercerita tentang sejarah dan kekhasan Nasi Kapau.

“Ke depan kami berencana untuk penyiapan buku/tulisan hingga dokumenter seputar kuliner,” kata Sari.

Sari berharap Food Tour ini terus berlanjut, minimal untuk satu bulan sekali.

“Kasih kami waktu satu bulan, topik selanjutnya kita angkat topik seputar tumpeng,” ujar Sari.

 

Penulis: Hendra Mahyudi/mer