Penulis: H.M Chaniago

Dalam budaya patriarki seorang perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua atau yang disebut liyanSimone de Beauvoir.

Pelantar.id – Jalan panjang perjuangan perempuan di Arab Saudi untuk merebut hak hidupnya adalah lembaran kisah penuh harapan, meski berjalan pelan.

Adanya pengaruh tekanan dunia internasional dan juga keberanian generasi baru Monarki di Riyadh membawa langkah perempuan untuk mendapatkan kebebasan di ruang publik mulai mereka dapati.

Hadirnya putra mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman al-Saud dari genarasi baru Monarki membawa angin segar meski cacatnya selalu ada. Sebagai putra mahkota, terang Ia katakan akan memperjuangkan nasib kesetaraan dan mengkultuskan dirinya sebagai pembebas kaum perempuan.

Kala itu Ia berjanji untuk meningkatkan peran perempuan dalam lingkup sosial kemasyarakatan, seperti diberi hak bebas dalam mengemudi.

Meski hak tersebut telah Ia berikan, seyogyanya perempuan di Saudi saat itu tetap terkekang, karena harus mendapatkan persetujuan anggota keluarga laki-laki jika ingin melanjutkan pendidikan, bahkan untuk travelling sekalipun.

 

Timeline Sejarah Perjuangan Perempuan Saudi Melawan Hegemoni Patriarki

Rentang sejarah awal perjuangan kaum perempuan Saudi berawal dari 1955. Kala itu sekolah khusus perempuan pertama didirikan, yakni Dar al-Hanan. Sebelumnya rezim patriarki tidak mengizinkan perempuan mengenyam akses bangku pendidikan.

Didirikannya sekolah tersebut, bukan berarti persoalan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan selesai. Butuh waktu dua dekade bagi mereka untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, tepatnya 1970 kala Riyadh College of Education didirikan.

Memparafrasekan pernyataan lawas pejuang kemanusiaan, Kofi Annan. Pendidikan adalah sebuah premis menuju kemajuan, di setiap aspek sosial. Sementara pengetahuan menjadi kekuatan, informasi yang benar dari pengetahuan akan membawa jalan menuju kebebasan.

Memahami pendidikan adalah senjata. Perlahan dan pelan, jalan terjal menuju pembebasan hak perempuan di Arab Saudi terus bergelora. Kendati pelan dan tak mudah, banyak tokoh feminis Saudi bermunculan.

Sejak 31 tahun berselang, pasca perempuan mendapatkan akses pendidikan. Di awal abad ke-21 perempuan mulai kembali mendapati potongan puzzle dari hak mereka yang masih banyak tercecer.

Untuk pertama kalinya di tahun 2001 perempuan mulai mendapatkan hak akan Biṭāgat Al-ʼaḥwāl atau identitas resmi warga negara, Kartu Tanda Penduduk (KTP) versi Arab Saudi.

Adanya Biṭāgat Al-ʼaḥwāl cukup membantu persoalan perempuan akan kasus hukum yang berhubungan dengan warisan dan properti. Walau begitu, di awal akses ini diberikan, perempuan tetap harus mendapat izin dari wali mereka untuk membuat KTP. Hingga kemudian di 2006 mereka mulai bebas mendapatkan KTP tanpa seizin wali.

4 tahun berselang, potong puzzle lainnya akan hak sebagai manusia kembali mereka dapatkan lagi. Secara resmi pemerintah Saudi mulai melarang adanya pernikahan paksa yang dilakukan walinya. Ini resmi di terapkan di 2005.

Meski pernikahan paksa telah dilarang, kenyataannya kontrak pernikahan antara calon mempelai pria kepada wali dari pihak perempuan masih merajalela. Karena realitanya perempuan tetap dipaksa wali atau orangtuanya untuk menikah dengan pria pilihan walinya.

Masuknya Noura al-Fayez di jajaran pemerintah Arab Saudi di tahun 2009 seolah-olah menyimpan harapan baru akan potongan puzzle hak asasi perempuan di Saudi.

Kala itu King Abdullah mengangkat Noura menjadi pejabat tinggi. Hingga kini Dia menjadi wakil Menteri Pendidikan Saudi, dengan tugas utama bagian pemberdayaan perempuan.

Keberadaan Noura, turut membuat pemerintah Saudi mulai memikirkan nasib atlit perempuan di kancah Olimpiade. Tahun 2012 pertama kalinya Saudi mengizinkan atlit perempuan mereka terjun di arena Olimpiade London.

Sarah Attar, atlit lari cabang 800 meter menjadi perempuan pertama dalam sejarah dunia ketika atlit perempuan Saudi resmi ikut serta di Olimpiade. Hal ini terjadi berkat campur tangan Komite Olimpiade Internasional yang mengatakan akan melarang Saudi Arabia berpartisipasi jika tetap melarang perempuan ikut serta.

Setahun berselang, pemerintah Saudi kembali memberi akses bagi perempuan untuk mengendarai sepeda dan sepeda motor. Walau kelonggaran ini tetap dengan syarat tertentu yakni hanya boleh berkendara di zona rekreasi, itu pun harus diawasi wali pria dan menggunakan niqab.

Di tahun yang sama di bulan Februari, untuk pertama kalinya King Abdullah melantik 30 orang perempuan mengisi posisi di dewan pertimbangan Saudi atau Majelis Syura. Perubahan ini Ia sebutkan dengan kata Gradual. Karena selepas itu, perempuan akhirnya diberi izin untuk mengisi jabatan publik.

Rentetan sejarah perubahan itu kembali membawa perempuan Saudi kepada hak untuk berpartisipasi dalam general election. Dalam pemilihan komunal tahun 2015 momen bersejarah kembali dimulai. Untuk pertama kalinya perempuan dapat mengikuti pemilu serta mencalonkan diri. Hasilnya 20 orang perempuan terpilih mengisi ragam posisi tingkat pemerintah kota.

Terbukanya keran mengisi jabatan publik, di tahun 2017 Sarah al-Suhaimi akhirnya menjabat posisi Direktur Bursa Saham. Ia mengambil bagian dari sejarah ketika Aramco terjun ke lantai bursa dengan melepas sebagian kecil sahamnya.

Sementara itu efek dari kelonggaran akses mengendarai sepeda dan sepeda motor di 2013 berlanjut di 2018 kala perempuan secara resmi dapat bebas untuk duduk di balik kursi kemudi kendaraan roda empat mereka. Kebijakan ini diumumkan 26 September 2017 dan resmi diterapkan Juni 2018.

Menyenangkannya, mereka tidak perlu lagi meminta izin wali pria untuk membuat surat izin mengemudi (SIM) dan juga mulai bebas berkendaraan seorang diri tanpa didampingi wali pria.

Garis waktu sejarah terus berlanjut, di tahun yang sama itu juga perempuan memiliki akses menginjakan kaki di stadion olahraga yang selama ini hanya diisi oleh teriakan maskulinitas pria. Stadion utama yang selama ini pintunya hanya dibuka untuk lelaki, awal 2018 turut dibuka kepada perempuan.

Akhir rentang waktu ini, 2019 perempuan kini disebutkan akan mendapatkan notifikasi via SMS jika mereka diceraikan oleh suaminya. Hal ini agar perempuan bisa mengetahui bahwa suami menceraikan mereka jika tanpa sepengetahuan. Status pernikahan terdaftar secara online dan fotocopy surat cerai akan diberikan pengadilan.

Meski hukum cerai ini tetap banyak merugikan dan tidak terlalu melindungi perempuan, karena ketika mereka ingin meminta cerai kasus yang diajukan cukup terbatas dan harus dengan sepertujuan suaminya, kasus pun hanya lebih seperti kepada kekerasan dalam berumahtangga yang dilakukan suami.

Meski kenyataan hidup semakin terang benderang bagi perempuan Arab Saudi. Perjuangan mereka masih panjang, mari kita tunggu bertahun-tahun ke depannya apakah Arab Saudi siap untuk membuka gerbang keseteraan ini agar terbuka lebih lebar.

Nb: Beberapa sumber data ditulisan ini dilansir dari laman media Deutsche Welle.

 

Foto: www.womeninfootball.com dan youtube time megazine